
GURU SEJATI, & SEJATINYA GURU
Hal klasik yang sering saya tanyakan pada saat mengajar di kelas baru, yaitu kelas yang siswa-siswanya pada tahun pelajaran baru menjadi siswa pada jenjang pendidikan tersebut. Misalnya kelas 1 atau sekarang kelas 7 untuk jenjang SMP/MTs, dan/atau kelas 10 untuk jenjang SMA/SMK/MA/MAK. Siapa di antara kalian yang mengidolakan guru? Maka hampir 100% anak-anak angkat tangan. Nggak tahu apakah jawaban itu muncul karena yang menanyaklan saya selaku gurunya. Karena mereka takut jangan-jangan kalo tidak angkat tangan menjadi masalah besar bagi mereka. Atau istilah zaman Umar Bakri yang dalam Bahasa Tuban [pantura] disebut ‘dicing’ atau dibully atau diancam baik nilai ataupun sikap perilaku sehari-hari.
Tetapi asumsi ini tenyata terpatahkan, karena ketika pertanyaan kedua saya lontarkan “Siapa yang bercita-cita ingin mejadi guru?” Ternyata tidak lebih dari 10% anak-anak yang angkat tangan. Artinya mereka jujur menjawab tanpa rasa takut akan istilah dibully tadi oleh sang guru. Bahkan yang ironis lagi ketika penulis mengajar [memberikan kuliah] pada PGSD/PGMI dan/atau yang jelas-jelas mereka dididik untuk menjadi guru sekalipun. Mereka tetap mengatakan, bahwa jurusan tersebut bukan menjadi keinginannya tetapi pilihan terakhir, ketika mereka mencoba masuk ke fakultas-fakultas favorit seperti kedokteran [mungkin terlalu memaksakan diri] atau fakultas hukum, ekonomi dan lainya tidak dierima. Barangkali termasuk penulis sendiri ... ‘JUJUR’ ketika masih duduk di bangku SMA dulu juga sama sekali tidak bercita-cita menjadi guru. Maklum dulu penulis adalah alumni SMAN 1 Bojonegoro yang memang dianggap dan diyakini sebagai sekolah favorit dan gudangnya para calon ilmuwan [www.sombong.com. ... sombong sedikit boleh khan ..???]. Dan seingat penulis dari satu kelas yaitu Jurusan Fisika [A1], hanya dua orang yang menjadi guru, yaitu seorang cewek masuk di D-III MIPA ambil juursan Matematika IKIP Surabaya [sekarang Unesa], dan saya sendiri masuk di D-III FMIPA Universitas Airlangga ikut crossprogram dengan beasiswa Proyek Pelita pada saat itu.
Tetapi benar yang Allah firmankan ... terkadang kita menyukai sesuatu tetapi Allah belum tentu dengan-Nya ... begitupun sebaliknya terkadang kita tidak suka sesuatu hal tetapi Allah berkenan atas-Nya. Dan sebaik-baik sesuatu hal itu adalah apa yang Allah pilihkan. Dan apa yag tertulis tersebut menjadi kenyataan hidup penulis.
Kebahagiaan menjadi guru bukanlah pada saat kita belajar di bangku kuliah, tetapi pada saat kita srawung [berinteraksi] dengan peserta didik. Kebahagiaan itu mucul pertama kali pada saat penulis melaksanakan Program Pengalaman Lapangan [PPL] atau praktek mengajar [saat itu praktek di SMAN 2 Lamongan Jawa Timur]. Berbagai tantangan pendidikan dan pembelajaran seperti menyusun RPP, membuat media pembelajaran, menyusun evaluasi pembelajaran, dan berbagai perangkat pendukung pembelajaran, serta yang paling utama adalah tantangan pertanyaan peserta didik terkait dengan materi maupun prospek pendidikan lanjutan [konsultasi perguruan tinggi tentunya]– menjadikan arti tersendiri bagi penulis. Di sini siswa benar-benar bisa menjadi inspiring guru. Dan seolah-olah penulis menjadi bak seorang DEWA yang serba tahu, padahal konsep ini salah, karena menurut Winarno Surakhmad, bahwa guru bukanlah ‘Dewa’ yag serba tahu, tetapi guru adalah siswa yag selalu belajar dan belajar untuk meyempurnakan dirinya. Inilah KONSEP SEJATINYA GURU, artiya guru janganlah puas dengan apa yang sekarang ia kuasai, dan seolah-olah sudah menjadi best of the best. Padahal lingkup sesungguhya guru bukanlah di dalam bathok [tempurug] – tetapi dalam univers [semesta]. Ibarat katak yang merasa besar saat di dalam tempurung – padahal dunia luar begitu luasya.
Atas alasan tersebut guru harus mengasah terus-menerus ilmu karena merasa haus [kemaruk ilmu], serta memperbaiki diri [karakter]. Bagi Allah kemaruk [serakah] – hanya boleh dalam hal menuntut ilmu. Sehingga Rasulullah Muhammad SAW, dalam haditsya bersabda, “Tuntutulah ilmu sampai ke negeri China’. Artinya, menuntut ilmu itu adalah halal dimanapun berada – asalkan untuk tujuan mulia. Selain itu menuntut ilmu juga tidak mengenal waktu dan batas usia – kapan pun usia berapa pun [long life education].
Kebahagiaan menjadi guru bagi penulis benar-benar nyata saat penulis mendapat tugas pertama kali sebagai Guru Ikatan Dinas di pedalaman Kalimantan Tengah, tepatya di SMPN Buntut Bali Kecamatan Pulau Malan Wilayah Kerja Pembantu Bupati Katingan [sekarang Kabupaten Katingan] Kabupaten Kotawaringin Timur. Di sana penulis benar-benar merasakan arti sebenarnya guru. Pelajaran paling berharga yang penulis dapatkan adalah bagaimana harus beriteraksi dengan lingkungan yang sama sekali berbeda dengan asal penulis [kompetensi kepribadian, & sosial], harus mampu menyajikan pembelajaran yang menarik bagi peserta didik karena memang kondisi sarana prasarana pembelajaran yang serba kurang mendukung/minimalis [kompetensi pedagogik], dan bahkan termasuk melayani konsultasi siswa dalam hal belajar [kompetesi konseling]. Semua menjadi semakin indahnya memilih guru sebagai profesi. Dan alhamdulillah dalam suasana yag sangat terbatas penulis beserta aparat pemerintah setempat, dan masyarakat pada sekitar tahun 1996 mampu mendirikan Masjid, dan beberapa fasilitas lain yang sebelumya tidak ada. Dan di sini penulis benar-benar melihat semangat siswa untuk belajar di Sekolah, dan sore atau malamnya belajar ilmu agama [mengaji] di Masjid. Hari-hari anak-anak didikku benar-benar menjadi indah dan berarti [ada pelangi di mata mereka, gairah menyongsong masa depan].
Berbagai jenjang profesi selanjutnya pernah penulis geluti, sebagai Guru SMP [bahkan di Yayasan Non Muslim sekalipun/ukhuwah wathoniyah], Guru SMA/MA, Pengawas Pendidikan, Fasilitator, Narasumber Diklat/Workshop/Seminar, Tutor D-2 PGSD, dan Dosen PGMI/S1/S2 Perguruan Tinggi, dan sekarang sebagai pejabat struktural. Tetapi dari semua jabatan tersebut hanya satu jabatan yang benar-benar menjadikan hati tentram, damai, sejuk, indah, dan membahagiakan yaitu mengajar. Karena ada panggilan jiwa yang susah untuk disampaikan dalam sebuah wawancara dan/atau paparan tulisan meskipun beribu-ribu halaman jumlahnya. Tetapi semua ada dan hanya bisa dirasakan di dalam hati sanubari [qolbun salam]. Inilah hakekat menjadi GURU SEJATI, yaitu bahwa guru itu panggilan jiwa yang harus dilakoni [dijalani] dengan sesungguhnya tidak tanggung-tanggung, totalitas, karena guru adalah amanah Allah & hanya diberikan pada orang-orang yang mampu menjalani, tidak pada semua orang. Selamat Hari Guru ... Bangkitlah Guru Indonesia ... Cerdaskan & Bangun Karakter Bangsamu ...
Pesanggrahan, Selasa, 9 Maret 2021[1] Penulis pernah mengajar hampir pada pada semua jenjang pendidikan mulai jenjang pendidikan dasar [SD/MI, SMP/MTs, jenjang pendidikan menengah SMA/SMK/MA, maupun jenjang pendidikan tinggi D2, S1 maupun S2] kecuali pada jenjang PAUD [TK/RA/BA/TA] – hanya sebagai motivator parenting bagi ibu & anak PAUD.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar