Masa Sekolahku
Setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri Getas Kauman Lor tahun 1987, aku melanjutkan Sekolah di Semarang. Sekolah Guru Olahraga ( SGO ) di Ibu Kota Propinsi Jawa Tengah menjadi pilihanku sesuai saran dan anjuran bapakku. Pada saat mendaftar sebagai siswa baru di SGO Negeri Semarang aku diantar oleh bapak. Teringat betul pesan beliau saat itu kepadaku. Pada saat test pengukuran tinggi badan aku harus sedikit mengangkat tumit keatas agar tinggi badanku dapat mencapai 160 cm. Maklum karena saat aku SMP dulu aku tergolong anak laki-laki yang tidak terlalu tinggi mesti tidak bisa dikatakan kerdil he.. he..
Pada akhirnya aku diterima di SGO Negeri Semarang sesuai harapan orang tuaku. Aku harus mulai belajar hidup mandiri jauh dari orang tua. Untungnya di SGO Negeri Semarang menyediakan fasilitas asrama untuk siswa-siswanya. Maka tinggalah aku bersama 30 siswa lainnya di Asrama putra. Aktifitas keseharianku hanyalah belajar , berlatih , dan bergaul dengan teman-teman satu asrama.
Ada hal yang memprehatinkan dibalik kisahku tinggal diasrama. Aku menikmati benar keseharianku diasrama, akan tetapi aku tidak tau betapa sulitnya kedua orang tuaku saat itu membiayai aku dan kedua kakakku sekolah di Ibu Kota propinsi ini. Pada suatu ketika saya dan kakakku ke 2 yang bernama Budi Agus Suseno pulang kampung secara bersamaan. Kakakku sekolah di Sekolah Perawat Elisabet Semarang memasuki tahun ke 3 saat itu, sedangkan aku kelas 1 SGO Semarang. Kami berdua sama sama tinggal diasrama di sekolah masing masing. Sebagai anak kost pada saat Sabtu sore kebiasaan kami jika sudah tidak punya uang saku pasti pulang kampung untuk meminta bekal kepada orang tua kami. Hanya saja saat itu secara kebetulan kami pulang bersama. Saat kami sampai dirumah tampak senyum bangga kedua orang tua kami menyambut kedatangan aku dan kakakku. “Bu ..., Bu..., kae bocah bocah pada mulih” yang artinya “Bu ....., Bu ...., itu anak anak pada pulang. Begitu kata bapak kepada ibuku dengan senyum bangga saat itu.
Singkat cerita, tiba saatnya kami berdua harus kembali ke Semarang pada Minggu sore untuk melanjutkan sekolah kami masing masing. Tampak wajah gelisah dari ibuku saat itu, menunggu kedatangan bapakku entah sedang pergi kemana.Aku dan kakaku tidak tau. Beberapa saat kemudian bapakpun datang. “Bu , bu... iki aku wis entuk duite nggo nyangoni bocah bocah sekolah”. Dengan logat jawanya bapak berkata kepada ibu di dapur yang artinya kurang lebih “Bu , bu ... ini aku sudah dapat uangnya untuk membekali anak anak sekolah”. Ternyata bapak habis pulang dari pasar untuk menjual perhiasan ibu yang sudah tinggal satu satunya. Itu aku ketahui ketika ibu sedang berbisik kepada bapak dan aku tak sengaja mendengarnya. “Pak ..., kui mau wis gari siji sijine sing ana” artinya : pak ..., itu tinggal satu satunya yang tersisa. Mendengar itu aku merasa sedih namun tak mampu berbuat apa apa. Mataku selalu berkaca dan berair ketika teringat bisikan ibu ke bapak saat itu.
Hari hari berikutnya membuatku ragu-ragu untuk pulang kampung lagi. Jika memang tidak perlu sekali maka aku akan tetap bertahan di Asrama dengan segala keterbasannya. Untungnya aku sudah bisa mencari uang dengan main sepakbola “Tarkam” atau antar kampung dengan bayaran saat itu Rp. 5.000 , bayaran yang mampu membuatku bertahan 1 minggu di Asrama tanpa harus pulang. Pada saat itu harga Mie goreng rebus nyemek yang dijual keliling disekitar asrama adalah Rp. 350 dan satu tujuk sate Rp. 150. Jadi paket lengkap mie dan sate Cuma Rp. 500. Jika arena tarkam sedang sepi maka aku membantu temanku menjualkan dagangan ibunya di pasar Johar yaitu berjualan pindang. Dengan senjata khas bambu kecil atau (tuding) yang ujungnya berjuntai rafia sebagai pengusir lalat. Biasanya aksiku ini terjadi pada saat selepas Jumatan dan hari Minggu pagi sampai siang. Setidaknya ketika membantu orang tua temanku makan siang dan makan pagiku sudah disediakan ibu temanku. Dan aku masih dapat uang saku kurang lebih Rp. 2.000.
Kerja kerasku belum berakhir disitu saja , pada waktu musim hujan tiba sudah tidak asing lagi kota Semarang pasti akan tenggelam oleh banjir. Dengan ketinggian air berkisar 20 cm hingga 50 meter sudah cukup untuk menghentikan laju motor dan mobil yang terjebak oleh genangan air. Dan itu berkah buat saya , karena lapangan pekerjaan baru bisa aku lakukan dengan membantu mendorong motor dan mobil yang mogok di kisaran jalan Atmodirono hingga bangkong dekat sekolah dan asrama tempat kami tinggal. Seratus dua ratus rupiah aku kumpulkan dari jasa aku mendorong motor atau mobil lumayan untuk bertahan ditengah hiruk pikuknya kota Semarang. Demikian kutilis kisahku ini untuk dapat diambil hikmahnya. Manfaatkan masa sekolahmu dengan baik karena sesungguh amatlah berat orang tua kita mencari naskah untuk menyekolahkan anak anaknya. Jangan sia siakan kerja keras kedua orang tua kita dan berikan pengabdian terbaik kita disisa usia kedua orang tua kita. Untuk itu ...ijinkan aku pulang.
Dan kisahku masih akan berlanjut ...nantikan catatanku yang kan datang.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
SUbhanallah, Perjuangan yang luar biasa. Ditempa pengalaman masa lalu membuat hidup semakin berarti ya pak.
benar sekali mas Yudha...
Hidup penuh perjuangan Bang, dengan tekad yang kuat maka akan indah pada waktunya.
Mie godog pk kadir ms agus....
Bener bener mas ....
Mie godog pk kadir ms agus....
ha ha iya mas broo , uenak tenan
ha ha iya mas broo , uenak tenan
Mendampingi orang tua adalah sebuah pilihan MULIA....