KEDASIH, Panggilan Telepon Tanpa Nomor
KEDASIH:
Panggilan Telepon Tanpa Nomor
Jam dinding di ruang tamu berbunyi tepat 12 ketukan. “Sudah Tengah malam ..”, gumamku. Segera aku rapikan buku-buku novel yang baru saja kubaca. Dan aku bermakusd ke kamar mandi untuk sekedar cuci kaki dan membasuh muja. Tapi tiba-tiba hp berdering ada telpon. Aku batalkan niat ke kamar mandi, dan segera kembali aku datangi hp yang berada di samping buku-buku novel yang barusan aku. Hp pun ku angkat dengan maksud menjawab panggilan. Tapi ternyata tidak ada nomor yang muncul. Si penelpon rupanya men-silent nomornya, tetapi tetap saja aku klik menerima – sekali lagi tidak ada jawaban dari pemanggil yang membuat diriku penasaran. Hal yang sama tejadi selama tiga hari ini, aku mencoba bertanya kepada temen-temen barangkali ada temen group SMP, SMP, atau saat kuliah yang meneleponku tetapi mereka juga bilang tidak pernah menelepon. “Ya, sudah lah barangkali hanya orang iseng saja”. Pikirku.
Sudah seminggu aku tidak lagi memikirkan tentang panggilan dalam hp yang tidak ke luar nomornya. Karena, bagiku itu hanyalah temen-temen yang kepo atau iseng belaka. Kesibukan selaku pelayan masyarakat (public service) membuat hari-hari penuh dengan komunikasi, dan berkecimpung dengan masayarakat umum mulai dari kalangan bawah hingga kalangan atas. Haro-hari hanya penuh bagaimana, masyarakat respek dan puas dengan pelayanan yang ada. Tidak complain, apalagi melaporkan kepada atasan atau yang lebih tinggi lagi. Hal itu akan menjadi catatan dan preseden kurang baik tentunya. Untuk itu public service harus memiliki multi startegi bagaimana cara menghadap masyarakat yang memiliki berbagai macam tipologi.
Pukul 12.00 WIB, aku dan beberapa Tim Healing bagi masyarakat korban bencana Semeru segera istirahat saat telah ada instruksi dari BPBD. Dari kamp-kamp penampungan atau hunian tidak tetap (HUNTTAP) para korban yang berada di seputuran lembah dan lereng Gunung Semeru yang baru saja mengeluarkan kawah panas penuh sesak oleh para korban. Dari wajah mereka menyiratkan kesdedihan yang mendalam, dan bahkan kengerian dan ilusi-ilusi bayangan yang mencekam. Wajar, mereka adalah para saksi korban yang melihat langsung bagaiman orang-orang yang dicintai, ayah, ibu, saudara, dan anak-anak mereka sendiri harus nmenjadi korban keganasan aliran lahar sementara mata m,ereka melihat tetapi tidak mampu berbuat apa-apa. Sungguh sebuah penderitaan yang tidak bisa dibayangkan sebelumnya. Mataku tanpa sengaja menatap seorang gadis yang duduk diam termangu di ujung salah satu kamp Hunttap. Pandangannya menerawan jauh ke arah Gunung Semeru yang berdiri kokoh dengan sisa-sisa asap mengepul dari puncak kaldera. Kakiku pun tak bisa kuhentikan untuk mendatanginya. Aku tidak ingin menggangiu lamunan gadis itu, sehingga hanya duduk pada sebonngkah batu memebelakangi punggungnya. Gadis itu bernama Kedasih. Ia bercerita tentang bagaimana keluarga dan orang-orang yang dicintau terenggut akibat lahar Semeru. Ia berkata sambal menangis sesenggukan, serta menenggelamkan mukanya di antara dua kaki kanan kirirnya. Aku sangat memahami akan derita Kedassih. Tanpa memberikan komentar, Kedasrih terus bercerita bagaimana bencana itu terjadi. Mulai dari datangnya para investor yang mengeruk pasir besi yang ada di seputuaran gunung, pengerusakan hutan-hutan, dan dibangunnya taman-taman wisata yang dijadikan perbuatan maksiat sehingga menyebabkan kesusajkn alam dan juga moral masyarakat. Kedasih mengutuk semua, dan bagi dirinya itulah yang menjadi penyebab bencana. “Para penjaga gunung, dan pengghuni gunung sesungguhnya” marah, dan kemarahan itu tidak dapat lagi dibendung”. Saat berkata kalimat tersebut nada Kedasih nampak meninggi, tapi kemudian tidak terdengar lagi suaranya. Aku berfikir ia sudah mengakiri ceritanya. Aku segera berbalik, tetapi Kedasih sudah tidak ada di kursi lagi. Aku mencoba mencari ke dalam kamp Hunttap, tetap saja tidak menemukan Kedasih. Tiba-tiba hp di kantong celanaku berdering, dan segera aku angkat – ternyata panggilan itu kembali. Panggilan tanpa nomor hp. “Kedasih ….???”. Tanpa sengaja mulutku pun bergumam.
*******
Sang Kelana, Rabu 27 September 2023
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen ceritanya, Pak. Salam literasi
Terima kasih apresiasinya pak Dhe
Keren menewen Mas senior. Sukses selalu
Terima kasih apresiasinya pak
Kisah yang menarik
Terima kasih apresiasinya bunda
Kisah keren... barokalloh...
Terima kasih apresiasinya bunda
Cerita yang mengharukan. Salam sehat dan sukses selalu.
Terima kasih apresiasinya pak Dhe
Terimakasih admin
Ceritanya bagus sekali. Salam literasi.
Terima kasih apresiasinya pak
Cerita misteri, bikin penasaran, lanjut Pak Trianto
Terima kasih apresiasinya pak Rochadi
Titip pesan , ya. Siip kisahny,Bapak. Salam sukses.
Terima kasih apresiasinya bunda
Keren ceritanya. Sukses selalu Pak Trianto.
Terima kasih apresiasinya bunda