Menjadi guru adalah impianku sejak dulu. Meski perjuangan tidak mudah karena kondisi ekonomi orang tua yang pas-pasan. Apakah harus menyerah? Tentu saja tidak. Apapun yang terjadi, sebuah cita-cita mulia perlu diperjuangkan. Terlebih cita-cita menjadi seorang guru. Tahun 1987 masih ada Sekolah Pendidikan Guru (SPG), tetapi aku tidak melanjutkan ke sekolah itu selepas lulus SMP, karena sudah beredar kabar, bahwa SPG akan segera ditutup.

Semangat meraih cita-cita tetap membara. Kemudian akupun melanjutkan bersekolah ke SMA. Singkat cerita setelah lulus SMA, aku bekerja untuk bisa mewujudkan cita-cita. Hasil kerja sebagian kutabungkan untuk mewujudkan bisa berkuliah di perguruan tinggi negeri dengan biaya yang terjangkau. Saat datang masa pendaftaran mahasiswa baru, aku mencari informasi agar bisa mendaftar kuliah di D2 PGSD. Saat itu kusempatkan mencari informasi pendaftaran di IKIP Semarang. Oleh panitia disampaikan bahwa untuk masuk D2 PGSD diprioritaskan untuk para lulusan SPG. Mendengar hal itu, tentu ada rasa kecewa. Untungnya panitia berbaik hati, dan mengatakan jika ingin mendaftar di D2 PGSD masih ada kesempatan mendaftar di IKIP Yogya ataupun di FKIP UNS Surakarta.

Mendengar informasi ini, keesokan harinya langsung kucari informasi pendaftaran ke UNS Surakarta. Rupanya masih ada waktu untuk melakukan pendaftaran. Antriannya sangat panjang. Sabar menunggu giliran, akhirnya selesai juga aku melakukan pendaftaran. Aku mendapatkan informasi jika seleksi penerimaan didasarkan dengan kuota 2 : 1 untuk prioritas lulusan SPG. Bagiku tidak masalah, yang penting masih memiliki kesempatan berkompetisi. Tiba waktunya jadwal seleksi, hati ini mantap mengerjakan soal dengan kemampuan diri. Aku hanya sempat mempelajari soal-soal tes dari buku bekas yang dijual di sekitar tempat pendaftaran saat itu, maklum sudah 4 tahun tidak membaca pelajaran waktu di SMA.

Usai seleksi berlangsung, sabar menanti saat pengumuman tiba sambil terus berdoa. Kuingat pagi itu aku baru nyinom di tetangga sebelah rumah, yang sedang melangsungkan pernikahan. Saat ada pengecer koran yang biasa lewat di depan gang, kusempatkan membeli koran yang spesial di hari itu ada bonus sisipan pengumuman Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (dulu sempat trend dengan nama Sipenmaru), hingga sempat berganti nama beberapa kali. Kubaca dengan hati-hati nama demi nama, kuurutkan pula urutan nomor tes yang diterima, ada yang berurutan dan ada pula yang melompat jauh. Akhirnya sampai kutemukan sebuah nama tertulis di situ, Tri Makno Hartanto, ya... itu memang namaku. Tetes airmata meleleh di pipi. Awal perjuangan meraih cita-citapun dimulai. Kumantapkan dalam hati, jika nanti pada saatnya aku selesai menempuh pendidikan guru ini, maka aku ingin menjadi guru yang bermanfaat untuk murid-muridku

Guru manapun akan merasa bangga ketika murid-muridnya berprestasi. Termasuk ketika guru tersebut juga mampu mengukir prestasi baik sebagai guru maupun kepala sekolah berprestasi. Bila mengingat kenangan saat itu, ada kebahagiaan saat diriku mendapatkan kesempatan melakukan kunjungan ke negara Jepang hadiah dari Kemendikbud tahun 2013. Semangat itu tak pernah pudar hingga kini. Perjuangan tidak akan pernah sia-sia, suatu saat pastilah berhasil juga. Maka hormatilah guru-guru kita agar hidup menjadi berkah. Tetaplah semangat bagi para guru untuk terus berkarya dan berprestasi dengan segenap kemampuan diri. Salam literasi.