Menjadi Guru, Makan Ati?
Menjadi guru bisa jadi bukan dambaan spesial setiap orang. Tetapi bagi mereka yang mendamba profesi ini tentu mengasyikan. Di dalam proses pembelajaran guru dituntut profesional dalam menerapkan berbagai pola pedagogiknya. Bisa jadi mengajar atau mendidik itu benar-benar membutuhkan totalitas.
Cita-cita mulia pendidikan nasional kita sangat bagus. Mewujudkan generasi yang memiliki kualitas unggul. Namun kita bisa lihat praktiknya di lapangan. Bagaimana idealisme guru kadang diamputasi dengan kebijakan nyleneh.
Ketika standar lulusan atau kriterian ketercapaian pembelajaran sudah disusun dengan apik, nyatanya saat proses asesmen dan remidial dilakukan berkali-kali, ada siswa yang tetap tidak tercapai. Hal ini menjadi paradoks antara idealisme apa adanya dengan misi penyelamatan anak didik.
Misalnya standar ketercapaian sudah ditetapkan 70 untuk mata pelajaran tertentu dari asesmen sumatifnya. Ada siswa yang tidak tercapai, maka dalam prosesnya siswa diminta mengikuti remidial. Setelah mengikuti remidial berkali-kali tetap saja tidak tercapai hingga sampai batas waktu pengolahan nilai raport.
Apa yang terjadi?Mark up nilai atau"ndhengkuli"nilai kerap dilakukan guru atas dasar perintah untuk misi penyelamatan institusi maupun nasib siswa. Muliakah? Bisa jadi hal itu bertolak belakang dengan nurani dan idealisme guru. Inginnya guru semua siswa tercapai, tapi jikapun ada yang tidak tercapai, pasti akan dilaporkan juga apa adanya. Namun lagi-lagi ada perang batin guru. jika apa adanya nilai jeblok. Jika di mark up, jelas ini menyalahi prinsip autentik asesmen.
Guru hanya bisa mengelus dada. Mengapa?Karena nurani dan idealismenya dibenturkan dengan misi penyelamatan tersebut. Tidak ada shock therapy bagi siswa. Sehingga ada kesan sekarang, sekolah pasti naik kelas. Sekolah pasti lulus. Hal ini akan menjadi ingatan siswa. Sekolah tak usah susah-susah, pasti dijamin lulus, Bahkan ada yang tidak ikut ujian, tapi karena data maish nyantol di data pokok pendidikan, dan menjadi peserta ujian, maka ia pun dinyatakan lulus.
Ini pendidikan mau dibawa kemana? Bisa jadi nanti sampai pada titik simpulan masyarakat, sekolah yang sebenarnya itu saat kelas mencari pekerjaan atau mendaftar kuliah. Mengapa?Karena saat mencari pekerjaan, tak ada tawar menawar. Ada yang diterima dan pasti ada yang ditolak. Begitu pun saat seleksi mahasiswa baru, ada yang lolos dan ada yang tidak. Sampai di sini tak ada yang berani protes.
Jadi pada prosesnya asesmen pembelajaran kadang jadi buah simalakama bagi guru. Guru yang bekerja dengan hati, akan lebih hati-hati. Tapi kadangkala dibenturkan dengan dalih penyelamatan misi dan tujuan pendidikan dasar 9 tahun. Kita sekarang tidak pernah mendengar ada siswa yang tidak naik kelas, atau tidak ada siswa yang lulus, Semua berhak naik kelas, dan berhak lulus. Hal ini memang bisa diterima karena siswa berhak untuk mengikuti pendidikan di jenjang berikutnya. Tapi mengabaikan kualitas berarti juga memborbardir mereka dengan kemampuan yang semu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar