tri widyastuti

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Dangkal

DANGKAL

“Mau kemana Ndet?” sapaku pada bocah usia sekitar 18an, kelas XII sebuah SMK jurusan teknik yang tengah lewat di gang kecil di sebelah rumahku.

“Nyari angin segar aja Mas. Bosan di rumah terus” sahutnya tak bersemangat. Raut wajahnya terlihat murung meskipun memang ekspresi sehari-harinya ya begitu. Dia duduk di sampingku, mengeluarkan telepon genggamnya dari saku celana selututnya. Mulai membuka sesuatu yang aku ndak paham itu. Paling cuma permainan, semacam ular yang kalau kepala menabrak ekornya, dia akan mati.

“Malam-malam seperti ini ndak ada angin segar Ndet, adanya angin malam.. masuk angin kamu nanti. Apalagi jalan sendirian dan gak ada tujuan jelas seperti itu” cibirku.

Bondet, begitulah orang-orang di sekitar rumah memanggilnya. Itu karena bekas luka di pelipis kirinya, akibat mata kapak yang tengah diayunkan bapaknya ketika membelah kayu, tak sengaja terlempar lalu mengenainya. Luka dalam dan mendapat belasan jahitan. Ya..bekas luka yang mengubah nama panggilannya.

“Boleh saya duduk di sini saja Mas? Daripada saya gak jelas jalan kemana.” Pintanya kepadaku.

“Ya kamu di sini saja, pizza ndeso ala simbokku juga siap menemani. Es teh juga ready biar kamu ndak perlu susah nyari yang segar-segar”

Dia menoleh, mungkin penasaran pada makanan yang kusebut tadi. Seketika dia tersenyum, sambil memusatkan lagi matanya ke layar bersinar yang masih memunculkan gambar yang sama.

“Mas, duduk di teras begini biasanya ngapain selain menikmati es teh dan martabak mie ini?” tanyanya sambil mengambil sepotong. “sudah nikmat kah begini saja?”

“Oalah Ndet… Nikmat itu kan ya kita yang menciptakan. Kalau kita merasa nyaman dengan apa yang ada di depan mata. Itulah nikmat. Duduk di teras ini, setelah seharian memanggang badan di antara beton yang menjulang. Sambil bersyukur atas kesehatan dan keselamatan yang sudah Tuhan berikan. Sudah cukup. “

Dia tampak serius mendengar kalimatku. Kaosnya yang lusuh sesekali dibetulkan kerahnya karena memang sudah longgar dipakainya.

“Makanya Ndet….masa depan itu harus dikejar dan dipersiapkan dengan matang selagi kita masih muda. Kalau bisa, kita kerja itu ya ndak di panasan. Ndak harus pake otot kawat dan tulang besi. Cukup pake otak, duduk manis, di ruangan yang sejuk. Gaji datang sendiri di rekening setiap bulannya.”

Dia hanya tersenyum mendengar kalimat demi kalimatku.

“Aku kadang sedih melihat, anak-anak kampung sini. Setiap hari kerjaannya nongkrong, jalan-jalan, ngopi, yang dipegang cuma handphone. Gak jelas. Apa faedahnya. Kalo besok di masa depan hidupnya susah..baru tau rasa. Haha..madesu…masa depan suram.” Celotehku sambil kulirik Bondet yang memperhatikanku dengan seksama. Aku menunggu reaksinya karena sudah sedikit kusindir tadi.

“Mas sakti ya? Bisa baca masa depan mereka.. wajar saja mas bilang seperti itu, kita kan beda generasi.” sahutnya yang kurasakan sedikit menyindirku di dua kata terakhir.

Es teh di depanku tinggal setengah, dan sudah tidak ada secuilpun es batu di dalamnya. Udara dingin mulai terasa disertai angin yang agak kencang berembus. Kulihat langit tanpa bintang. Bulan separuh yang tadi sempat kulihat, sekarang sudah sempurna tertutup awan gelap. Mulai rintik.

“Alhamdulilaaaah.” Teriak Bondet mengagetkanku. “Bulan depan saya berangkat ke Surabaya, Mas. Dan Mas tunggu calon arsitek ini pulang.” Teriaknya sambil berlari. “Simboook….aku diterima mboook”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post