Tri Wibowo Cahyadien

Assalamualaikum Wr.Wb Memiliki minat dalam bidang sosial studi, politik, kebijakan publik dan sejarah. Penikmat musik Jazz, Indie dan Musik era 60 - 80 an.&nb...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sekolah Swasta di Simpang Jalan

Sekolah Swasta di Simpang Jalan

Memori saya terpanggil ketika membaca tulisan dari Bapak Radinopianto SP tentang Sekolah Swasta di Mata Yayasan, Bisnis atau Pengabdian. Saya tergugah dengan tulisan beliau. Saya seketika teringat sebuah cerita yang disampaikan oleh rekan saya, sebut saja namanya Yadi.

Yadi bekerja di salah satu sekolah swasta di bilangan Jakarta Selatan. Dalam radius yang tidak terlalu jauh, sekolahnya itu terjangkau aksesibilitasnya dengan sekolah lain. Ada beberapa sekolah swasta dan sekolah negeri di sekitar sekolahnya. Singkat cerita, sekolah Yadi mengalami kemunduran jumlah peserta didik yang tentunya membuat kekhawatiran sendiri pada pihak yayasan.

Segala cara ditempuh, seperti dengan mengedarkan flyer promosi ke beberapa sekolah dasar, mengadakan open house, tour the school dan banyak lainnya. Sekolah Yadi merupakan sekolah yang memiliki track record sebagai sekolah yang banyak berprestasi dalam bidang non akademik. Sebagai sekolah swasta yang berdekatan dengan sekolah negeri, sekolah Yadi mendapatkan peserta didik yang beragam. Ada seloroh dari karyawan sekolahnya; “bang, kita cuma dapet sisaan inimah.” Kebanyakan memang peserta didiknya berminat dalam bidang motorik/ kinestetis. Tidak heran, Yadi kadang suka mengeluhkan anaknya yang hiperaktif di kelas.

Dalam suatu momen Yadi dan beberapa rekan gurunya pernah duduk bersama dengan pihak yayasan untuk membahas cara menarik minat calon peserta didik agar mau bergabung di sekolahnya. Saat itu Yadi melihat dan merasakan bahwa jika sekolahnya dengan komposisi peserta didik yang ada, sulit rasanya untuk mengungguli prestasi akademik sekolah lain di sekitar sekolahnya. Yadi berfikir, sekolahnya harus berbeda, ada hal baru yang dijual dan itu bukan lagi berorientasi pada prestasi akademik.

Lalu Yadi menyampaikan gagasannya. Dia memberikan ide, agar sekolahnya berani untuk memberikan potongan harga uang masuk kepada lulusan SD yang memiliki prestasi dan potensi di bidang non akademik. Hal ini dilakukan untuk menarik minat lulusan SD agar mau bergabung ke sekolahnya. Yadi memahami, jika grand design yayasan adalah untuk bersaing dengan sekolah lain dalam bidang akademik, akan sulit untuk dilakukan. Yadi berkaca pada input peserta didik selama ini dia bekerja di sekolahnya. Dia berfikir, lebih baik mengembangkan sekolah yang menitikberatkan pada satu aspek, lalu fokus di bidang tersebut. Melihat dari akar sejarahnya, sekolahnya besar karena prestasi non akademiknya. Yadi pun berangan – angan, nama besar itu akan kembali ke sekolahnya suatu saat nanti. “Sudah terlalu banyak sekolah memiliki orientasi utama pada akademik, tapi jarang sekolah yang berorientasi pada bidang non akademik,” ujar Yadi.

Kondisi yang dirasakan oleh Yadi yaitu, Dia merasakan betul, sekolahnya saat ini menerima Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) karena kekurangan jumlah peserta didik. Hal itu menyulitkan dia dan rekannya dalam pembelajaran. Yadi memiliki gagasan, apabila sekolahnya mau menerima ABK dalam maka yang dilakukan adalah dengan cara membuka kelas khusus yang di dalamnya adalah ABK. Sebagai penunjang, yayasan melakukan rekrutmen guru profesional yang memahami penanganan terhadap ABK tersebut.

Yadi pun menambahkan, jumlah peserta didik ABK pun tidak perlu banyak, dia berikan angka di 5 – 7 orang dalam satu kelasnya. Dengan angka sejumlah itu, Yadi berhadap agar ABK terfasilitasi dengan optimal. Yadi berseloroh, selama ini rekan gurunya sering kerepotan jika dihadapkan pada ABK di kelas. Rekan – rekan Yadi secara pribadi menyampaikan; “bro, gw takut ga amanah nih, pegang ABK gini, klo gue fokus pegang ABK, yang lain terabaikan, klo gue pegang yang lain, ABK nya terabaikan, gue juga ga ngerti cara ngehandle ABK, takut salah cara bro.” Dari obrolan itu, Yadi pun memiliki pandangan yang sama dengan temannya tadi.

Ide – ide Yadi sudah tersampaikan. Yadi mendapat respon yang kurang mengenakkan. Respon yang menurut Yadi hanya template atau jawaban aman seperti; “terimakasih Pak untuk ide dan masukannya, ide yang bagus, nanti akan kami sampaikan di tingkat yayasan.” Waktu terus berjalan, ide Yadi seperti hilang tersapu kesibukan baru. Yadi tidak pernah mendengar idenya telah direspon. Yadi tidak mendengar ada follow up berdasar idenya itu.

Yadi tahu benar sekolahnya membutuhkan cara seperti apa untuk meningkatkan jumlah peserta didik. Yadi pernah mengalami euforia juara di berbagai bidang non akademik di sekolahnya, kebanggaan yang selalu dia bawa kemana – mana menjadi bahan cerita. Yadi pun pernah menjadi panitia PPDB. Yadi tahu benar, para calon orangtua dan peserta didiknya memilih sekolahnya bukan karena suatu prioritas tapi hanya sebagai alternatif. Banyak dari orangtua yang berencana memasukkan anaknya berkata; “saya masukkan anak saya dari sekolah ini, karena dulu saya alumni sini” atau “saya direkomendasi dari teman kerja saya, katanya bagus.” Yadi sadar, nasib sekolah tidak dapat terus bergantung pada hal itu, sebuah keberuntungan. Sekolahnya harus menciptakan hal baru, keunikan, ciri khas yang tidak dimiliki sekolah lain. Sekolah yang menerima ide Yadi.

Menteng Dalam

11.09 PM

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post