Tri Eni Widyastuti

Saya Guru Biologi yang sok iseng nulis Entah itu masuk kategori tulisan apa , yang penting nulis . Saya nulis juga bukan karena tuntutan angka kred...

Selengkapnya
Navigasi Web

Mak Ijah versus kang Sarpin

Mak Ijah semakin mempercepat langkahnya, tak bisa lagi lah disebut jalan, kini dia sudah setengah berlari.

Kembali mak Ijah menengok ke belakang. Terlihat api yang mengejarnya semakin membesar terpontang panting dengan gerakan tak beraturan. Kadang ke depan, ke samping atau ke belakang. Sesaat api membesar, sekejap terlihat mengecil.

"Banaspati," mak Ijah membatin, "hantu api itu mengejarku."

Rasa takut malah membuat langkah kakinya terasa berat. Saat langkah mak Ijah memelan, api yang mengejarnyapun memperpelan langkahnya.

"Banaspati," kembali mak Ijah menggumam "hantu ujud kepala dengan mata besar melotot rambut gimbal wajah menyeramkan terbungkus nyala api."

Mak Ijah tak berdaya, saat itu jalanan sepi. Sekitar pukul 2 dinihari mak Ijah sudah harus ke pasar membawa barang dagangannya. Dari rumah dia harus melintasi tangsi tentara yang atapnya penuh dihuni kelelawar. Bau tai kelelawar yang menyengat hidung, udara malam yang dingin dan lengang sudah menjadi hal biasa bagi mak Ijah.

Jaman masih susah, negara belum lama merdeka. Mak Ijah harus membawa dagangannya ke pasar tiap malam karena pasar akan mulai ramai sebelum subuh berakhir.

Tapi malam ini, nyali mak Ijah betul-betul diuji. Sebagai penerang jalan mak Ijah hanya membawa obor blarak.

Ya Allah, api yang mengejarnya semakin besar.

"Kalau aku sampai terkejar banaspati itu matilah aku," mak Ijah mulai putus asa.

Aneh, umumnya hantu banaspati bisa terbang hingga ke ujung pepohonan. Tapi kenapa yang ini tidak, dia hanya terombang-ambing kanan kiri saja.

Mak Ijah mempercepat langkah. Di depan ada kerkop, kuburan Cina.

"Aku harus segera melewati kuburan tersebut."

Setengah berlari mak Ijah melintas di pinggir kuburan.

Tapi banaspati yang mengejarnya juga ikut berlari kencang, kencang sekali.

Terdengar teriakan, "Tunggu."

"Mak tunggu maaak." teriakan yang bersumber dari api di belakang semakin kuat.

Mak Ijah hampir saja pingsan.

"Mati aku." batinnya.

Gubraaak, saking paniknya mak Ijah jatuh tersandung. Entah apa yang menyebabkan dia jatuh, mak Ijah tidak bisa lagi berfikir.

Bola api yang mengejar terlihat semakin dekat. Pasrah, mak Ijah hanya bisa merem dan pasrah. Dari mulutnya terdengar dia ndremimil membaca ayat Kursi dan segala ayat yang dia ingat.

"Mak, maaak," terdengar suara begitu dekat di telinga.

"Mati aku, mati akuuu."

"Duh Gusti, nyuwun ngapura Gustiii." mak Ijah terus ndremimil.

"Maaak."

"Oalah mak, dari tadi aku kejar biar ada teman jalan sampeyan kok malah mlayu terus."

Suara di dekatnya menyadarkan mak Ijah. Saat dia membuka mata, ladalah ada kang Sarpin berdiri di dekatnya sambil membawa obor blarak dengan nyala api besar.

"Banaspati... eh Sarpiiin."

"Oalaah kucrut, kang jebul siro sing ngoyak aku," mak Ijah teriak kaget tapi juga lega "tak kira sing ngoyak aku ki medi banaspati."

"Semprul tenan."

Mak Ijah dengan cepat berdiri sambil membenahi jariknya yang sedikit mlorot saat terjatuh tadi.

Purworejo, 18 Mei 2019

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post