PART 1 SANG PENAKLUK
"SANG PENAKLUK"
Oleh : Tri Hanifah
(Part 1) Presentation of The Best Work
Masih melekat di pelupuk mata, ketika aku serasa bagai pesakitan berada dihadapan ketiga dewan juri, saat mereka “menghabisi” best practice yang telah kususun dalam kurun waktu dua tahun. Hanya disediakan waktu lima belas menit saja untuk mempresentasikan best practice dan pemutaran video pembelajaranku.
“Latar belakang Anda tidak berdasarkan data, maka ini namanya hoax, rubrik Anda juga kurang mendukung”, tegas ibu juri bergelar doktoral, sekaligus seorang dosen itu.
Ketika pertama jumpa ibu ini kukira dia panitia, teryata seorang juri yang sangat kritis dan teliti. Aku mulai bersedih akan kekuranganku.
“Dan ini apa bedanya dengan metode Jig Saw? Dimana kelebihannya?” tanya ibu juri ke-2 yang juga seorang dosen salah satu universitas negeri di Lampung.
Aku berusaha mempertahankan, bahwa metode yang kubuat memiliki kelebihan dan dapat meningkatkan kreativitas guru maupun aktivitas belajar siswa. Kupaparkan data hasil analisis berbasis hasil observasi, dan data pendukung tentang hasil belajar siswa serta data yang menguatkan tentang pertumbuhan nilai karakter.
“Judul Anda ‘Metode Market Place Activity dengan Coin Reward untuk Meningkatkan Kreativitas Guru dan Aktivitas Belajar Siswa SMA’, bagaimana proses reward atau penghargaan ini dapat Anda jelaskan?” tanya bapak juri dari Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia itu terdengar sedikit lebih ramah.
“Ya Allah lancarkanlah” batinku. Akupun menjelaskannya, aku merasakan ada energi dan mukjizat, sehingga aku dapat memaparkan dengan lebih tenang, kukuasai emosi kesedihan yang tadinya mulai menjalar di pelupuk mata.
Lima menit terakhir aku dipersilahkan untuk mempresentasikan video pembelajaranku. Dan..Oh My God! Soundnya tidak berfungsi, tidak ada suara yang keluar dari notebookku. Aku langsung berinisiatif menggunakan narasi, kupaparkan dalam garis besar dan men-speed up video berdurasi 15 menit ini, agar selesai sempurna dalam sisa waktu lima menit yang disediakan. Dan alhamdulillah, aku bisa menyelesaikannya.
Keluar dari ruangan ujian yang sempit itu tubuhku serasa lunglai, tak ada yang bisa diharapkan, aku sudah tak berfikir untuk menjadi juara, namun yang ada hanyalah kesadaran bahwa ternyata aku masih banyak kekurangan, masih banyak yang harus kupelajari lagi. Di depan pintu, kulihat belasan antrian peserta lainnya menunggu, menanti giliran untuk dipanggil satu persatu, dan aku adalah peserta yang telah dipanggil nomor urut satu.
Lorong jalan kamar hotel ini serasa semakin sempit. Para peserta duduk berjejer di depan pintu ruangan masing-masing yang berbeda. Sesuai kelompok dan tingkatan, mulai Guru TK,SD, SMP, SMA dan SMK serta SLB, ada juga kepala sekolah pada semua jenjang, dan juga pengawas. Nampak ketegangan di raut wajah mereka, semua hampir terdiam, tidak ada yang mengobrol. Mungkin di kepala mereka sedang menyiapkan skenario terbaiknya yang akan dipersembahkan di depan dewan juri. Ada belasan ruangan, yang masing-masing di dalamnya terdapat tiga juri menempati ruang-ruang tersebut.
Mataku menangkap seorang ibu berjilbab biru, tak jauh dari aku berdiri, ibu dengan taksiran umur sudah berkepala lima itu duduk di depan pintu tertutup, tertempel sebuah kertas di pintu bertuliskan Kepala SMK, sambil memangku notebooknya. Ibu Indira, kepala SMK negeri dari Kota Metro. Aku mengenalnya dengan baik. Kami dari Kota yang sama. Seorang ibu yang memiliki suara dan hati yang lembut, tutur katanya halus dan sangat bijak. Kepala sekolah perempuan yang sangat bersahaja. Seperti ada energi seorang anak kepada ibu kandungnya, ingin sekali aku menyeruak dipangkuannya. Kudekati Ibu Indira, ku duduk hampir seperti bersimpuh di samping beliau yang sedang mengetik.
“Bunda, best practiceku sepertinya mengecewakan”, kataku setengah berbisik.
