Keluhan Dari Dasar Hati
Sejak sore aku mondar-mandir antar suami ke UGD. Setelah dapat suntikan tampak berkurang rasa sakitnya. Hanya bertahan sehari setelah pulang dari UGD, timbul keluhan bintul-bintul di sekujur wajah dan badan Mas Ardi. Aku paksa Mas Ardi ke UGD lagi, untuk minta obat penangkal alergi. Semua itu memang salahku karena aku lupa dia alergi antalgin. Mulutnya seperti terkunci tidak bisa berbicara sepatah kata pun, hitung-hitung mengobatkan perutnya yang masih sakit maka aku putuskan ke UGD yang kemarin.
Sesampainya di UGD, aku langsung daftar, suami masuk ruang UGD. Seorang satpam bertanya sakit apa, suami diam karena memang tidak bisa bicara hanya menunjuk rahangnya yang bengkak dan sambil memegang perut. Rupanya bahasa tubuh Mas Ardi tidak terbaca jelas oleh satpam. Suami disuruh tunggu di ruang tunggu. Badannya menggigil dan perutnya terasa sakit untuk duduk. Cukup lama kami bertahan menanti giliran masuk ke UGD. Mas Ardi bangkit dan protes ke satpam karena memang sudah dirasa tak tertahankan lagi sakitnya, untung saja sebelum amarahnya memuncak, ada panggilan masuk ruangan. Setelah mendapat suntikan, Mas Ardi bisa bicara dan protes ke petugas medis bahwa dia kesakitan perutnya. Perawat itu minta maaf karena secara fisik memang tampak kuat, kuat memang karena didikan dan latihan di kesatuan tapi manusia tetap manusia yang mempunyai kelemahan.
Timbul dalam pikiranku di UGD kok masih harus antri? Antri di poli masih bisa dimaklumi, tapi kalau di UGD terasa bagaimana gitu kalau harus antri. Biasanya juga tidak ada satpamnya justru teratur, teratur pelayanannya maupun pasiennya. Orang yang datang ke UGD tentu pasien yang butuh segera dapat pertolongan pertama..ah sebodo amat, malah semakin pusing kalau ingat kejadian itu.
Pagi harinya karena capek semalam sampai pukul 01.00 WIB, aku bangun kesiiangan. Anakku no 4, ribut mencari buku dan alat tulis, karena aku belum bangun kakanya yang siapkan tas dan bukunya. Kaka diantar kakaknya yang pertama. Selang beberapa saat aku mendapat WA dari gurunya, Kaka tasnya kosong tidak ada isinya, tidak ada peralatan sekolah. Aku tanya kakaknya sudah masukkan peralatan sekolah adiknya belum, jawabannya sudah. Aku ijin pulang mencari buku anakku yang katanya kosong tidak membawa buku. Di meja aku temukan buku tulisnya. Aku antar ke sekolah ternyata yang tidak di bawa buku tulis saja, LKS dan alat tulis sudah bawa. Aduh...ibu seharusnya tadi tidak foto tas kosongnya, bilang saja tidak bawa buku tulis saja jadi tidak kemungsrung pikirangku, gumamku dalam hati. Tapi satu guru dengan guru yang lain tentu berbeda cara penyampaiannya. Tas kosong itu berarti tidak membawa satupun buku dan alat tulis, tapi bagaimana memberi masukan terhadap beliau ya, ah biarlah ini kusimpan dalam-dalam di hatiku. Peristiwa dengan satpam maupun keluhan guru anakku itu biarlah menjadi sebuah pelajaran berarti tentang kesabaran karena tidak semua orang mau tahu cara komunikasi yang baik dengan orang lain yang ada hanya kesempatan untuk menunjukkan kemampuan dan kekuasaan sendiri.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar