Tri Sundari

Lahir 48 tahun yang lalu. Mengajar mapel Penjasorkes di SMPN 1 Kauman, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Mempunyai hobi menulis sejak kecil karena kesulitan b...

Selengkapnya
Navigasi Web

YANG MUDAH BELUM TENTU MANFAAT YANG TAK BERBAYAR BELUM TENTU TAK BERKUALITAS

Hari #2

#TantanganGurusiana

Masih ingat kata-kata pengemudi becak, “Wong murah kok njaluk slamet..” (wong murah kok minta selamat..).

Makna kalimat itu menjadi logis saat dikaitkan dengan sekolah dan Pendidikan gratis saat ini. Ditambah lagi, tiga tahun berjalan, karena efek zonasi pada pemilihan sekolah. Di mana sekian tahun kebijakan sekolah gratis dan zonasi seolah menjadi awal penyebab menurunnya tingkat kualitas dan mutu Pendidikan, termasuk out put. Dan sayangnya ini hanya sebuah rasa. Tanpa penelitian. Tidak bisa dipertanggungjawabkan. Karena rasa tidak pernah bisa menjadi ukuran dan kesimpulan. Dan sebuah kesimpulan tidak bisa diambil hanya dari satu faktor penyebab.

Seolah menjadi sesuatu yang selalu dijadikan alasan dan dasar, sekaligus membandingkan. Dulu… Dulu… saat dulu sekali.. Peserta didik adalah.. bla bla bla bla bla bla.. Yang tidak mampu pun harus berjuang untuk sekolahnya. Bahkan harus bekerja keras untuk bisa sekolah. Karena yang mendapat Pendidikan gratis hanya peserta didik yang benar-benar pandai dan berprestasi. Yang menjadi sepuluh besar paralel, dari sebelas kelas, kali 50 siswa.. Dan anak-anak pun sekarang akan dengan ringan menjawab, “Itu kan jaman dahulu…” Dan jika diteruskan lagi, akan terdengar jawaban, “ Salahnya hidup di jaman dulu. Apa salah kami di jaman sekarang..?”

Ya sudahlah..

Hanya merenung. Tidak semua yang gratis berkualitas tidak bagus. Karena dalam kondisi tertentu, tidak berbayar pastilah istimewa. Dan jika di dunia Pendidikan, itu dulu. Saat ini, beasiswa bisa diterima anak satu sekolah. Semua menerima sama rata. Tanpa melihat prestasi, kemampuan akademik, atau latar belakang keluarga. Sedangkan dahulu, untuk mendapatkan sebuah beasiswa, seorang peserta didik harus memiliki nilai yang telah ditentukan. Misal Indeks Prestasi. Atau, rata-rata nilai minimal delapan. Dan itu pun harus dilengkapi dengan surat keterangan tidak mampu. Peserta didik yang selama hidupnya merupakan anak keluarga kurang mampu, tetapi Indeks Prestasi atau rata-rata nilai tidak memenuhi persyaratan, selamanya harus membayar uang sekolah. Harus berjungkir balik di luar jam sekolah untuk melakukan pekerjaan sampingan, demi mencari biaya agar tidak berhenti sekolah. Dan hanya peserta didik unggulan yang mendapatkan fasilitas gratis. Yang membanggakan lagi, semakin mendapat tekanan dan kesulitan dalam sekolah, semakin tertantang untuk menyelesaikan semuanya. Dan hanya anak-anak tangguh yang pembelajar yang tuntas dalam pendidikannya.

Menjadi teringat falsafah huruf Jawa. Dikatakan, jika salah satu kelemahan huruf jawa adalah jika dipangku. Huruf itu akan mati. Kelihatannya sama persis dengan perilaku dalam kehidupan mayoritas orang Jawa dan sebagian masyarakat Indonesia. Jika kita dipuji-puji, kita akan lupa tujuan sebenarnya. Kehilangan akal. Bahkan, saat penjajahan, banyak dari masyarakat Indonesia yang menjadi teman penjajah dan lupa bangsanya, karena dimanjakan oleh penjajah. Menjadi tidak bersuara. Dan nyaman dengan penjajahan.

Akankah Pendidikan menjadi berkualitas dengan berbayar..? Belum ada jawaban pasti. Tapi setidaknya, sekian tahun ini masyarakat mampu menilai. Sekolah-sekolah negeri tertentu yang menjadi asuhan pemerintahan, mengalami kemunduran dan kepercayaan masyarakat mengenai kualitas pendidikannya. Sedangkan sekolah-sekolah swasta di beberapa kota, dengan membayar yang sangat mahal pun, menjadi pilihan orang tua untuk menjadi tempat Pendidikan putra putrinya. Apakah semangat ini karena perasaan telah mengeluarkan uang yang lumayan besar, sehingga semangat peserta didik untuk suskses juga lebih besar? Lagi-lagi, belum ada penelitian yang menjawabnya. Masih berdasar perasaan dan pengamatan.

Dan efek zonasi untuk sekolah pun menjadi salah satu prasangka, bahwa menurunnya mutu dan out put Pendidikan disebabkan karenanya. Dengan logika berpikir, peserta didik yang dalam radius sekolah, berapapun nilai yang dimiliki, tanpa batas minimal, akan diterima di sekolah yang terdekat dengan rumah. Tanpa belajar, dengan hasil yang sangat jauh dari kriteria nilai minimal, mereka akan bersekolah ke tempat terdekat. Dan mengambil kesempatan anak-anak pejuang pembelajar, yang radius rumah ke sekolah harus terpotong oleh pagu sekolah. Dan beberapa tidak bisa sekolah ke sekolah yang dia kehendaki, meski secara akademik dia jauh di atas rata-rata anak beradius terdekat dengan sekolah.

Kemudahan yang ditawarkan, belum membuat anak-anak calon penerus bangsa dan masyarakat menjadi pejuang tangguh. Kenyamanan yang ditawarkan, melenakan mayoritas pihak. Sehingga memberikan kesan, bahwa kemudahan dan kenyamanan yang ada, membuat semuanya tertidur saat mata terjaga.

Tulungagung, Kamis, 13 Pebruari 2020; 21.55 Wib.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post