Kedai Kopi
#tantanganmenulis114
Kedai Kopi
Penjelasan bu Camelia justru menumbuhkan beberapa pertanyaan baru. Mengapa masyarakat Jepang, walaupun memiliki kekayaan melimpah atau jabatan tinggi, tetap dengan senang hati menyapu, mengepel, mengelap, mengosek toilet, mencuci, menjemur, menyetrika, bahkan memasak dan mencuci piring. Bukankah tanggung jawab itu dapat "dilimpahkan" ke orang lain dengan posisi asisten rumah tangga?
Malam itu saya diundang oleh beliau untuk minum kopi. Bertempat di kedai kopi tua. Di gang kecil dekat Gotemba Eki. Saya memenuhi undangan tersebut, selain ingin berdiskusi dengan beliau saya suka dengan kedai kopi itu. Suasana masa lalu langsung menyeruak. Perabot serba vintage. Juga lantunan lagu-lagu yang berasal dari piringan hitam. Saya memesan segelas kopi.
Teman saya itu sudah lanjut usia. Tepatnya seusia nenek saya. Beliau asli orang Indonesia. Menikah dengan dokter Jepang. Pertama kali kenalan ketika beliau menawarkan program sister school pada saya. Beliau bergabung dalam wadah semacam komite sekolah di sebuah SD. Saya tentu dengan senang hati menerima tawarannya. Lambat laun kami menjadi sahabat. Beberapa kali beliau mengundang saya untuk menikmati makan atau sekadar minum kopi sambil berdikusi. Suaminya juga menemani. Mereka menjadi sahabat yang menyenangkan.
Tokyo/24 September 2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar