Perempuan berparas cantik itu selalu mengajariku apa saja dengan segala kelembutannya. Darinya aku besar menjadi pribadi yang mudah sekali menaruh rasa iba kepada orang lain. Mama begitu peduli pada penderitaan orang lain. Maka tak heran jika nenek begitu menyayanginya. Aku melihat, nenek lebih betah berlama-lama di rumah kami dibanding rumah om dan tanteku.

Aku menuruti permintaan mama. Berdoa dengan khusyuk. Meminta banyak hal. Meminta takdir terbaik untukku. Meminta agar Allah memberiku penghidupan yang bahagia bersama mama dan papa. Meminta agar mama dan papa mendapatkan keberkahan umur hingga mereka bisa terus mendampingi hidupku. Aku tak bisa membayangkan jika aku harus kehilangan salah satu dari mereka. Apalagi jika aku harus kehilangan keduanya. Aku pejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam membuang jauh-jauh pikiranku tentang kehilangan orang-orang yang sangat aku cintai itu.

Mama memberiku pisau kecil untuk memotong kue tart itu. Aku menuruti semua yang mama minta. Memotong kue tart itu beberapa bagian. Aku memberikan potongan pertama kepada mama dan potongan kedua kepada papaku. Sekali lagi mereka menghadiahi aku kecupan penuh kasih sayang. Kali ini kami bertiga berpelukan begitu erat.

Setelah kami menikmati nikmatnya kue tart berbentuk hati dengan hiasan penuh bunga berwarna ungu dan orange, dua warna kesukaanku, papa mengajakku untuk ke kebun belakang rumah.

“Ayo, kita lepas balon ini, Kia. Kita ke kebun belakang rumah saja ya,” ajak papa dengan sangat gembira.

Kami bertiga pun langsung menuju kebun belakang rumah kami. Melepaskan beberapa balon dengan ekor kain bertuliskan “Selamat Ulang Tahun Kia” ke udara. Ah, sungguh, tak ada kebahagiaan yang lebih indah selain berkumpul bersama mama dan papa.

*****