Tri Wibowo Cahyadien

Assalamualaikum Wr.Wb Memiliki minat dalam bidang sosial studi, politik, kebijakan publik dan sejarah. Penikmat musik Jazz, Indie dan Musik era 60 - 80 an.&nb...

Selengkapnya
Navigasi Web

(Refleksi) Mindset dalam Unggahan Foto Tara Basro

Beberapa waktu lalu, jagat dunia media sosial diramaikan dengan kontroversi unggahan foto artis Tara Basro. Secara tersirat dan tersampaikan dengan jelas dalam captionnya bahwa maksud dari unggahan foto tersebut adalah mengenai “kebanggaan diri” atau kepercayaan diri. Secara umum, dalam perkembangannya, postingan tersebut membentuk masyarakat menjadi dalam dua cara pandang. Pandangan pertama, yaitu sisi negatif. Sisi ini dapat kita lihat secara langsung dari apa yang diunggah secara visual. Memang bisa disebut sebagai pornografi jika menggunakan etika kepantasan berpakaian. Lalu, pandangan kedua adalah masyarakat yang melihat hal itu bukan sebuah pornografi, dengan dilihat dari apa yang menjadi pesan tersiratnya.

Merupakan hal yang menarik untuk membahas apa yang disampaikan Tara Basro dalam foto tersebut. Dia menyampaikan pesan yang menginspirasi orang – orang dengan kondisi tubuh yang kurang ideal agar bangga dengan diri sendirinya. Ketidakpuasan kondisi fisik, jamaknya dialami oleh perempuan. Namun tidak dipungkiri pula, bahwa laki – laki mengalami krisis percaya diri yang sama pula dalam hal ini. Unggahan ini menjadi besar dan bahan pembicaraan di masyarakat, karena diposting oleh seorang public figure yang dengan “kejujurannya” menunjukkan ketidak idealan kondisi fisiknya dengan pose “mengganggu” kepantasan adat berpakaian masyarakat timur. Mindset keidealan kondisi fisik perlu diakui memang memberikan kekhawatiran tersendiri bagi tiap individu. Mungkin hal inilah yang menjadi alasan bagi seorang Tara Basro, menginspirasi orang dengan berpesan; “common guys, be yourself” banggalah menjadi diri sendiri dengan kondisi apa adanya.

Berbicara “mindset” kehidupan ideal, tolak ukurnya selalu material atau jasmaniah. Seringkali pandangan – pandangan ini terujar di masyarakat pada saat bersosialisasi. Tidak jarang, pembuka obrolan kita dalam lingkungan sosial selalu menyisyaratkan pesan ini, seperti; “kok gemukan? Kok sendiri? Kok masih sendiri? Kerja dimana? Berapa gajinya? Berapa anaknya? Kok belum?” dan banyak pertanyaan template yang bersifat material/ ideal lainnya.

Pertanyaan – pertanyaan tersebut, mungkin dianggap sebagai hal lumrah dalam pembuka obrolan dengan lawan bicara. Namun, pernahkah terfikir bahwa pertanyaan tersebut mengganggu, karena pertanyaan yang diucapkan merupakan hal yang bersifat personal. Ringan terujar (bagi pengaju pertanyaan) namun berat di fikirkan (bagi lawan bicara). Pernahkah kita mengajukan pertanyaan tersebut kepada lawan bicara kita? Pernahkah kita berfikir bahwa itu akan memberikan dampak secara psikologis pula kepada lawan bicara kita?

Mindset kehidupan material yang coba disinggung oleh postingan Tara Basro harusnya menjadi penyadar bagi kita semua. Kita hidup bukan hanya dalam kehidupan material. Bukan hanya berbicara kehidupan dengan konsep ideal. Manusia – manusia yang terbelenggu oleh mindset material dan ideal adalah manusia yang belum merdeka. Mereka tertekan oleh penilaian – penilaian sepihak yang nyatanya tidak memahami kondisi pribadi masing – masing individu.

Bukankah kita patut menyadari, rezeki itu tidak selalu tentang materi? Rezeki itu tidak selalu tentang hal yang ideal di mata masyarakat. Rezeki itu banyak bentuknya, salah satunya adalah rasa bersyukur dalam diri pribadi. Insyaallah dengan kebersyukuran itu, Allah akan memberi tambahan rezeki kepada pribadi hambanya.

Ketidakpuasan material pada akhirnya akan berdampak pada pembentukan pola fikir perilaku masyarakat. Masyarakat individualis, masyarakat pencibir, masyarakat yang membenarkan tindakannya tanpa adanya konfirmasi, masyarakat yang koruptif dan sebagainya.

Keseimbangan antaranya kehidupan material/ jasmaniah dengan kehidupan ruhaniah/ psikologis merupakan sebuah kebutuhan bagi tiap individu. Karena tuntutan hidup dalam memenuhi kehidupan secara material akan terus menerus menjadi sebuah gangguan psikologis jika tanpa diimbangi dengan kehidupan ruhaniah yang sehat, seperti rasa bersyukur serta diwujudkan dengan rasa saling menghormati antar sesama.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post