SAMPAH PENCABUT NYAWA
Sampah bisa menjadi berkah, namun juga bisa menjadi musibah. Sampah bisa menjadi berkah bila bisa memanfaatkannya. Bekas botol plastik minuman bisa dimanfaatkan untuk membuat sapu lantai. Bekas sedotan plastik bisa dibuat tirai rumah, bisa juga dibuat hiasan rumah atau mobil berupa lampion, bisa dibuat bunga plastik yang indah. Plastik kantong bisa dibuat bunga cantik, pemanis meja tamu. Bungkus rinso, soklin, bungkus permen dan bungkus yang lain juga dapat dimanfaatkan untuk dompet, dapat pula untuk perlak meja makan.
Beberapa bulan yang lalu tetanggaku, Pak Dirga meninggal gara-gara sampah. Bak penampung sampah dibuat di tanah pekarangan sendiri, tidak dibuat di pinggir jalan atau di pekarangan orang lain. Pembungan sampah tidak mengganggu tetangga yang lain. Saat sampah dibakar, siapa yang dapat mengendalikan arah asap pembakaran tersebut, hanya angin yang berkuasa. Kebetulan arah asap tanpa permisi memasuki rumah depan rumah Pak Dirga. Tanpa basa basi tetangga depan rumah marah tidak karuan, dalam waktu singkat terjadilah perang mulut antara Pak Dirga dan tetangga depan rumahnya. Sonya putri semata wayang Pak Dirga melerai dengan mengajak ayahnya masuk rumah. Rupanya pertengkaran tidak berhenti sampai di situ. Tetangga Pak Dirga mendekati bak tungku pembakaran sampah dari beton buatan Pak Dirga, dengan membawa seember air. Air itu disiramkannya pada tungku pembakaran sampah Pak Dirga. Sontak melihat hal tersebut Pak Dirga tersulut emosinya, diambilnya sebotol bensi yang rencana semula untuk mengisi sepeda motornya, setengah berlari mendekati tungku pembakaran sampahnya. Pembakaran sampah yang sudah padam, dia siram dengan bensin dan dinyalakan lagi. Pelan-pelan Pak Dirga berbalik badan, tiba-tiba limbung dan terjatuh, kepalanya membentur tungku pembakaran sampah. Sesaat sebelum limbung dia merasa ada dorongan yang kuat dari belakang. Kemudian gelap tak sadarkan diri. Keluarga, Pak RT beserta tetangga dekat lainnya berusaha menolong dengan membawa ke rumah sakit terdekat. Sayang petugas medis tak bisa menolong, Pak Dirga menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah mengucapkan takbir sesuai agamanya, serta ada ucapan titip Sonya anak semata wayangnya.
Sonya duduk kelas satu SMP, ibunya tidak bekerja, sementara Pak Dirga adalah guru WB di sekolah dasar. Tidak ada lagi gantungan hidup mereka. Pasrah itu yang dapat dilakukan mereka. Masalah diselesaikan secara kekeluargaan, meskipun pelaku sempat meringkuk di tahanan satu tahun, tak dapat menghapus kepedihan hati keluarga Pak Dirga Sang Umar Bakre yang sejati.
Sore hari suamiku membakar sampah depan rumahku, yang masih dalam pekarangan rumahku. Setelah api menyala, suamiku pergi. Tanpa ada kata sepatahpun tetanggaku samping rumah menyiram air pada pembakaran sampah. Aku pu hanya diam memandangi tingkah laku tetanggaku, dengan harapan ada rasa ewuh perkewuh mengingat sebenarnya pembakaran ini tidak bermasalah karena tidak ada jemuran pakaian. Tak kumasukkan dalam hatiku, aku tidak mau menjadi pemicu perselisihan dengan tetangga. Mengalah belum tentu kalah.
Tetangga belakang rumahku membakar sampah dipekarangan rumahku. Aku tidak apa-apa karena dia tidak punya pekarangan. Terdengar keributan saat aku mandi. Aku keluar rumah saat sudah tenang, “Na Bu Dhe apa Bu Dhe melarang saya membakar sampah di sini?’ tanya ibunya Riska. “Tidak apa-apa Bu Lek, daripada di buang di sungai seperti yang lainnya.” Jawabku. “Siapa yang melarang?” tanyaku kemudian. “Mbahnya Nugi!” jawabnya singkat. “Lho alasannya apa?” tanyaku lagi. “Asapnya masuk rumahnya.” Jawabnya singkat. “Wah jangan sampai terjadi seperti Pak Dirga, kita mengalah saja. Itu jalan keluar yang terbaik. Kita bakar sampah saat yang bersangkutan sedang pergi.” Jelasku. “Diam-diam seperti pencuri Bu Dhe.” Kata ibunya Riska, yang diiringi tawa kami bersama.
Pagi tadi aku ke sekolah, sengaja mencari jalan memutar. Aku lewati kebun milik kami yang belum sempat aku bangun. Aku lihat tumpukan sampah di pinggir pekaranganku. Aku berhenti dan kutanyakan siapa yang membuang sampah di pekaranganku pada Mbah Asmo tetanggaku. “Yang buang sampah ini Bu Santi,’ kata Mbah Asmo sambil menunjuk rumah tingkat sebrang jalan. Kenapa dibuang di kebunku? Kenapa tidak dibuang di pekarangannya sendiri? Berkecamuk pertanyaan memenuhi pikiranku. Bagaimana aku harus bicara dengan Bu Santi? Seharusnya Bu Santi tahu sendiri bagaimana rasanya bila pekarangannya dipakai sebagai tempat pembuangan sampah orang lain. Bu Santi adalah guru juga, suaminya pensiunan dosen. Justru memberi pengertian orang yang sudah mengerti itu yang paling sulit. Ada yang bisa bantu urun rembuk terhadap masalahku ini? Tolong sampaikan jangan ragu-ragu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar