Tri Endang Kustianingsih

Tri Endang Kustianingsih, lahir di Balikpapan 41 tahun yang lalu. Bekerja di Dinas Pendidikan Kota Surabaya....

Selengkapnya
Navigasi Web
SINGKONG GORENG (PART TWO)

SINGKONG GORENG (PART TWO)

“Di makan ya Pa, tapi jangan terlalu banyak, ini masih hangat dan empuk.” Pesanku sambil mengambil satu potong dan kuberikan pada Papa.

Papa hanya mengangguk. Tangannya meraih sepotong singkong pemberianku.

“Alin pergi dulu, mobilnya belum selesai di servis.” Kataku lagi sambil mencium punggung tangan Papa.

Papa tersenyum. Mengangguk lagi tanda mengiyakan. Tangan kirinya melambai padaku. Terlihat kerut-kerut di kedua sudut matanya semakin tampak jelas. Ia begitu tua. Usia Papa sudah masuk di angka enam puluh lima tahun ini. Ia juga sudah mulai istirahat dari perusahaannya. Adiknya yang meneruskan usaha itu. Sesekali ia akan datang ke kantor untuk rapat pemegang saham keluarga. Atau ada hal penting yang mengharuskan kehadirannya. Makanya Papa berharap aku bisa bergabung di usaha keluarga itu. Semenjak Papa mendirikan usaha sendiri ia semakin sering sakit. Saingan bisnis terlalu banyak di kota ini. Tidaklah mudah menjalankan bisnis ekspor hasil laut. Butuh modal besar dan juga keahlian dan pengalaman berbisnis yang handal. Tapi aku tidak berminat menekuni bisnis seperti itu. Apalagi aku perempuan. Hatiku sudah tertambat pada profesi seorang guru. Walaupun untuk meraih predikat itu butuh perjuangan panjang.

Kembali ke bengkel, ternyata mobilku sudah selesai di servis. Mas Hendra dan pengemudi misterius tadi sudah kembali ke tempatnya. Kuselesaikan pembayaran di loket kasir. Kunci diserahkan kembali padaku dengan secarik kertas tanda surat keluar mobil dari bengkel yang telah di servis. Kuedarkan pandanganku ke arah mobil-mobil yang sedang di servis ada beberapa petugas yang masih menyelesaikan pekerjaannya. Mataku kupusatkan pada beberapa sosok yang kulihat itu. Tapi tidak sama dengan postur Mas Hendra dan pemuda tadi. Atau aku yang tidak cepat menghapal wajah mereka berdua. Mungkin mereka sudah pulang. Karena hari libur jam kerja hanya dibatasi sampai setengah hari. Maksudku ingin mengucapkan terima kasih lagi. Ah tapi tadi kan juga sudah kusampaikan. Rasanya aku sangat berhutang waktu dan tenaga kepada mereka berdua. Tanpa mereka berdua, Papa belum bisa makan singkong goreng sampai sekarang.

Pintu pagar sudah terbuka, padahal tadi sudah kututup rapat. Siapa yang membukanya? Apakah ada tamu yang datang ke rumah? Kuparkir mobil di halaman rumah. Bergegas langkahku menuju pintu rumah. Masih terkunci. Kuambil kunci rumah di dalam tas selempangku. Tidak ada siapa-siapa tapi pintu kamar Papa terbuka lebar apa ia keluar. Tidak ada juga di dalam kamarnya. Kosong. Di meja kulihat singkong dipiring itu tersisa satu potong. Sebanyak itu yang dimakan Papa. Oh celaka batinku. Kupanggil-panggil namanya berkali-kali tidak ada suara jawaban dari ruangan. Di halaman belakang rumah pun tidak ada. Biasanya ia ke belakang untuk memberi makan ikan Koi kesayangannya. Seisi rumah sudah kucari tapi tidak juga kutemukan Papa, di depan, di belakang rumah juga tidak kujumpai. Ke mana Papa pergi?

Tetangga rumah juga sepi. Om Harun dan keluarga tidak ada di rumahnya. Mobilnya pun tidak terpakir di depan. Ada sepeda motor perempuan. Pintunya terkunci. Beberapa kaca jendela nakonya terbuka seperti lupa ditutup. Ke manakah mereka pergi? Apakah Papa ikut dengan Om Harun keluar, karena merasa badannya sudah enakan. Atau Papa jalan-jalan ke tetangga di seberang sana. Di kampung ini memang tidak banyak rumah penduduk. Gang masuknya juga luas bisa dilewati dua atau tiga mobil. Di gang ini pun hanya ada sekitar sepuluh kepala keluarga. Itu pun jarak rumah yang satu dengan lainnya beberapa meter. Hanya rumah Om Harun yang paling dekat karena masih keluarga Papa.

Aku kembali ke rumah mengambil handphone. Papa tidak mengaktifkan handphonenya. Berada di luar jangkauan. Sudah tiga puluh menit aku menunggu di rumah. Berharap Papa memang ikut jalan-jalan dengan Om Harun. Tapi jarum jam di dinding terus bergerak sampai sudah satu jam aku menunggu kedatangan Papa. Tidak mungkin di jemput Om Hilmy adik Papa yang bungsu. Karena baru saja kemarin harus ke Sabah mengurus bisnisnya. Tante Weni adik kedua Papa juga menetap di Sabah mustahil menjemputnya kemari. Mereka tidak begitu dekat. Karena Papa tidak menginginkan adiknya menikah dengan warga negara asing dan menetap di Sabah. Harapanku hanya Om Harun. Aku tidak menyimpan nomornya. Waktu itu aku lupa menyimpan di kontak telepon. Ada juga nomor Andika, tapi tadi kuhubungi juga sedang sibuk terus. Seingatku Andika Dinas luar kota. Pernah pamit ke Papa kalau bulan ini ada tugas luar daerah. Istri Om Harun pasti ikut bersama suaminya.

Suara derum mobil berbahan bakar solar terdengar keras di seberang rumah. Itu suara mobil Om Harun. Aku berlari sekencang-kencangnya menghampiri kedatangannya.

“Om.. Papa..Papa..lihat Papa? Tanyaku terbata-bata sambil tanganku memegangi lipatan rok lipit yang kukenakan.

“Iya Alin, tenang dulu, sabar ya. Om kan baru datang. Ayo duduk dulu.”kata Om Harun menggiringku ke teras depan rumahnya.

Setelah dilihatnya aku bisa mengatur napas. Barulah ia bercerita. Jantung ini rasanya mau lepas dari tempatnya. Mendengar penjelasan Om Harun. Papa di opname karena serangan jantung. Untung cepat tertolong. Karena Om Harun tanpa sengaja menemui Papa di rumah. Setelah makan singkong itu dada Papa terasa nyeri. Lalu dibawa ke rumah sakit. Sampai di sana Papa harus mendapat perawatan yang intensif. Istirahat total. Sekarang Papa ditemani istri Om Harun. Sedikit lega tapi aku harus segera ke rumah sakit, menggantikan istri Om Harun.

“Kamu jangan cemas Alin. Kamu harus sabar ya. Papamu sudah mendapat perawatan terbaik di sini.” Kata Tante Tety istri Om Harun menenangkan ketakutanku.

“Terima kasih banyak Tante sudah menyelamatkan Papa.”kusampaikan terima kasihku sambil memegang kedua tangannya.

Oh Papa, tapi ini bukan karena singkong goreng. Aku ingat ancamanku tadi. Kalau kambuh harus mau diopname. Dia benar-benar sudah menepati janjinya. Papa...

TAMAT

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post