Tri Handayani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Menikah Muda

Hand phoneku berbunyi saat diperjalanan pulang kerja menuju rumah, kubaca dilayar Adi(anak pertamaku) menghubungi. “Assalamualaikum”, ucap salamku pada Anakku “Waalaikumsalam, mamah...aku mau minta ijin sama mamah” jawab anakku. “Ada apa mas” tanyaku. “Boleh ngak kalau aku mau nikah muda”, ucapan anakku membuat aku tersenyum, terdengar lucu aku tidak serius menanggapinya. “Lulus aja belum, masa mau nikah”,jawabku. “Oke, aku mau cepat-cepat lulus nih”, suara anakku terdengar gembira. Seminggu lagi menjelang ujian komprehensif, aku khawatir kalau jawabanku tidak mengijinkan akan mengganggu konsentrasinya menghadapi ujian akhir S1. Saat itu teman kerjaku ada dalam mobil bersamaku, ikut tertawa mendengar percakapan itu. “Kayak ngak tahan ,mau kebelakang aja”,temanku ikut menanggapi sambil tertawa. Dihari ujian komprehensif, aku menelpon menanyakan kabarnya, “Bagaimana mas, ujiannya bisa ngak”,tanyaku. “kayaknya 75% aku bisa jawab”, ucap anakku penuh keyakinan. “Alhamdulillah, mamah doain semoga hasilnya yang terbaik”,ucapku memberi semangat. Minggu berikutnya anakku akan menghadapi ujian sidang skripsi. Aku bersyukur anakku bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu, 4 tahun. Setelah pengumuman kelulusannya, dia mengingatkan kembali keinginannya,”mah, jadi ya aku mau nikah muda”ujarnya merengek padaku. “Kamukan belum kerja, mau ngasih makan anak orang pake apa nanti!”jawabku menanggapi rengekannya . “Oke, aku mau kerja”,ucap anakku semangat.

Kami sekeluarga berbahagia, sebagai orang tua sudah menunaikan salah satu kewajiban memberikan bekal pendidikan. Seminggu setelah diwisuda, Anakku diterima bekerja padahal ijazah sarjananya belum diterima. Ia mendapatkan pekerjan sesuai dengan ilmu yang dipelajari. Sebulan berlalu anakku mengingatkan kembali keinginannya. “Mas Adi, bagaimana kalau tahun depan menikahnya, mamah mau nabung dulu buat persiapannya”. Aku memberi alasan. “Mah, yang penting sahnya aja, ngak usah pake pesta segala, calon Adi itu mau diajak hidup susah”, anakku memberi alasan. “ya, ,ngak bisa begitu juga mas, papamu dan mamah punya keluarga besar, mereka harus diundang. Seperti mereka mengundang keluarga kita saat menikahkan anaknya”, aku mencari alasan. Anakku bersikeras menginginkan enam bulan saja, untuk dilaksanakan. “Mamah dan papamu belum mengenal calon kamu dan keluarganya, masa tiba-tiba memutuskan mau menikahkan”. Tantenya(adik iparku) memberi saran untuk menunda keinginan anakku,”Mas Adi masih muda baru 22 tahun, kerja dulu bantu menyekolahkan adik-adik bahagiakan mamah papahnya dulu”. “Memangnya kalau sudah berkeluarga tidak bisa bantu sekolah adik-adik, memangnya kalau sudah berkeluarga ngak bisa membahagiakan orang tua”, anakku berusaha menyakinkan.

“Kalau begitu minggu depan mamah dan papah aku ajak ke rumahnya, kenalan dengan keluarganya”. Anakku mengajak untuk mengenalkan calonnya.

Kami meminta nasihat pada ustad, untuk masalah yang sedang kami hadapi. Ternyata kami disarankan untuk merestui keinginan anak kami, jangan ditunda kalau anak sudah minta menikah. Aku dan suami mememuhi keinginan anakku untuk bersilaturami mengenal siapa calon yang menjadi idaman anakku. Kehadiran kami diterima dengan hangat dan rasa kekeluargaan. Suamiku memperkenalan keluarga kami, dan menyampaikan maksud kedatangan kami untuk bersilaturahmi. Kesempatan itu ternyata digunakan anakku untuk menyampaikan maksud dan tujuannya, niatannya untuk serius mengajak menikah dengan tujuan melaksanakan ibadah, Ia menyampaikan kepada orang tua calonnya dan dihadapan kami. “pah, anak kita jadi melamar”,kataku saat mendengarnya, aku dan suami saling berpandangan, sambil mencubit suamiku.

Layaknya tradisi lamaran, kami sama sekali tidak memakainya, kedatangan kami sekeluarga tidak membawa hantaran seperti adat ketika acara lamaran. Anakku membuat tradisi sendiri, mempunyai keberanian untuk melamar anak orang dengan spotan. Pada saat itu kami hanya membawa oleh-oleh sekedarnya saja.

Sepulangnya aku dan suami mulai serius berdiskusi, membahas keinginan anakku. Menyusun rencana kedepannya. Ketika kita mulai mempunyai rencana dengan niat beribadah, ternyata yang aku rasakan segala urusan menjadi mudah. Kami bisa mencicil persiapan acaranya hanya dalam waktu enam bulan. Masalah persiapan menikah yang kami hadapi bisa diselesaikan. Aku bisa melihat kebahagian yang dirasakan anakku, gaya berpacaran anakku tidak seperti cara berpacaran anak-anak sekarang. Anakku sangat menjaga pandangan dan perilakunya.

Malam menjelang hari akad nikah, anakku bertingkah kekanak-kanakan dipakainya jas dan sepatu kulitnya yang akan dikenakan esok hari. Mondar- mandir dihadapanku dan adik-adiknya. Kami semua tertawa menyaksikan tingkahnya. Memandang wajahnya rasanya masih pantas bermain daripada berunah tangga, akupun belum puas membimbingnya menjadi pria dewasa.

Tiga tahun sudah anakku menjalani kehidupan berumah tangga. Ternyata anakku mampu menjadi kepala rumah tangga yang bertanggung jawab. Wajah kekanak-kanakan akan tetapi dewasa dalam bersikap. Dia dapat berbakti pada ibu mertuanya, dan bisa membuktikan pada kami untuk membimbing adik-adiknya dan tetap memperhatikan aku sebagai ibunya. Setiap selesai salat, dalam setiap doaku selalu aku memohon jadikan anak-anak dan keturunanku soleh dan soleha, kehidupan rumah tangganya Sakinah, mawadah warahmah. Aku senantisa bersyukur Allah memberikan kebahagian ini padaku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post