#Tantangan Gurusiana

#Hari ke 48

#Belajar Pentigraf

Datang ke rumah orang tua di kampung, membawa kenangan masa kecil saat aku belajar ngaji di surau yang kami sebut ‘tajug’ milik Aki. Posisinya berada di atas kolam ikan, terbuat dari bambu berbentuk saung yang sangat sederhana, dengan lantai papan yang beberapa bagiannya sudah ada yang bolong, biarpun demikian tajug tersebut selalu penuh dengan anak-anak yang belajar ngaji.

Menjelang maghrib kami sudah memenuhi tajug,dengan bacaan sholawat , tetapi sebagian lagi berlarian meninggalkan bunyi blag-blig-blug karena tapak kaki mereka. Kami baru bisa diam setelah mendengar suara tongkat aki di pukulkan ke tiang tajug dan di acungkan ke arah kami pertanda adzan harus segera di kumandangkan. Itulah saat paling sepi di tajug kecuali suara adzan dan suara menjawab adzan dari kami.

Saat belajar ngaji ba’da shalat maghrib adalah saat yang paling rusuh, karena saat yang satu sedang ngaji bisa di pastikan yang lain bercanda main dorong dari sudut satu ke sudut yang lain. Aki memperingatkan berkali-kali dengan tongkatnya, sampai yang ke tiga kalinya, anak-anak ketakutan menjauh dari aki serentak, karena tongkat di tujukan kea rah kaki kami, dan suara keretek…kreteek…byuuuuur…lantai tajug ambruk, aku kaget karena paling dekat dengan aki, menggapai-gapai tangan mencari pegangan dan pruk kepalaku tertimpa sarung tetapi tanganku berhasil memegang sesuatu, bukannya tenang tapi teriaaak panic …”emaaaak tolooong ada ular berbuluuuuu…!!”