“Kenapa nak..”, sahutnya dengan menolehku, aku memang sudah dianggap seperti anaknya sendiri, matanya kembali menuju layar notebooknya. Pasti beliau sangat sibuk mempersiapkan, seperti juga aku tadi malam. Aku sangat memakluminya. Dia terlihat sangat tergesa-gesa, kulihat jari-jarinya yang cekatan memencet keyboard, dan tatapan matanya yang fokus di laptop. Banyak yang ingin kuceritakan, tapi ini bukan saat yang tepat. Aku mengurungkan berbincang dengannya.
“Bunda selesaikan ini dulu ya nak, power point ibu ada yang belum diperbaiki nih, ngapunten”, Katanya menoleh sebentar sambil tersenyum,
“Oh, nggih bun, monggo, saya yang minta maaf”, jawabku sopan.
Kepalaku mulai berkunang-kunang, aku berusaha bergegas menuju kamar hotel, yang terletak di lantai tiga sisi gedung depan. Aku melewati para peserta yang duduk hampir berdempetan, memenuhi jalan lorong hotel.
Setengah menunduk aku berjalan, dan sepintas aku melihat Ibu Nanik, baru saja keluar dari ruangan yang di daun pintunya bertuliskan Kepala SD. Ibu yang sekamar denganku, aku menghentikan langkahku, tapi kulihat dia sudah sibuk berbincang dengan peserta yang lain. Sepertinya ibu berkaca mata itu sedang diserbu pertanyaan dari peserta yang lain. Kulanjutkan langkahku menuju kamarku.
Kuhempaskan tubuhku di kasur empuk berwarna putih bersih. Kutatap langit-langit kamar hotel, meskipun sedikit kecewa, tetapi hatiku tidak gusar, karena aku sangat menyadari kekuranganku, terselip dalam hati bahwa Allah pasti sangat tahu, bagaimana aku mempersiapkan dengan segala kesungguhan dan segenap kemampuan, Ya Allah aku telah berikhtiar, dan endingnya kuserahkan kepada-Mu. Aku telah memberikan yang terbaik dari hasil karya ku “I have presented my best work”.
“Tok..tok..tok,” pintu kamarku ada yang mengetuk. Untung masih kukenakan jilbabku, segera aku membuka pintu. Wajah Bu Nanik muncul dari balik pintu.
“Loh Ibu sudah selesai?” tanyaku.
“Aku dapat undian nomor satu, wah..lega sudah”, katanya.
”Tapi..duuh masih banyak kekuranganku, best practiceku banyak sekali kritikan dari juri..hhh..tapi sudahlah..ini menjadi pengalaman, supaya tahun depan bisa kuperbaiki, eh Bu Hani kok di kamar? apa sudah selesai ujian?” tanyanya lebih lanjut. Akupun bisa merasakan apa yang dirasakan Ibu berambut pendek itu.
“Sudah bu.. sama bu.. aku juga mendapat nomor urut satu, karena dipanggil berdasarkan absen, kebetulan tadi aku ngisi absen nomor urut satu. Jadi duluan deh bu”, jawabku tersenyum.
“Kok bisa sama ya, aku juga nomor urut satu.. hmm kita tinggal menunggu Ibu Darfa nih, waktu kita jadi sangat luang ya.. nunggu yang lain sampai selesai ujian.. bisa istirahat lumayan panjang niih..”, kata Ibu Nanik tertawa sambil merebahkan tubuhnya di kasur.
Ibu nanik adalah teman sekamarku. Dia kepala sekolah dasar negeri di salah satu sekolah swasta di Lampung Tengah. Sekolah yang terkenal dengan segudang prestasi, baik prestasi sekolah maupun prestasi siswanya. Sekolah itu pernah memperoleh penghargaan sebagai sekolah dengan Unit Kesehatan Sekolah terbaik pada tingkat provinsi.
Bagiku, siapapun yang juara nanti memang dia berhak dan pasti yang telah terbaik menurut juri dan sudah ketetapan dari Tuhan. Aku sudah sangat bersyukur bisa berada di ajang tingkat provinsi ini. Jauh lebih penting bagiku adalah pengalaman dan belajar dari semua proses yang kulalui.
Bagiku, aku hanya mempersembahkan yang terbaik, sekuat dan semampu yang ku miliki. Berdoa dan bersungguh-sungguh dalam persiapannya dan juga dalam mempresentasikan karya terbaikku. Aku berusaha mempersembahkan karya terbaikku. Presentation my the best work.
To be continued .. tunggu cerita selanjutnya besok hari yaa.
#Tantangan hari ke-1.
.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar