Trianto Ibnu Badar at-Taubany

BAGAIMANA MENULIS ITU? Menulis merupakan pekerjaan yang begitu berat, bahkan dapat membuat orang stress, frustasi, dan kolaps. Bagaimana tidak banyak d...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sepenggal Kisah Kampung Halamanku (Bagian 2)
Penulis sedang melakukan wawancara dengan Saksi Hidup tentang Desa Prambvontergayang H. Mulyodiharjo (H.M. Badar) ayah penulis sendiri. Beliau kelahiran tahun 1933 dan saat ini telah berusia sekitar 91 tahun

Sepenggal Kisah Kampung Halamanku (Bagian 2)

Sejarah Desa Prambontergayang

Setiap desa (daerah) pasti memiliki sejarahnya masing-masing, demikian halnya dengan Desa Prambontergayang. Sejarah asal muasal desa (daerah) seringkali tertuang dalam dongeng-dongeng yang diwariskan secara turun-temurun dan disampaikan dari mulut kemulut (cerita lisan). Model penyampaian melalui dongeng (cerita lisan) ini sulit dibuktitkan kebenarannya secara fakta. Meski demikian Budaya Dongeng (cerita lisan) ini dipercaya juga bisa menjadi sumber historiografi yang menjadi dasar dalam rangka pembuatan sebuah historis (sejarah).

Konon pada zaman dahulu yaitu masa kerajaan Mataram Kuno sekitar abad ke-VIII (732 M) tersuratlah sebuah kisah tentang asal-usul sebuah peradaban, berawal dari sebuah daerah terpencil tepatnya di pedukuan Kenduruan.[1] Di pagi yang masih buta tampaklah dua pemuda bersaudara yang telah ditinggalkan ayah dan ibu mereka sedang berkemas-kemas menyiapkan bekal seadanya untuk berangkat mengembara mencari jati diri dan makna kehidupan serta ingin lebih mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widi Wasa Pencipta Alam Semesta. Dari kedua pemuda itu sang kakak bernama KROMO SENTIKO dan sang adik bernama KROMO REWOK.

Setelah berembuk sesaat mereka kemudian memutuskan untuk memulai pengembaraannya berjalan ke arah selatan menyusuri sungai menerobos lebatnya hutan jati yang masih perawan yang sama sekali belum pernah dirambah manusia, naik bukit dan menuruni jurang tak jarang mereka harus berhadapan dengan binatang buas yang kelaparan siap memangsa mereka juga gangguan dari makhluk halus seperti jin, ilu-ilu, banaspati, genderuwo, dan makhluk gentayangan lainnya. Tetapi karena kedua pemuda itu sudah punya bekal ilmu bela diri dan aji kadigdayaan,. maka semua halangan itu dapat diatasi.

Tepat tujuh hari dalam perjalanan maka sampailah mereka pada suatu tempat yang dihuni oleh ratusan monyet (krapyak), anehnya monyet-monyet itu hanya berkumpul di satu pohon KECACIL atau SAMBI atau KESAMBI (Schleichera oleosa) besar yang tak jauh dari sungai dan di bawah pohon itu ada sebuah PERABON TUA.[2] PERABON berasal dari kata perabuan yang artinya kuburan, melihat fenomena alam dan kemistisan tempat itu KROMO SENTIKO berfikir pasti yang dikubur di perabuan atau kuburan itu orang sakti atau bahkan orang suci, maka setelah beristirahat dan berfikir sejenak di tempat itu hatinya merasa tenang yang kemudian memutuskan untuk babad alas dan tinggal disekitar perabon itu sambil memelihara PERABON TUA itu yang diyakininya perabuan orang suci dengan membuat tempat peristirahatan yang dikenal dengan nama LEDHANGAN di bawah pohon Asam Jawa (Tamarindus indica) yang menyatu dengan Beringin Hutan raksasa atau Panggang (Ficus benjamina Spp). LEDHANGAN adalah semacam tempat yang digunakan untuk istirahat sekaligus bertapa (bertafakur) mendekatkan diri pada Sang Pencipta dan dikeramatkan yang biasanya diberi sesajian (letaknya tepat di selatan Balai Desa, seiring perkembangan zaman tempat itu sekarang sudah menjadi pemukiman).[3] Kemudian tempat itu oleh KROMO SENTIKO diberi nama BANARAN yang berasal dari 'Pengembane Pengeranyang' yang artinya abdi Tuhan.

Berbeda dengan sang kakak, sang adik yaitu KROMO REWOK diberi tugas babad alas agak ke arah Barat Daya yang berjarak sekitar 3 km dari Ledhangan (tepatnya sekarang di sebelah timur Pasar Prambontergayang), dan karena tempat dia babad ada sebongkah batu besar yang memantulkan cahaya ketika terkena sinar matahari maka KROMO REWOK memberi nama tempat itu 'KARANGTAWANG’, KARANG artinya batu, TAWANG artinya langit, jadi artinya batu langit, seperti anggapan KROMO REWOK, bahwa batu itu adalah batu langit (sejenis batu meteor yang jatuh dari angkasa).[4] Dan tempat itu pula tempat istirahat dan tidur Kromo Rewok selesai melaksanakan babad hutan.

Seiring berjalannya waktu dari hari berganti minggu, dari minggu berganti bulan, tak terasa bertahun-tahun sudah dua bersaudara itu menempati tempat tersebut, tempat itupun semakin ramai oleh para pendatang yang ingin tinggal, hingga suatu saat tibalah seorang pendatang yang menghadap pada KROMO SENTIKO bernama KROMO GENJIT. Sebagai pendatang baru KROMO GENJIT merasa berkewajiban menghadap KROMO SENTIKO sebagai wujud rasa hormat kepada tetua yang babad tempat itu, adapun maksud kedatangan KROMO GENJIT adalah meminta ijin pada KROMO SENTIKO untuk babad alas di sebelah utara Sungai tersebut.[5] Sungai ini sekarang dikenal dengan nama Sungai Bongde. Bongde singkatan dari Embong Gede (Bendungan Besar), karena di arah hulu sungai ini tepatnya di Dusun Ngampon Desa Jati ada bekas bendungan besar masa Belanda. Permintaan Kromo Rewok itupun oleh KROMO SENTIKO langsung disetujui.

Keesokan harinya Kromo Genjit memulai pekerjaannya membuka hutan yang berada di sebelah utara Sungai. Anehnya di tempat itu sangat banyak ditumbuhi pohon GAYAM (Inocarpus fagifer) sementara daerah sekitar yang tumbuh kebanyakan adalah pohon JATI (Tectona grandis L.f.).

Berbeda dengan Kromo Sentiko dan Kromo Rewok, saat beristrirahat selesai membuka hutan di sebelah Utara Sungai Kormo Genjit beristirahat di sebelah Selatan Sungai dengan cara menggali lobang di bawah tanah (pendem). Tempat itu digunakan oleh Kromo Genjit untuk istirahat sekaligus bertapa (bertafakur), memohon agar dimudahkan usahanya untuk membuka hutan di utara sungai. Akhirnya untuk menghormati jerih payah Kromo Genjit dalam membuka hutan gayam ini, tempat istirahat Kromo Genjit setiap tahunnya dilakukan manganan atau nyadran yang dikenal dengan Manganan Pendem yang berada di Kuburan Krapyak bagian Utara.[6] Dan oleh Kromo genjit tempat hutan gayam yang dibabadnya itu diberi nama PENDUKUHAN GAYAM, nunggak semi dengan nama pohon Gayam.

Singkat cerita dari ketiga pedukuhan tersebut telah mengalami perubahan dan pemekaran hingga menjadi dua Kelurahan yang membawahi beberapa pedukuhan kecil. Yang pertama KELURAHAN PRAMBON (diambil dari kata Perabon) dan membawahi tiga pedukuhan kecil yaitu Dukuh BANARAN, Dukuh KARANG TAWANG (yang kemudian berganti nama menjadi JALIN) dan yang terakhir Dukuh SAWAHAN. Kelurahan yang kedua bernama KELURAHAN GAYAM yang membawahi dua pedukuhan kecil yaitu KENTI dan DALWO.

