Tri Sulistini

Guru di SMPN 6 Pamekasan...

Selengkapnya
Navigasi Web

MERDEKA BELAJAR, KKM DAN REMIDIAL

Tantangan Hari 57

Saya tak hendak bertele-tele, masa saya sekolah dulu, tidak ada Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Zaman itu, sejak saya masuk SD pada tahun 1979 hingga saya lulus SMA pada tahun 1991, KKM siswa sekolah ya otomatis ada di angka 10 atau 100. Makin jauh dari angka itu, berarti makin tidak tuntas. Makin dekat dengan angka itu artinya ya semakin tuntas. Apakah ada siswa yang mencapai angka mumtaz macam begitu, 10 atau 100? Ada tentu saja. Siswa mumtaz masa itu adalah yang tidak pernah salah dalam mengerjakan tugas, ulangan dan tentu bersikap positif. Tidak ada istilah "Her" atau "remidial testing", yang ada hanya "remidial teaching" Guru menilai sesuai apa yang siswa berikan dan tunjukkan kepadanya. Jika siswa memberi nilai bagus dan menunjukkan sikap dan karakter yang positif, maka angka di raportnya tidak akan jauh dari angka 10 atau 100.

Seiring berubahnya kebijakan pendidikan Indonesia, maka berubah pulalah kurikulum nasional. Tentu saja itu diikuti dengan perubahan struktur dan muatan kurikulum. Termasuk didalamnya adalah penentuan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Kriteria ketuntasan minimal (KKM) selain berfungsi sebagai acuan bagi guru dalam menilai kompetensi peserta didik sesuai kompetensi dasar mata pelajaran yang diikuti, juga berfungsi sebagai acuan bagi peserta didik dalam menyiapkan diri mengikuti penilaian mata pelajaran. Artinya, siswa harus bisa menxapai KKM, jika tidak, siswa tersebut harus mengikuti kegiatan remidial. Kenyataannya, tidak sedikit siswa yang berkali-kali diberi remidial, baik "remidial testing" maupun "remidial teaching", tetap saja tidak mampu mencapai KKM yang sudah ditetapkan. Akhirnya, ketika si anak diputuskan naik, karena dia hanya bermasalah pada penilaian pengetahuan dan keterampilan, tapi tidak pada penilaian sikap. Jika sudah begitu, dengan sendirinya nilai kompetensi pengetahuan dan keterampilan, dinaikkan sampai sama dengan KKM atau istilahnya mencapai KKM, meski sejatinya tidak mencapai KKM. Mengapa? Karena dia "sudah" direncanakan naik, dan ada anak yang jauh lebih nakal daripada dia yang harus tidak naik. Jadi, akhirnya berasa sekali guru mengajar hanyalah sebuah aktifitas "gugur kewajiban". Mungkin tidak sedikit guru-guru yang mengalami hal seperti ini. Terutama guru-guru yang sekolahnya memiliki siswa dengan "intake" yang rendah. Ujung-ujungnya, mereka merasa menilai tidak sesuai dengan hati nurani. Tepatnya tidak jujur pada diri sendiri dan tidak adil pada siswa.

Dari siswa sendiri, tidak sedikit siswa yang belum apa-apa sudah berkata "ulangan ya bu? Wah belum siap. Tapi tidak apa-apa nanti juga ada remidi". Guru yang mendengar begitu jadi mengelus dada. Zaman saya tidak ada kata tidak siap. Guru bisa saja melakukan penilaian kapan saja tanpa pemberitahuan dan tidak ada remidial. Nilai akan ditulis apa adanya. Betapa waktu itu, kita belajar bagai gasing diputar lepas dari tempatnya. Muter. Dan, ajang penerimaan raport, menjadi ajang yang mendebarkan. Menunggu ayah atau ibu yang mengambil raport di sekolah pulang ke rumah, sungguh penuh sensasi. Mendebarkan, berkeringat dingin. Terutama pada catur wulan ketiga atau semester dua. Ketika raport di tangan, tak perlulah rasanya melihat nilai, yang dilihat terlebih dahulu adalah tulisan "naik" atau "tidak naik". Betapa bangganya jika melihat angka 7, 8 dan 9 berderet-deret bagai kereta api Argo Bromo. Dan muleslah perut seketika bila melihat angka 6 ada satu saja di raport. Apalagi jika ada angka 5 dengan tinta merah, pasti tidak bisa makan seharian. Wah, mungkin jika saat ini kita menulis angka 5 di raport siswa dengan menggunakan tinta merah, mereka dengan tersenyum akan berkata, "Tak apalah, Bun. Dunia tidak indah tanpa warna". Aaaiihh...

Nah, dengan merdeka belajar, harapan agar penilaian guru lebih "berbasis fakta dan kenyataan" itu menguar kembali. Menyeruak kepermukaan. Lalu muncul penilaian berbasis "hati nurani". Sesuai hati. Jujur. Apakah guru tidak jujur? Tepatnya, sistem penilaian yang seperti saat ini, sungguh membuat guru berada diposisi yang sulit. Tidak merdeka. Sekali lagi, saya tidak tahu apakah kesalahan ini disebabkan karena sistem penilaian dengan menggunakan KKM yang terlalu dipaksakan, ataukah memang minat belajar siswa zaman "now" yang tidak seperti masa zaman "old" atau guru yang kurang terlalu paham menilai dengan baik. Tapi itulah fakta yang terjadi. Dan sepertinya ini dialami oleh banyak guru. Bukan hanya sedikit. Jadinya, merdeka belajar itu memang harus merombak hal-hal yang paling mendasar dan sistemik, termasuk sistem penilaian. Karena dari sistem pengolahan nilai yang akurat, kredible dan adil itulah nantinya siswa bisa mengukur pencapaiannya, lalu merencanakan rancangan "study lanjut" mereka sendiri. Tetapi jika sistem pengolahan nilai itu tidak, akurat dan kredible maka akan sangat sulit memastikan siswa yang berada di kelompok "upper", "middle", dan "lower". Itu artinya, siswa tidak punya kesempatan merencanakan masa depan kelak. Mereka yang sudah melihat nilai raportnya sudah mencapai KKM, tentu akan mendaftar di sekolah yang menerima nilai mereka, sesuai keinginan. Padahal nilai itu adalah nilai bantuan dari guru pengajar. Bukan nilai riil sesuai pencapaiannya sendiri. Harapannya, dengan merdeka belajar ada format khusus untuk sistem penilaian, sehingga tidak lagi berbasis KKM dan remedial. Tetapi murni dari penilaian guru. Sehingga guru lebih berkharisma dan berwibawa dihadapan siswa. Siswa pun paham bahwa pena guru mampu berbicara lebih banyak tentang nasib mereka di jenjang pendidikan yang lebih tinggi nantinya atau untuk menopang penghidupan keluarga. Semoga!

#TantanganGurusiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post