Quotes Hari ini
“Derajat Tertinggi Menulis adalah Ibadah”
Jika boleh saya katakan, bahwa menulis itu ada tingkatanya (derajat) sebagaimana irama ma’rifat. Ketika ketika sudah mampu merasakan irama kenikmatan itu, maka kita akan jatuh dalam pelukkan bidadari menulis. Indah, penuh dengan irama dan rasa yang tidak dapat diungkapan dengan kalimat maupun tulisan. Semua terasa mengguncang, terbang menembus angkasa dan halus laksa sutra. Kita tentunya akan merasa ada yang hilang ketika ketika erbaiasa shalat malam (tahajud), kemudian malam ini kita bangun kesisngan dan tau-tau sudah adzan shubuh. Seperti itu kira-kira gambaran ketika kita sudah merasakan candu menulis.
Berikut adalah tingkatan dari menulis. Pertama, menulis itu adalah keterpaksaan dan beban. Hal demikian cukup kita rasakan ketika baru benar-benar mulai menjadi penulis (Maaf, jika boleh aya katakan sebagai penulis pemula). Sebagaimana bangun pagi yang belum biasa, rasa kantuk yang amat sangat, karena terbelenggu bagaimana enaknya tidur pagi, bagaimana nikmatnya dalam zona nyaman (comfort zone). Jangan satu kalimat, satu kata pun akan terasa berat. ini merupakan awal sebuah perjuangan, dan ketika mampu melawan itu maka kita akan mengatakan bahwa ternyata zona nyaman itu bukanlah zona yang benar-benar nyaman. Ibarat ‘kodok sak jerone bathok” (bagai katak dalam tempurung) kata orang Jawa, seolah-olah kita besar tetapi di luar tempurung itu dunia jauh lebih luas lagi. Jadi keterpaksaan dalam menulis ini harus kita lawan.
Kedua, menulis adalah sebuah kewajiban (obligation). Sebagian besar dari kita tentunya masih ingat bahwa guru sekarang ini dituntut menulis sebagaimana tersurat dalam Peraturan Menteri Negara PAN & RB Nomor 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsonal Guru dan Angkat Kreditnya. Bahwa setiap kenaikan pangkat mulai dari pangkat golongan Penata Muda Tk. I III/B diwajibkan untuk memenuhi unsur Publikasi Ilmiah (PI)/Karya Inovatif (KI). Disini menulis sebagai syarat utama untuk bisa naik pangkat golongan seorang guru. Dan kewajiban atau tuntutan PI/KI itu begitu sangat membebani. Di sini sebenarnya masuk dalam jenjang kedua dari menulis, dimana kita masih ada tagihan, mengharap reward, dan hal-hal lain dari kewajiban menulis itu. Ibaratnya masih mengharap sesuatu dari sholat kita, dari ibadah kita, padahal semua itu adalah hak prerogatif dari Tuhan Yang Maha Esa. Dan Tuhan Maha Tahu, kapan dan apa yang harus Ia berikan.
Ketiga, menulis adalah habbit (habituasi). Derajat berikutnya dari menulis adalah bahwa menulis itu suatu kebiasaan. Sebagai suatu kebiasaan tidak ada lagi beban dalam menulis, tidak lagi kita menulis untuk mendapat sesuatu seperti angka kredit, dan reward. Kita sudah tidak peduli dengan itu semua, tetapi menulis mengalir sebagaimana aliran sungai, lepas dan bebas dari riak-riak keinginan. Dari sini kita sudah mengubah mindset, bahwa menulis tidak lagi sebagai suatu kewajiban yang membebani (writring is not an obligation), tetapi menulis adalah suatu kebutuhan (writing is a necessity). Sehingga tiada hari tanpa menulis, dan kita telah mendapatkan nikmatnya dan/atau kepuasan dalam menulis. Dan inilah yang sekarang digagas dan difasilitasi oleh beberapa komunitas seperti gurusiana,id dengan penerbit mediagurunya yaitu bagaimana menjadikan menulis itu sebagai kebiasaan kita dengan berbagai tantangan yang diberikan, seperti menulis 365 hari dan lainnya, termasuk resolusi menulis 2021. Gurusiana selalu memprovokasi komunitas belajar seperti guru, dosen, dan tenaga kependidikan serta kalayak umum untuk selalu stay on dan meng-upgrade keilmuan menulis dan sekaligus mempublikasikan hasil tulisan mereka dengan berbagai fasilitas kemudahan tanpa meninggalkan kualitas tulisan.
Keempat, menulis adalah budaya (culture). Ini merupakan derajat runner up. Sebagai budaya, menjadikan menulis itu adalah apa yang kita lakukan sehari-hari. Sebagaimana makan dan minum – ia menjadi ruh, jiwa, serta raga kita. Menulis menjadi darah dan daging kita, menulis menjadi mimpi-mimpi kita. Dimana pun, kapan pun, dan dalam kondisi bagaimana pun di situ mengalir tarian jemari untuk mengekspresikan gagasan yang ada dalam rongga kepala dan dada kita. Mimpi, sadar, bahkan dalam alam bawah sadar adalah ide-ide dan inspirasi tulisan kita.
Kelima, menulis adalah ibadah. Ini merupakan puncak dan derajat tertinggi dalam menulis. Niatkan setiap huruf, kata, kalimat, frase, parafrase, paragrap, dan tulisan kita adalah semata-mata ibadah kepada-Nya. Sebagaimana niatan dan tujuan ketika kita beribadah, “sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup, dan matiku semata-mata hanyalah untuk Mu Yaa Rabb.”. Dalam hal demikian kita patut belajar pada para penulis pendahulu yang meniatkan diri menulis untuk ibadah, seperti Ibnu Sina dengan Qanun Kedokteran (Al-Qanun fi At Tibb), Imam al Ghozali dengan Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), dan Jalaluddin Rumi dengan al-Matsnawi al-Maknawi adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam, khususnya dunia puisi, dan masih banyak para tokoh yang telah menorehkan nama besar di dunia kalam pena.
Mereka mencoretkan kalam-kalam hanya untuk memuji kebesaran Illah yaitu Allah Azza wa Jalla. Karena Hanya dengan demikian setiap karya yang tertuang menjadi amalan-amalan ibadah jariyah kita. Insyallah.

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Terimakasih admin
Btl bgt p Tri. Mi saat mau post ada trouble, ckp galau jg sih
Nggih Bun sama. Makanya off ber-SKS. Terimakasih apresiasinya
Mantap ulasannya.
Terimakasih apresiasinya bunda