Tri Agus Prasetijo

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Pembunuhan Karakter
Wajah Lama Sepak Bola Kita

Pembunuhan Karakter

Bicara tentang sepak bola selalu saja tak pernah ada habisnya. Melibatkan hati dan segala rasa untuk ungkap tentang sepak bola. Hasil pertandingan di dalam permainan sepak bola selalu saja jadi misteri. Tidak bisa dihitung ala matematika atau rumus kimia. Juga tidak dapat diprediksi seperti A menang lawan B, B menang lawan C dan Otomatis A bisa menang lawan C. Tidak bisa demikian. Karena di dalam pertandingan sepak bola itu sendiri banyak hal yang bisa menentukan hasil pertandingan.

Kualitas teknik dari sebuah tim kesebelasan bisa jadi menjadi modal penting untuk mewujudkan setiap kemenangan. Akan tetapi bukan menjadi faktor utama untuk mewujudkannya. Karena selain kualitas teknik masih ada faktor lain seperti mentalitas tim, motivasi, daya juang, dan faktor non teknik. Justru faktor non tekniklah yang lebih dominan menentukan hasil pertandingan sepak bola saat ini. Apalagi posisi pertandingan sudah mendekati akhir musim kompetisi atau pertandingan-pertandingan akhir.

Pendekatan yang sukses dari managemen tim kepada pengambil kebijakan tertinggi dari institusi atau assosiasi sepak bola, tentu saja akan melahirkan sebuah komitmen pengawalan hasil pertandingan. Dan hal inilah yang sangat mempengaruhi hasil akhir kompetisi. Sehingga hasil pertandingan di akhir kompetisi tidak saja jauh dari kata prediksi tetapi juga bisa sangat mengejutkan dan menyakitkan.

Biasanya yang menjadi korban dalam situasi diatas adalah tim yang hanya bermodal kualitas teknik saja. Sementara faktor non teknik tidak memadai sehingga nilai tawar atau bargaining powernya lemah atau rendah. Inilah yang aku sebut dengan pembunuhan karakter. Pemain yang susah payah berlatih dari kecil dan sudah mencapai kualitas teknik terbaik pada tingkat usianya, akan tetapi masih saja kalah dari tim dengan pemain yang kualitas tekniknya tidak lebih baik. Merekalah yang seharusnya lebih memiliki hak untuk bisa berada pada level pertandingan selanjutnya. Akan tetapi hak mereka dirampas oleh adanya ambisi, gengsi, arogansi beberapa pihak yang bisa mengambil keuntungan dari situasi ini.

Pada tahun 2009 lalu tepatnya pada ajang kualifikasi Porprov sepak bola, aku bertugas sebagai Head Coach tim sepak bola Porprov Banjarnegara. Tim besutanku saat itu bermain melawan tim Porprov Purbalingga. Secara kualitas teknik kami lebih unggul. Akan tetapi hasil pertandingan sungguh jauh dari prediksi kami. Kami sempat unggul 2-0 sampai pertengahan babak ke-2 berlangsung. Hasil ini sepertinya sesuai dengan harapan kami, tetapi semua berbalik 180° ketika waktu pertandingan tersisa 10 menit. Wasit mulai memainkan skenarionya yang merupakan bagian dari MOU bersama pihak-pihak lain yang memiliki ambisi, gengsi dan arogansi di atas.

Bermula dari serangan lawan yang berhasil ditangkap penjaga gawang kami waktu itu Suchaimin. Ketika Sucha melakukan tendangan dari kotak terlarang wasit membunyikan peluit pertanda pelanggaran yang dilakukan Sucha saat itu. Sucha dituduh melakukan tendangan di luar kotak terlarang sehingga dianggap handsball. Hukuman tendangan bebas pun diberikan wasit kepada tim lawan. Keputusan ini sempat memicu protes beberapa pemainku akan tetapi aku berteriak untuk tidak protes berlebihan. Tendangan bebas pun dilakukan, para pemain Porprov Banjarnegara membentuk pagar betis untuk menghalangi tendangan bebas lawan. Pemain yang menjadi pagar betis memposisikan diri menghadap tendangan lawan dengan kedua tangan melindungi bagian vital masing-masing.

Eksekusi tendangan bebas lawan terarah ke alat vital Saptono (salah satu pagar betis) di mana sudah terlindungi oleh kedua tangannya. Alhasil tendangan lawan membentur tangan Saptono. Mestinya hal ini tidak terjadi handsball karena tangan Saptono dikatagorikan tidak aktif. Akan tetapi wasit memutuskan lain. Handsball di berikan oleh wasit untuk kami dan tendangan penalti diberikan untuk lawan. Keputusan ini dianggap berlebihan oleh para punggawa kami. Beberapa pemain protes keras atas keputusan wasit. Hingga salah satu pemain kami (Andri) harus dikartu merah oleh wasit karena dianggap protes berlebihan.

Penalti pun kami terima dan 1 pemain kami terkena kartu merah. Eksekusi lawan berhasil menembus gawang kami. Skor berubah menjadi 2-1 masih untuk keunggulan kami. Sisa pertandingan masih 5 menit lagi. Derita kami ternyata belum berakhir. Di lima menit terakhir ini kami diteror oleh keputuan wasit yang tidak berpihak bahkan merugikan buat kami. Mulai lemparan ke dalam yang selalu disalahkan, serangat kami yang selalu berakhir offside, dan benturan yang selalu berakhir untuk tendangan bebas lawan. Meskipun bermain hanya dengan 10 pemain, sebetulnya kami masih menguasai jalannya pertandingan. Akan tetapi karena skenario yang di jalankan wasit, pada akhirnya kami pun dihukum dengan penalti untuk yang kedua kalinya, dimana kami sendiri tak tau sebab musababnya penalti itu terjadi. Sekali lagi gawang Suchaimin dibobol untuk kedua kalinya melalui titik putih.

Pada akhirnya pertandingan berkesudahan 2-2. Kami pulang dengan nilai 1. Ketika wasit meniupkan peluit akhirnya, beberapa penonton dan para pemain kami berusaha mengejar wasit karena kecewa atas keputusan-keputusan yang telah diambil selama pertandingan. Untungnya pihak keamanan sigap dengan situasi yang ada dan mampu mengamankan wasit dan perangkat lainnya dari amuk masa.

Di saat semua sudah tenang aku mencoba berkomunikasi dengan manager tim Porprov Purbalingga saat itu. Mas Martoyo begitu aku memangilnya. Aku ungkapkan rasa kecewaku atas kepemimpinan wasit. Pada saat itu tersirat jelas dari perkataanku bahwa aku pun kecewa dengan mas Martoyo yang tega melakukan ini semua pada kami. Aku mengira mas Martoyo lah yang menjadi aktor semua ini. Akan tetapi semua anggapanku itu ternyata salah. Mas Martoyo sendiri juga merasa heran mengapa wasit melakukan hal ini. Karena beliau tidak pernah mengkondisikan hasil pertandingan. Ternyata ada pihak-pihak lain yang menunggangi keputusan wasit sore ini. “Kejadian ini bukanlah kehendak kami” begitulah yang dikatakan Mas Martoyo saat itu.

Hal ini sudah sering kali terjadi di banyak kesempatan. Hal senada juga disampaikan pelatih Porprov Rembang saat lawan tim Porprov Kendal beberapa hari lalu pada ajang Kualifikasi Porprov 2018. Dalam satu IG di seputar Kendal pelatih Porprov Rembang berkomentar atas salah satu status IG di sana, “Ini semua bukan kehendak kami”. Yang saat itu Kendal kalah 2-3 dari Rembang dalam situasi yang lebih parah dari apa yang kami alami di tahun 2009. Dalam pertandingan itu kendal terkena 2 kartu merah dan 3 kali penalti. Luar biasa bukan.

Ini bukan soal siapa yang diuntungkan dengan hasil ini. Akan tetapi mengapa hal yang semacam ini masih saja terus terjadi. Pembunuhan karakter pemain muda Indonesia masih saja terus berlangsung. Beberapa pemain hebat tak akan pernah mampu menunjukkan tajinya pada ajang yang sesungguhnya karena mereka di kebiri pada babak-babak penyisihan. Menyedihkan.... sungguh menyedihkan. Kerja keras kami tim pelatih juga kerja keras pemain dalam mengikuti program TC tim berbulan-bulan menjadi sia-sia semuanya. Karena keputusan wasit yang tidak sportif hanya di satu pertandingan saja ....waaaooow. Semoga para eksekutor di lapangan hijau ini mendapat pengampunan atas segala dosa yang sudah dibuatnya. Aamiin.

#savepemainmuda

#sepakbolaIndonesia

#lebihbaik

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post