PERHENTIAN TERAKHIR
Hari Ke #10
#TantanganGurusiana
Kereta ini terasa merambat. Perjalanan 14 jam yang biasanya bisa kunikmati dengan membaca, mendengar musik, atau yang paling buruk adalah tidur..sekarang menjadi tidak nyaman semuanya. Perjalanan malam yang sejuk dalam gerbong yang sangat dingin karena AC yang sangat besar, kurasakan sangat gerah dan tidak nyaman. Beberapa kali keluhan lembut keluar dari rongga dadaku, karena takut orang di sekitar tempat dudukku terganggu Tak ada yang membuat tenang, mataku nanar memandang sekeliling. Sepi. Tidur. Hanya suara rel kereta yang berderak memecah kesunyian. Menengok ke jendela, hanya gelap berhias sinar-sinar kecil bias lampu dari kejauhan.
"Membosankan ya..?"
Aku terhenyak mendengar suara dari samping kiriku. Baru aku sadar, ada penumpang lain yang bersebelahan denganku. Sama sekali aku tidak sadar, ada juga penumpang yang belum terlelap di sampingku.
"Iya", jawabku menyetujui yang dikatakannya.
"Tidak bisa tidur?" tanyanya sambil menutup buku yang ada di tangannya. Heran, bagaimana aku begitu tidak sadar ada makhluk di sebelahku yang masih terjaga.
"Begitulah", jawabku mengiyakan lagi.
"Pertama kali bepergian jauh?"
"Tidak juga. Ke sekian puluh kali."
"Hmmmmm..."
Aku memandangnya dengan tegas mendengar gumamannya.
"Maksudnya..?" tanyaku menyelidik.
"Tidak apa-apa", jawabnya sambil tersenyum.
Ketika ada petugas yang menawarkan kopi, orang di sebelahku memesan.
"Anda mau..?"
Aku mengiyakan. Dan saat aku akan membayarnya, dia menahan, dan membayar dua kopi yang kami pesan.
"Terima kasih," ucapku sambil sedikit mengangkat cangkir yang aku pegang. Dia mengangguk sambil tersenyum.
"Pernah membaca buku ini?" tanyanya sambil menyorongkan ke hadapku buku yang dipegangnya. Aku menggeleng. "Suka membaca?" tanyanya lagi dengan memandangku tajam.
"Iya. Novel-novel ringan." Kudengar orang di sebelahku tertawa lirih.
"Ciri khas wanita melo. Kenalkan, aku Aryo," komentarnya sambil menjulurkan tangannya. Benar-benar surprise. Setelah memegang cangkir ke tangan kiri, aku terima uluran tangannya. Begitu kokoh genggamannya. Sedetik aku merasakan nyaman yang mengalir di telapak tangan dan angan-angan.
"Nama Anda..?"
"Oh..maaf", tersipu rasanya tergambar di wajahku. "Aku Rayi".
"Rayi..? Adik..?"
"Hehehehe.. Iya.. Itulah artinya."
"Namamu semenarik jalan hidupmu".
Uffp! Seandainya aku sedang minum, pastilah sudah tersedak. Aku pandangi orang di sampingku, tak sedikitpun instingku mengatakan orang ini punya sifat kurang ajar.
"Percayakah kamu dengan jodoh?" tanyanya mulai ber-kamu.
"Percaya", jawabku mantab.
"Aku juga."
Anehnya pembicaraan terhenti. Aku tidak ingin bertanya, apa maksud dari pertanyaannya, karena aku tidak ingin instingku yang mengatakan orang ini baik-baik saja menjadi salah.
Satu cangkir kopiku sudah habis. Aku lihat, kopi orang di sebelahku juga sudah habis. Buku yang dipegangnya yang sedari tadi ditutup juga tidak dibuka lagi. Dia seperti diriku, diam menikmati suara alam yang bergabung dengan derak rel.
"Percayakah kamu kalau aku merasa sudah mengenalmu?"
Aku menatapnya dengan pandangan yang biasa. Lagi-lagi, tidak ada sinyal dari hatiku, orang ini jahat dan sedang menggombal.
"Percaya apa tidak?"
"Tidak", jawabku dengan tersenyum simpul.
"Kamu bohong".
"Kok bisa?"
"Kamu merasa nyaman karena kamu juga merasa pernah kenal denganku".
"Hehehe.. Ada-ada saja", tertawa lirih aku sambil menjawab. "Jika aku nyaman, pasti tidak merasa bosan".
"Masihkah kamu merasa bosan?"
Tanpa sadar aku menggeleng.
"Nhaaa..!" Katanya sambil menuding ke arahku.
Lagi-lagi terasa kalau wajahku tergambar tersipu, karena tertebak perasaanku.
