Tri Yuni Kris

Tumbuh dari ketidakmampuan dan keterbatasan, namun bisa bangkit dan membuktikan bahwa dari keterbatasannya bisa berprestasi. Lahir dari tiga bersaudara dari Suh...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kuingin Kau Di Sisiku

Kuingin Kau Di Sisiku

Dingin Dataran Tinggi Dieng menusuk tulang. Linu-linu di sekujur tubuh. Bibir biru pucat, disertai gigi gemerutuk beradu. Sore ini rencana pulang ke Sragen, tapi RAT kali ini terasa lama sekali. Rasa rindu anak dan suami sudah tak terbendung lagi. Kulirik jam tanganku pukul 16.00 WIB. Timbul rasa ragu dibenakku pulang atau tetap di perumahan sekolah. Aku pernah pulang jam seperti ini sungguh sulit cari kendaraan. Sampai Terminal Bawen Jam 24.00 WIB. Ada segerombolan pemuda yang mabok. Takut, tapi aku harus pulang. Mas Ardi dirawat di DKT Batalyon. Setelah aku telpon satelit di sebelah kelurahan Gembol. Perasaan tak enak yang mendorongku telpon, “Maaf Bu, Bapaknya dirawat di DKT.” Sakit apa pak?” terjawab sudah perasan tak enakku. “Malarianya kambuh Bu.” Persaanku bingung buru-buru kembali ke perumahan. “Bu Mei, tolong ijinkan ke Pak Yadi ya, aku harus pulang. Mas Ardi opname di DKT.” “Ya hati-hati Bu, semoga Mas Ardi lekas sembuh .” Dalam perjalanan aku merasa takut, kuperhatiakan lingkungan tampak lengang, gelap. Ada pandangan mata yang tidak mengenakkan tertuju padaku. Mungkin mereka pikir aku bukan perempuan baik-baik. Ada pandangan mata nakal dari segerombolan laki-laki, ngeri, kudekap tas didadaku untuk menghilangkan rasa takutku. “Mau kemana Bu, malam-malam sendirian?” tergagap aku dari ketakutanku. Sapaan seorang petugas DLLAJR mengikis kesendirian dan ketakutanku, “Mau ke Sragen Pak, masih ada tidak ya bus jurusan Solo?” tanyaku ramah pula. “Masih Bu, mari ditunggu di pos saja disini tidak aman untuk seorang perempuan.” Kuikuti langkah kaki bapak itu ke pos jaga terminal. “Kenapa ibu malam-malam melakukan perjalanan. Sepertinya sering lihat Ibu, apa Ibu sering melakukan perjalanan di terminal ini ?” “Iya Pak saya lajo seminggu sekali dari Sragen ke Banjarnegara. Saya biasa sampai disini jam tiga atau empat dini hari. Saya berangkat dari Sragen jam dua malam atau jam tiga malam. Baru malam ini saya merasa ketakutan melakukan perjalanan malam, untung bapak menegur saya tadi’, kubetulkan krah jaketku biar hangat.”Saya terpaksa melakukan perjalanan ini karna suami saya opname di DKT.” Bapak petugas itu pun mengangguk tanpa memahami situasiku. Tak berapa lama aku mendapat bus jurusan Semarang Solo. Dari Terminal Solo aku ikut bus Surabaya.

Kutelusuri DKT Batalyon sepi hanya ada petugas piket sebelum masuk bangsal rawat inap. “Maaf pak ijin saya istri Mas Ardi dari kompi C, apa benar dirawat disini?” Benar Bu, monggo ruangnya yang itu ya.” Petugas piket menunjukkan. Wajahnya pucat,kuraba kakinya dibalik selimut. Panas banget.” Tiba-tiba Mas Ardi duduk sambil matanya melotot terarah padaku. Aku takut, tapi kupertahankan posisiku disamping ranjangnya. Dia mencubit lengannya sendiri,”Mimpi tidak aku heh heh betul tho kamu,” sorot matanya tak percaya. “Tidak Mas ini nyata, aku datang, tadi aku telpon piket jawab Mas dirawat. Aku langsung ke sini.” “Lain kali jangan nekat begini, ini jam dua lho, kamu dari sana jam berapa?” Pasti di jalan ketakutan kamu, dasar nekat. Untung tidak terjadi apa-apa. Ingat jangan diulang lagi.” Aku hanya diam mendengar omelan Mas Ardi, sambil kupijiti kakinya.

Sampai di Wonosobo jam 19.00 WIB, sepi tidak ada bus yang lewat. Bu Is menghampiriku, ”ayo tidur tempatku saja, sudah tidak ada bus kalo toh ada njenengan sampai Bawen dah jam dua belas malam. Ayolah nanti kuantar pagi-pagi cari bus. Kuanggukkan kepalaku tanda setuju. Kami berjalan beriringan menuju rumah Bu Is. Malam ini aku tidak bisa tidur, kupejamkan tapi tetap tidak bisa tidur. Terbayang anak dan suamiku, biasanya jam aku sudah sembilan malam sudah sampai dirumah, jika aku naik bus jam sebelas siang dari Gembol.

Jarak terentang Dieng Banjarnegara-Sragen, cukuplah jauh. Seharusnya aku mendampingi suami setiap saat, namun karena tugas sendiri mengharuskan untuk berjauhan sementara. Tidak ada Hp di tahun 2003, bila mau telpon harus pergi ke kelurahan itupun dengan biaya yang amat mahal karena dengan menggunakan satelit. Diawal liburan ada kunjungan yang mengharuskan seluruh anggota persit hadir. Suamiku kupun tahu kalau liburan aku pasti pulang. Sampai di Sragen suamiku tidak dirumah. ”Bu lik Mul, Bapak’e saya tidak dirumah ya?”, tanyaku pada tetangga sebelah rumah. “O, Om Ardi kemarin pamit mau nyusul Njenengan ke Dieng, Bu Dhe.” Terjawab sudah keraguannku, andai aku begitu peka dengan fellingku tentu tidak berselisih jalan. “Ya sudah Bu Lek, aku mau ke Jogja saja, mungkin dari Dieng mampir ke Jogja.” Tidak ditunggu dulu Bu Dhe Ardi?” “Tidak keburu kangen he he ” Kami tertawa bersama. Tas baju dan perlengkapan administrasi yang rencana mau aku lembur selama liburan aku taruh di rumah.

Dari luar rumah sepi sekali, aku ketuk pintu sambil aku dorong tapi tidak ada orang. “Mbok Simbok ” Kulihat Simbok sedang memasak di Gandok. “E baru saja Ardi dari sini.” Aku bersalaman dengan mertuaku seraya duduk di bangku. “Katanya tadi habis menyusul kamu ke Dieng, jemput kamu karna mau ada kegiatan Batalyon yang tidak bisa ijin Ndok.” Lha sebenarnya ndak usah nyusul pasti aku pulang tho Mbok, ini kan liburan semester, tadi aku ke Sragen terus ke sini mbok.” “Coba kamu ke Solo, Ardi tadi di sini sebentar trus pamit mau ke Solo.”

Di jalan anakku Sukma berlari kecil ,”Ibu Ibu tadi bapak datang” kucium anakku yang masih tiga tahun, kubopong karena kangenku yang tak terbendung. “Sekarang bapak di mana Nak, di rumah ya?” sambil terus kucium pipnya yang seperti bakpau. Ibuku ke luar rumah menyambutku, aku bersalaman seraya kucium tangan kemudian kucium ibu yang selalu menungguku dipinggir jalan kalau aku pulang sekolah ataupun kuliah, kelihatan keriput kulitnya tapi tampak sehat dan tegar. “Mas Ardi dah kembali ke Sragen, di sini sebentar katanya dari Dieng terus ke Jogja terus ke sini.” “Aku juga dari Dieng ke Sragen terus ke Jogja terus ke sini Bu.” Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Orang kok seneng jelungan, sudah sana ke Sragen saja katanya besok ada kegiatan dan kamu harus datang.

Aku masuk rumah, tetap sepi, bedakku bertaburan di lantai, lipstikku aduh patah dan tampak habis terkena benda keras. Kutidurkan Sukma yang sudah terlelap saat diperjalanan. Dengan mengelus dada sabar sabar tentu marah ini suamiku tersayang Kuperiksa administrasiku duh Gusti mohon ampun administrasiku yang belum selesai, sekarang sudah seperti rematan krupuk gado-gado. Harapan menyelesaikan administrasi untuk kenaikan pangkatku sirna dadaku berdebar gemetar salah apa aku sampai seperti ini. Tak ada komunikasi dan negative thinking itu yang mengawali ini semua. Sore hari Mas Ardi baru pulang dengan membawa sekarung katul. Di belakang rumah memberi makan ayam dan bebek, kutunggu-tunggu belum masuk juga. Aku ke belakang, “Mas aku datang kok kamu diam saja, trus itu administrasiku kok diremat seperti krupuk gado-gado, itu kurang sedikit mau aku selesaikan untuk kenaikan pangkatku kok dbuat seperti itu tega kamu.” Mas Ardi tetap diam dan tidak mau melihatku. “Apa memang tidak suka aku mengajukan kenaikan pangkatku? Aku menyusulmu ke Sragen, ke Jogja, ke Solo terus ke sini.”kupegang lengannya yang kotor kena katul. Dihempaskannya tanganku, “aku susul kamu karena mau ada kunjungan dan kamu harus datang, kamu tidak ada di rumah dinas.” “Lho…kamu kan tahu ini liburan tentu aku pulang kamu tahu sendiri kan tiap Sabtu aku pulang untuk siapa coba? untuk kalian anak dan suamiku,” Mas Ardi hanya memandangku sesaat. “Ya sudah kalau memang aku sudah tidak dipercaya aku mengundurkan diri dari kerja juga tidak apa-apa.” Ada rasa getir didadaku, terbayang beratnya orang tuaku membiayai aku kuliah. Berjubel saingan masuk perguruan tinggi negri. Terbayang saat aku berjibaku tes CPNS. Kuusap air mataku yang semakin tak terbendung aku berlari ke kamar depan takut anakku tersayang terbangun. Kutumpahkan sesak dadaku, kutumpahkan seluruh kepedihanku, kepedihan karena tidak dipercaya, aku berkorban jauh dari buah hatiku hanya untuk membantu menyiapkan masa depan anak kami kelak.

“Tuhan beri kesabaran aku, tolong damaikan kami yang dalam permasalahan yang seharusnya tidak menjadi permasalahan.” Terasa tangan memegang punggungku,”sudah sudah.” suara Mas Ardi membalikkan badanku. Kamu di mana saat temanmu yang lain masih di rumah dinas? Malam-malam lagi, apa aku tidak khawatir? Temanmu bilang kamu pulang, aku langsung balik kanan mencarimu, karena kamu pernah nekat pulang jam 24.00 WIB saat aku opname, aku pikir kamu pulang Jogja. Kamu dimana coba?” Aku tidur di rumah Bu Is, karena bus yang mau aku tumpangi jurusan Purwokerto-Semarang yang malam rusak, itu alasannya.” Mas Ardi memelukku, “Aku bukan tidak mempercayaimu tapi karna aku mengkawatirkanmu, sepanjang hari aku mencarimu.” Maafkan aku Mas yang telah membuatmu kawatir.” Kami pun saling mengerti.

Mas Ardi menyetlika Administrasiku, esok harinya aku diajak keluar, ternyata foto copy blangko administrasi kosong, dengan sabar dia tuliskan, bedak dan lipstikku dia belikan untukku. Suamiku tersayang ternyata begitu memperhatikanku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Senang mendapat keluarga penuh perhatian.

08 Aug
Balas

Makasih Pak Yudha

08 Aug

Perjuangan yang luar biasa, bu

08 Aug
Balas

Makasih Mbak Umul

08 Aug

Resiko tugas untuk pertiwi.

08 Aug
Balas

Iya Bu Pur terimakasih

17 Aug

Perjuangan.. dik.. semoga sukses dengan ketulusan dan pengabdianmu

08 Aug
Balas

iya Mbak Endah semoga Njenengan sukses juga

17 Aug



search

New Post