Kemudian pada masa Orde Baru yaitu pada masa pemerintahan Lurah TALKAH terjadi penggabungan dua kelurahan tersebut menjadi satu Desa dan diberi nama "PRAMBONTERGAYANG". Nama ini diambil dari kata “Prambon dan Gayam”, dua pedukuhan yang digabungkan menjadi satu.

[1] Pedukuhan Kenduruan sekarang menjadi kecamatan Kenduruan, yaitu sebuah kecamatan di Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur, Indonesia yang berbatasan dengan Jawa Tengah. Ibu kotanya terletak di. Wilayah Kecmatan Kenduruan di bagian utara berbatasan dengan Kecamatan Jatirogo. Lalu wilayahnya di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bangilan. Di bagian selatan, Kecamatan Kenduruan berbatasan dengan Kecamatan Kasiman dalam wilayah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Sementara di sebelah barat, Kecamatan Kenduruan berbatasan dengan Kecamatan Sale dalam Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Selain itu, di sebelah barat Kecamatan Kenduruan juga berbatasan dengan Kecamatan Bogorejo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. https://id.wikipedia.org/wiki/Kenduruan,_Tuban

[2] Tempat ini sekarang berada disebelah barat Balai Desa Prambontergayang, dan dijadikan pemakaman umum bernama Makam Krapyak. Dan untuk menghormati para leluhur yang membuka (babad) desa, maka setahun sekali pada panen raya di tempat tersebut diadakan Manganan atau Sedekah Bumi atau Nyadran, yaitu serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada umunnya sebagai wujud rasa Syukur kepada Allah, dan mendo’akan para leluhur terutama leluhur yang babad tanah tersebut. Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-purwokerto/baca-artikel/16021/Mengenal-Nyadran-Tradisi-Menyambut-Bulan-Ramadan.html

[3] Letak Ledhangan ini sekarang berada di sebelah Selatan Balai Desa Prambonterganyang. Pada masa kecil Penulis dulu, tempat ini sering jadikan untuk pembakaran umpet (kemenyan) untuk meminta keinginan (hajat), terutama dari Masyarakat yang berasal dari luar Desa Prambontergayang. Saat itu juru kuncinya bernama Mbah Suraji yang masih adik dari kakek Penulis dari jalur ayah. Tetapi sekarang tempat tersebut telah menjadi perkampungan (pemukiman), digunakan untuk perumahan anak dan cucu Mbah Suraji.

[4] Tempat ini sekarang masih dihormati oleh sebagian masyarakat sekitar. Dan setahun sekali saat selesai panen raya sering diadakan Manganan atau Sedekah Bumi atau Nyadran, sebagaimana di tempat perabon tua.

[5] Sungai ini sekarang dikenal dengan nama Sungai Bongde. Bongde singkatan dari Embong Gede (Bendungan Besar), karena di arah hulu sungai tersebut tepatnya di Dusun Ngampon Desa Jati ada bekas bendungan besar masa Belanda yang membentang (membelah Sungai) dari utara Sungai (lereng/lembah pegunungan kapur utara) ke selatan sungai. Bendungan ini sekarang tinggal sisa-sisanya saja (bekas bendungan). Tetapi pada bekas bendangan besar itu sekarang juga dibuat (dibangun) bendungan baru yang biasa di sebut Dam Ngampon. Dam berasal dari Bahasa Belanda yang artinya bendungan, dan Ngampon adalah tempat Dimana bendungan tersebut berada. Dam Ngampon digunakan untuk mengairi persawahan yang berada di Desa Jati dan Desa Cekalang Kecamatan Soko, Dusun Bopong Desa Sugihwaras Kecamatan Parengan, dan Desa Prambontergayang Kecamatan Soko khususnya Dusun Jalin. Sungai Bongde berhulu (bersumber) dari Desa Wadung yaitu salah satu desa di kecamatan Soko yang berada di arah Barat Daya dan berbatasan dengan Kecamatan Parengan.

[6] Manganan Pendem dilaksanakan pada hari yang sama dengan Mangan Krapyak tetapi dilakukan setelah Manganan Krapyak dan hanya dilakukan oleh Masyarakat sekitar daerah tersebut. Pada saat Manganan Pendem dilakukan dengan menyembelih 1 (satu) ekor kambing

Sejarah Pemerintahan Desa Prambontergayang

Desa Prambontergayang senyatanya tercatat telah memiliki usia yang cukup panjang, yaitu sejak masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yaitu masa Raja Airlangga berkuasa di Kahuripan hingga saat ini.