"Sejak kereta berangkat dan kita duduk bersisian, aku percaya, kita berjodoh Aku merasa nyaman. Meski awalnya juga sempat aku jadi takut karena kamu diam, karena aku pikir kamu tidak bisa bicara..syukurnya..tidak seperti yang aku takutkan.."
Kami tertawa bersama. Perjalanan panjang dalam kereta yang bergoyang-goyang menjadi hangat karena cerita yang bersahutan dan tak putus. Hingga akhirnya di perhentian terakhir kereta, kamipun berjabat erat, berpisah, menuju ke tempat tujuan kami masing-masing.
Dua tahun kemudian aku terhenyak, saat duduk dalam kereta, memandang ke luar jendela, memperhatikan riuhnya stasiun oleh pedagang dan calon penumpang, tiba-tiba keasyikanku dipecahkan oleh seseorang yang menyapa namaku.
"Rayi..kan?" tanya orang yang berdiri di sebelahku, yang kemungkinan akan jadi teman duduk satu bangku denganku. Aku mengangguk halus.
"Lupa denganku..?" Tanyanya lagi dengan menunjuk wajahnya sendiri. Laki-laki dengan wajah Jawa yang kental, tinggi, dan tersenyum menawan.
"Aryoo..???" Sebutku dengan ragu. Dia mengangguk, dan mengulurkan tangannya. Kami berjabat sangat erat, seolah kawan lama yang bertemu lagi. Aku seolah mengulang kejadian dua tahun lalu. Jabatan tangannya yang erat memberikan kenyamanan, yang sekarang merembet ke dadaku. Orang ini benar-benar supel dan familiar, hingga aku seolah telah mengenalnya dengan baik. Padahal aku hanya mengenalnya sepanjang perjalanan dalam kereta, dua tahun lalu
"Bahagianya ketemu denganmu, Yi.." helanya sambil duduk di sampingku. "Akhirnya aku benar-benar ketemu denganmu. Selama ini hanya berpikir, bodoh banget, lama bercengkrama kok tidak minta kontak person.."
Aku hanya bisa tersenyum, mendengar ceritanya yang panjang lebar. Duduk di sampingnya, ternyata aku juga merasa lega, seolah menemukan orang yang lama aku rindukan.. Hhhhhhh.. Benar-benar tidak jelas perasaanku ini.
"Masih percaya dengan jodoh?" Tanya Aryo dengan jenaka. Aku mengangguk mantab. "Kita memang berjodoh", katanya lagi dengan memandangku seolah ingin menggoda.
"Iya. Kita berjodoh bertemu lagi dalam kereta ini."
"Percayalah. Setelah ini kita akan sering ketemu."
"Hahahahaha.. Sok menebak ya..?"
"Percayalah. Instingku jarang keliru lo."
Hmmmmm.. Instingku juga jarang keliru. Saat aku harus kehilangan cinta orang yang sangat istimewa, aku percaya, aku harus melepaskannya. Dan insting yang mengatakan dia bukan jodohku meski aku sangat mencintaimya, terbukti akhirnya dia memilih orang lain untuk menjadi jodohnya. Aku benar-benar percaya dengan jodoh, juga insting.
"Sudah pernah membaca buku ini?" Tanya Aryo sambil menyodorkan buku yang dipegangnya ke arahku. Aku menggeleng. Buku yang dipegangnya adalah novel dengan judul Perhentian Terakhir.
"Novel..?"
"Iya", jawabnya sambil tersenyum. "Setelah kemarin dapat tiket untuk kereta ini, entah mengapa, seolah ada yang berbisik agar aku membeli novel. Di toko buku yang aku tuju, ternyata buku inilah yang aku temukan."
"Haruskah aku percaya?" tanyaku dengan masih merasa geli, karena dia sangat mirip denganku yang sering mengikuti insting untuk melakukan sesuatu.
Hari itu, kami bertukar kontak person, kartu nama, dan saling menunjukkan KTP. Entah apa tujuan kami, aku juga kurang memahaminya. Tapi ada kenyamanan dalam hatiku saat mengenal orang ini. Tak banyak harapan yang kami rangkai, hanya menjalani saja. Dengan sama-sama terluka dalam kisah kehidupan, dipertemukan dalam perjalanan, diberi sikap saling terbuka, biarlah waktu yang berbicara.
Di stasiun terakhir kami turun, kami bersama.
"Hati-hati di jalan, Yi. Nanti aku akan menghubungimu. Jangan dibuang kontak personku ya.."
"Oke.. Hati-hati juga," jawabku sambil melambaikan tangan meninggalkan Aryo.
Ada perasaan ringan, bahagia, dan harapan yang entah datang dari mana. Jalankupun gontai tanpa lagi beban. Memang hidup ini indah, apapun kondisinya..
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar