POMPA ANGGUK
Tepat 2 jam lewat 20 menit burung besi yang kutumpangi akhhirnya mendarat. Alhamdulillahi robbil alamiin aku mengucap syukur tiba dengan selamat. Terima kasih Ya Allah. Walaupun badan pesawat belum parkir dengan sempurna. Sempat tegang juga ketika terjadi turbulensi di udara, padahal cuaca cerah. Turbulensi udara cerah terjadi saat langit benar-benar bersih dan tidak berawan. Aku pernah membaca dari sebuah sumber bahwa turbulensi saat cuaca cerah bisa berbahaya karena awak kabin memiliki sedikit waktu untuk memeringatkan penumpang. Kucoba untuk menengok ke jendela oh..terminalnya sudah banyak perubahan, ya hampir empat tahun aku tidak pulang ke kampung halaman ayahku. Sepertinya landasan pacunya juga sudah panjang, memungkinkan bandara untuk menampung jet berukuran sedang seperti Airbus A330 yang kutumpangi ini. Kulepas safety belt yang melingkar diperutku, aku betul-betul mengikuti arahan dari pramugara dan pramugari yang bertugas. Barangkali hampir semua orang yang pernah naik pesawat, pasti pernah ditegur pramugari untuk menggunakan sabuk pengaman saat pesawat akan take-off ataupun mendarat. Kelihatannya sepele, namun sebenarnya hal tersebut rupanya sangat penting perannya dalam keselamatan penerbangan. Karena dengan seat belt, titik berat pesawat bisa dijaga. Setiap pesawat dilengkapi dengan center of gravity (CG). Jadi desain pesawat itu tidak boleh CG-nya bergeser. Itu informasi yang pernah kudapat dari seorang teman yang berprofesi Pilot. Kulangkahkan kakiku lebar-lebar secepat mungkin menuju ruang tempat pengambilan bagasi, beruntung tidak terlalu lama koperku sudah muncul dilingkaran roler coster mini, ya miriplah. Di luar sudah menunggu dengan manis kakak dan keponakanku yang lucu. Rindu sekali dengan mereka semua. Kupeluk dan kucium erat satu per satu. Cuaca di kotaku ini benar-benar terik.
“Ehm...panas sekali menyengat dikulit.” Keluhku.
“Iya beberapa hari ini panas terus, belum ada hujan.” Kata kak Nur sambil melirik ujung spion. Di sebelahnya Daffa anak bontot kakaku asyik dengan gadgetnya.
“Daffa sekarang kelas 7 SMP ya? Wah sudah bujang ini, ndak boleh manja sama Mama.” Tanyaku memecah keseriusannya bermain.
“Iya Te.” Jawabnya pendek.
Biasalah anak sekarang kalau diajak bicara jarang menatap orang, telinganya mendengar tapi pusat perhatiannya pada benda yang dipegang.
“Yuk turun kita makan dulu Coto Makassar.” Ajak kak Nur setelah menepikan mobilnya diparkiran sebuah restoran.
“Wah tahu aja kita kangen coto.” Jawabku girang.
Di kotaku ini, coto adalah satu dari sekian masakan yang paling terkenal walaupun ini masakan khas dari Sulawesi Selatan. Ya rasanya sangat khas dan ngangeni. Juara banget. Empat puluh lima menit kami asyik melepas rindu sambil mengenang beberapa kisah yang lucu dan haru. Puas rasanya. Akhirnya sampai di rumah ibu, pintu sudah terbuka lebar seolah-olah sangat paham betul ingin menyambut kedatanganku. Ibu terlihat begitu tua sekali, karena sakit stroke yang dideritanya. Sudah sepuluh tahun ibu terbaring di kamarnya, sesekali duduk dikursi roda untuk melihat udara segar, di halaman rumah. Ibu sangat kuat, tak terasa air mata ini, sudah meluncur dikedua pipiku. Kupeluk erat tubuhnya. Kucium kedua punuk tangannya. Sembari mengusap airmatanya. Ya Allah sehatkan ibuku, beri waktu yang panjang, untuk kami bisa selalu bersama. Tidak ada yang berubah, kukitari seisi rumah ibu. Semua sudut rumah punya cerita yang berbekas sampai sekarang. Sedih, lucu, nyebelin, riang, semua ada di rumah ibu. Kulewati masa kecilku sampai aku menikah bersama ibu, ayah, kakak, dan adikku di rumah ini. Sesekali aku tersenyum kalau mengingat itu semua. Ya rindu untuk kembali di masa lalu.
Pagi ini Kak Ima sahabatku akan menjemput. Ia akan mengajaku ke sebuah pesta rakyat. Nah... yang kutunggu datang juga. Kami melaju di atas sepeda motor matic. Dulu Kak Ima paling takut belajar mengendarai sepeda motor, takut jatuh, takut luka, takut ketabrak, takut..takut..dan takut.. Tapi sekarang ngebut seperti pembalap handal. Itulah seperti peribahasa mengatakan alah bisa karena biasa. Kami melewati beberapa sumur minyak yang masih aktif. Dahulu sekitar tahun 1896 perusahaan perminyakan Belanda BPM (Bataavishe Petroleum Maatchapij) menemukan adanya sumber minyak di pulau ini. Banyak tenaga kerja didatangkan dari Pulau Jawa untuk pengeboran minyak. Nah satu diantaranya adalah kakekku. Aku banyak mendapat cerita dari ayah juga dari Datu angkatku tentang sejarah kota ini. Makanya tak heran kalau satu kampung yang aku lewati ini banyak bermukim suku Jawa. Sampai sekarang di kota ini masih ada perusahaan minyak. Ada beberapa pompa angguk yang masih aktif. Pompa angguk atau sering juga disebut sucker rod pump adalah salah satu jenis pompa pada industri hulu migas yang menggunakan metode artifical lift (tenaga bantuan) dalam pengangkatan minyak bumi dari dalam sumur. Pompa ini menggunakan piston sebagai komponen utamanya serta bantuan tenaga listrik atau gas sebagai sumber tenaga dalam proses pengangkatan minyak mentah dari bawah permukaan tanah. Dari dulu hingga sekarang kotaku ini terkenal dengan kekayaan minyak buminya. Sehingga pulau ini sering menjadi daerah perebutan kekuasaan pada zaman kesultanan maupun kolonial.
“Dek, kita singgah sebentar ke tempat Paman Hatab ya.” Pinta kak Ima sayup terdengar dari balik helmya.
“Iya kak, boleh.” Sambil terbawa angin kukeraskan suaraku.
Paman Hatab, seperti pernah aku mendengar nama itu. Sambil aku coba mengingat, di mana, kapan, aku pernah bertemu dengan nama yang disebut Kak Ima. Ah..sudahlah aku ikut saja. Sambil bernostalgia di sepanjang jalan menuju ke rumah Paman Hatab lagi-lagi kujumpai menara atau tower bekas peninggalan masa kolonial Belanda untuk menyedot minyak mentah dari perut bumi. Dua belas tahun yang lalu, aku masih ingat betul ketika sepeda motorku mogok di dekat pompa angguk dan menara itu. Sepulang mengajar dari sebuah Perguruan Tinggi satu-satunya yang ada di kota ini. Rantai motorku putus. Entah bagaimana itu terjadi padahal baru saja dua hari yang lalu di servis di bengkel resmi. Nasib..nasib pikirku.. Aku coba mendorong motor untuk mencari tempat teduh, ada pohon beringin besar dekat pompa itu. Kucoba mengutak atik, tetap tidak bisa, namanya juga besi sudah putus. Mesti beli baru. Bengkel terlalu jauh dari tempat ini. Menghubungi siapa ya...pikirku. Teman-teman di kampus juga sedang mengajar. Adiku juga tidak mungkin, dia sudah bertugas di pulau seberang. Kakaku juga tidak di tempat. Berdoa mungkin lebih baik, supaya ada keajaiban. Sudahlah bersabar saja. Tak lama kemudian ada sebuah mobil menghampiriku. Menyembul sebuah kepala dari balik kaca. Seorang lelaki memakai kaca mata hitam. Mobilnya menepi. Kulihat dia menutup pintu dan melangkah ke arahku.
Dia tersenyum. Kubalas dengan anggukan.
“Kenapa motornya mbak?” tanyanya ingin tahu.
“Rantainya putus pak?” jelasku sambil menunjuk bagian dekat jeruji sepeda motorku.
“Oiya rantainya putus?” tanyanya memperjelas lagi.
“Kalau begitu sebentar ya saya hubungi kawan untuk membawa ke bengkel” sambil membuka handphone jari-jarinya mengetuk di layar.
Aku tidak kenal orang ini, tapi dia langsung menawarkan untuk membawa motorku ke bengkel. Jawaban dari doaku akhirnya terkabul ada orang baik hati yang mau menolong setelah berpanas ria mengharap keajaiban.
“Mbak ikut saya saja, nanti saya antar sampai bengkel terdekat ya”sarannya pada ku.
Aku hanya bisa mengangguk, sambil tersenyum mengikuti ujung bayangannya.
Di dalam mobil kami saling berkenalan, bertukar alamat dan nomor telepon.
“Dek kita sudah sampai, melamun ya?” tanya Kak Ima padaku.
Aku tersadar, uff di mana ini. Oiya kata kak Ima kita akan ke rumah Paman Hatab. Rumah ini seperti tak asing buatku. Kak Ima langsung membuka pagar tinggi yang terbuat dari Kayu Ulin. Kayu besi, khas Kalimantan yang kuat dan awet. Kayu Ulin tahan akan serangan rayap dan serangga penggerek batang, tahan akan perubahan kelembaban dan suhu serta tahan pula terhadap air laut. Banyak digunakan untuk berbagai keperluan, seperti pondasi bangunan di dalam air dan lahan basah, atap rumah (sirap), kusen dan pintu. Kayu Ulin terutama dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, seperti konstruksi rumah, jembatan, tiang listrik, dan perkapalan. Tak heran jika rumah-rumah di sini banyak menggunakan kayu ulin untuk konstruksinya.
“Paman ada tamu jauh datang ini!” tanpa mengucap salam Kak Ima nyelonong masuk mencari-cari si pemilik rumah.
Aku hanya diam di depan pintu sambil memperhatikan berbagai tanaman anggrek koleksi si pemilik rumah. Sangat indah. Tak lama kemudian Kak Ima keluar dengan seorang laki-laki beperawakan tinggi sekitar 170 cm. Aku coba pusatkan penglihatanku. Sepertinya aku sangat mengenalnya, ya..di pompa angguk tadi, dua belas tahun yanag lalu, di teriknya matahari, rantai sepeda motorku putus, dan..ya dia malaikat penolongku sekarang ada dihadapanku. Iya..aku..aku ingat dia adalah Bang Zul. Zulkifli Hatab begitu nama lengkapnya. Sekali lagi aku hanya bisa tertegun mengingatmu di pompa angguk itu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cerit yang menarik sukses selalu