Titik Haryani

Titik Haryani Lahir di Kulon Progo, 4 Juni 1968. Menyelesaikan S1 di IKIP Negeri Yogyakarta jurusan Bimbingan dan Konseling, S2 di Universitas Sarjanawiayata Ta...

Selengkapnya
Navigasi Web
WISUDA TANPA TOGA (4)

WISUDA TANPA TOGA (4)

Akhir-akhir ini, kegiatan pengumuman kelulusan di sekolah baik jenjang PAUD, SD, SMP maupun SMA/K diwarnai dengan adanya prosesi wisuda. Lengkap dengan pernik-pernik keperluan wisuda, seperti samir, topi dan toga. Konon berbiaya besar dan masyarakat terusik.

Tradisi wisuda ini belum lama menjamur, sekitar tahun 2010 pengumuman kelulusan masih menggunakan pakaian seragam sekolah biasa. Orang tua dihadirkan ke sekolah menerima pengumuman kelulusan dengan menyaksikan pentas seni kreasi siswa. Ditambah aktifitas penyerahan hadiah kejuaraan bagi siswa berprestasi. Acara berlangsung khidmat meski sederhana. 

Sayangnya, ketenangan tersebut kemudian terusik oleh siswa-siswa kelebihan energi. Sebagian dari mereka berbekal pilox warna warni. Baju putih dipilox dan ditandatangani teman-temannya diterima sebagai kenang-kenangan. Belum berhenti di situ, masih dilanjut dengan konvoi yang mengganggu warga dan pengguna lalulintas lainnya. Mereka bisa berboncengan lebih dari dua,  tanpa menggunakan helm, dengan knalpot yang sengaja dilepas saringannya. Suara knalpot yang memekakkan mengapa telinga menjadi kebanggaan bagi siswa-siswi kala itu. Tampak urakan dan jauh dari sikap simpatik.

Masyarakat merasa terusik, kenyamanannya terganggu. Mereka merespon dengan keras, menyalahkan sekolah. Mencari kambing hitam mengapa siswa melanggar aturan dan etika berlalulintas, melakukan konvoi dengan kendaraan bermotor,  corat coret baju seragam. Kala itu masyarakat merasa bahwa sekolah kurang optimal dalam membekali siswa tentang pembangunan karakter. Baju seragam masih bisa dipakai, dan disumbangkan kepada yang membutuhkan, mengapa justru dicorat coret dan menjadi tidak bermanfaat lagi sebagai baju seragam. lagi-lagi masyarakat melalui berbagai media menyoroti dan mengklaim bahwa sekolah adalah penyebab utama pesta kelulusan yang tidak simpatik ini. Lagi-lagi suara masyarakat di media memojokkan sekolah. 

Para pemikir berusaha keras mencari solusi. Kemudian muncul suatu kesepakatan dari pengambil kebijakan, bahwa pada saat pengumuman kelulusan, maka siswa wajib mengenakan pakaian adat. Seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta, siswa mengenakan pakaian adat gagrag ngayogyakarta.  Pakaian khas jawa yang membuat siswa putri nampak anggun dan siswa putra nampak gagah berwibawa. Masih sederhana, hanya pakaian yang berbeda, tetap prosesi tanpa riasan tanpa polesan, lugu dan bersahaja. Konvoi teredam, siswa masih leluasa mengekspresikan  bahagianya melaui berbagai pentas seni unjuk bakat dan kreatifitas. Pengumumamn kelulusan berlangsung damai dan bermakna.

Perkembangan masa yang diikuti perkembangan pendidikan bahwa siswa harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan sekolah. Sekolah mempertimbangkan pendapat siswa dalam memutuskan kegiatan yang akan dilaksanakan. Kegiatan siswa haruslha kegiatan sesuai dengan karakter dan kebuthannya. Suara aspirasi siswa benar-benar didengar, diakomodir, dan dilaksanakan. Siswa diserahi sebagai inisiator dalam banyak kegiatan kesiswaan. Termasuk diberikan tanggung jawab untuk mengatur prosesi pengumuman kelulusannya sendiri. Berkolaborasi dengan adik kelasnya atau pihak lain yang menurut siswa akan menjadi suport sistem yang baik.

Perkembangan selanjutnya, kostum pengumuman kelulusan tidak sekedar hanya berbusana adat, namun sudah menggunakan pernik-pernik baju wisuda selayaknya sarjana. Samir, Topi dan Baju Toga disiapkan. Siswa merasa perlu untuk berdandan lebih menawan untuk menyesuaikan dengan kostum wisuda. Beberapa tidak puas dengan menyewa, namun harus pengadaan baru lengkap dari ujung rambut sampai sepatu. Kegiatan juga melibatkan photografer profesional untuk membuat buku tahunan sebagai kenangan. Lengkap sudah kebahagiaan siswa dalam "pesta" kelulusannya. Dampaknya tentu saja pada membengkaknya anggaran yang harus disiapkan. Beberapa wakil siswa dan wakil orang tua mengadakan rapat tentang kegiatan ini, tentu saja disepakati, terbukti kegiatan dilaksanakan. 

Gebyar pesta terhenti ketika Covid melanda di Tahun 2020-2022. Semua dalam kerinduan sebuah perayaan. Hingga covid berakhir, tahun 2023 semua dinyatakan normal seperti sebelum Covid melanda dunia. Kehidupan seperti menggeliat kembali, tidak terkecuali pesta kelulusan, dimulai kembali. Dengan gebyar semakin meriah hampir di semua sekolah. Berbiaya tentu saja.

Kembali masyarakat terusik dan merasa gerah. Melemparkan kesalahan ke sekolah. Seolah perayaan ini adalah keputusan sepihak. Di mana ada sekolah yang berani memutuskan sendiri sebuah kegiatan yang melibatkan siswa dan dana? Tidak ada satu kegiatan pun yang boleh dirancang tanpa melibatkan siswa, orang tua dan komite. Ketika masyarakat gerah oleh tingginya anggaran wisuda? mengapa ke sosial media mengadu? Seolah sekolah adalah pelaku kejahatan yang lari dari tanggung jawab. Sekolah, Kepala Sekolah, Guru,dan Tenaga Kependidikan lainnya berada di sekolah. Tidak lari kemana-mana.

Masyarakat yang keberatan besarnya biaya wisuda yang memberatkan, lebih bijak menyampaikan kepada orangtua/komite yang menjadi wakil mereka di sekolah. Lebih ksatria jika berani menyampaikan sendiri.  Ini merupakan pendidikan karakter untuk putra putri mereka sendiri, bahwa komunikasi adalah jalan terbaik unuk mencari dan menjadikan diri sebagai solusi. Masyarakat juga tidak boleh lupa, memiliki kewajiban dengan porsi yang sama dengan sekolah, untuk mendidik anak. Pemikiran Ki hajar Dewantara tentang Tri pusat pendidikan, bahwa pendidikan adalah tanggung jawab orang tua, sekolah dan masyarakat.

Sebaiknya merancang acara kelulusan dibahas di sekolahan, bukan di sosial media. Bila orang tua merasa keberatan tentang suatu kegiatan sekolah, semua  agar didiskusikan untuk menemukan jalan keluar bersama. Bagaimana agar anak tetap bisa mengekspresikan kegembiraannya setelah melewati masa belajar yang melelahkan. Bagaimana agar anak dapat dengan bangga menampilkan kegiatan-kegiatan kreatif yang diapresiasi langsung oleh orang tuanya. Banyak hal baik yang akan menjadi kenangan bagi siswa. Tinggal bagaiaman mengemas moment luar biasa tersebut dengan cara sederhana, penuh makna, murah namun bukan murahan. Orang tua dan masyarakat ditunggu kontribusinya untuk menyampaikan gagasan, bukan hujatan. 

 

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisannya keren dan inspiratif. Salam Literasi.

23 Jun
Balas

Terimakasih, mohon bimbingannya untuk produktif terus menulis

23 Jun



search

New Post