Secara administrasi, setidaknya mulai tahun 1909 masa penjajahan Belanda administrasi pemerintahan Desa Prambontergayang secara terstrutur dan terorganisasi telah tercatatkan.

Berikut adalah sejarah pemerintahan yang terkait dengan kepemimpinan Lurah/Kepala Desa Prambontergayang yang diketahui sampai dengan sekarang:

1. Lurah Sojo memimpin selama 10 tahun dari Tahun 1909 Sampai 1919.

2. Lurah Umar memimpin selama 10 tahun dari Tahun 1919 Sampai 1929.

3. Lurah Gondo Mustopo memimpin selama 2 tahun dari Tahun 1929 Sampai 1931

4. Lurah Joyo Urip memimpin selama 30 tahun hinggal meninggal dari Tahun 1931 Sampai 1961.

5. Lurah/Kades Talkah memimpin selama 29 tahun dari dari Tahun 1961 Sampai 1990.

6. Kades Ashror memimpin selama 9 tahun (dua periode) dari Tahun 1990 Sampai 1999.

7. Kades Ahmad Saerozi memimpin selama 14 tahun (dua periode) dari Tahun 1999 Sampai 2013. Kades Ahmad Saerozi adalah putra dari Lurah/Kades yang ke-5 yaitu Lurah/Kades Talkah.

8. Kades Sayatri Handoko Warih, SH., memimpin selama 2 periode dari Tahun 2013 sampai sekarang.[2]

Sabat, 13 April 2024

[1] Nara sumber Bapak Tarsilan atau penulis biasa memanggil Lik Tarsilan salah satu garis keturunan Kromo Sentiko yang juga masih kerabat penulis sendiri.

[2] Kades Sayatri Handoko Waris, SH., yang saat ini menjabat sebagai Kades ke-8 dan menjabat sejak 2013 masih kerabat dari penulis sendiri.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren menewen ulasannya Mas senior. Sukses selalu

13 Apr
Balas

Terima kasih atas apresiasinya bunda p Burhani

13 Apr

Mantap ulasannya, Pak

15 Apr
Balas

Keren pak...sehat dan sukses selalu

13 Apr
Balas

Terimakasih apresiasinya bunda

13 Apr

Terimakasih admin

13 Apr
Balas

Mantul paparannya pK. Salam literasi dan sehat selalu. Mohon maaf lahir batin.

13 Apr
Balas

Terimakasih apresiasinya bunda

14 Apr

Sangat informatif. Terima kasih.

13 Apr
Balas

Terimakasih apresiainya bunda

13 Apr

Mantap kisahnya, Bapak.Mungkin lebih mantap lagi kalau ceritanya dibuat bersambung besok. Salam sukses..

13 Apr
Balas

Terimakasih apresiasinya bunda

14 Apr

Sangat inspiratif. Sukses selalu sahabat

13 Apr
Balas

Terimakasih apresiainya sahabatku pak Sultan

13 Apr

Mantap ulasannya, Pak.

13 Apr
Balas

Terimakasih apresiasinya bunda

13 Apr

Konon pada zaman dahulu yaitu masa kerajaan Mataram Kuno sekitar abad ke-VIII (732 M) tersuratlah sebuah kisah tentang asal-usul sebuah peradaban, berawal dari sebuah daerah terpencil tepatnya di pedukuan Kenduruan.[1]... Ini tulisan yg aneh. Zaman itu waktu Sang Maharaja Rakai Sanjaya berkuasa di Jawa bagian selatan, Jawa Timur blom ada apa2nya.Mpu Sindok aja blom ada apalagi Airlangga xixixi...Kalau kejadian itu terjadi pada abad XV masih bs dinalar, em waktu Mataram Islam alias Mataramnya Panembahan Senopati,,,silahkan babad Gedhongan, babad yg disembunyikan, jgn hnya asal mengutip sembarangan, karena historiografi hrs ada kajian yg lengkap

14 Apr
Balas



search

New Post