Tuti Haryati

Saya Tuti Haryati, lahir di Jakarta, 16 April 1975. Pemerhati inklusi yang selalu melayani dengan hati, memiliki hobi membaca dan menulis. Pemerhati ini menyele...

Selengkapnya
Navigasi Web
PI Sebagai Model Layanan Pendidikan Era Derupsi (4.0)  Tanpa Diskriminasi Hari ke 32

PI Sebagai Model Layanan Pendidikan Era Derupsi (4.0) Tanpa Diskriminasi Hari ke 32

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Oleh karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warga tanpa terkecuali termasuk yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (Anak Berkebutuhan Khusus) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1).

Selama ini Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tersebut disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis kekhususannya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB), yang perkembangannya dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia yaitu tahun 1596–1942. Akan tetapi tanpa disadari sistem pendidikan SLB telah menciptakan tembok eksklusifisme yang menghambat proses saling mengenal antara ABK dan nonABK. Oleh karena itu pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan akses pendidikan dengan kesetaraan melalui sekolah inklusi yang merupakan sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama.

Penyelenggaraan pendidikan inklusi diharapkan mampu mencetak generasi penerus yang dapat memahami dan menerima segala bentuk perbedaan dan tidak menciptakan diskriminasi dalam kehidupan masyarakat ke depannya. Akan tetapi ketidaksinkronisasi antara pihak sekolah sebagai pelaksana program dengan pemerintah sebagai pihak yang mencanangkan program menyebabkan proses penyelenggaraan pendidikan inklusi tidak berjalan dengan maksimal. Tanpa adanya perhatian dari pemerintah, tentunya menyebabkan sekolah tidak dapat menyelenggarakan pendidikan inklusi yang dicanangkan oleh pemerintah dengan baik dan sesuai dengan pedoman khusus penyelenggaraan pendidikan inklusi untuk mewujudkan gagasan pendidikan tanpa diskriminasi.

Untuk memahami konsep pemenuhan hak pendidikan anak Permeneg PP&PA No.5 Thn 2011 tentang Kebijakan Pemenuhan Hak Pendidikan Anak menyatakan bahwa Pendidikan merupakan salah satu hak dasar anak yang menjadi masalah dan tanggungjawab bersama untuk memenuhinya. Masalah pendidikan juga merupakan salah satu upaya perlindungan anak yang bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hakhak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Selanjutnya dalam Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, menyatakan bahwa dalam pemenuhan hak pendidikan anak, pendidikan yang ada pada saat ini telah diarahkan untuk menuju pendidikan inklusif sebagai wadah ideal yang diharapkan dapat mengakomodasikan pendidikan bagi semua, terutama anak-anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus untuk memenuhi haknya dalam memperoleh pendidikan layaknya seperti anak-anak lain.

Hal tersebut didukung oleh jurnal yang ditulis oleh Tarmansyah (2009) yang menyatakan bahwa “...saat ini terdapat kebijakan dan program dari Kemendiknas yang berupa pengembangan sekolah inklusi, yakni menggabungkan anak normal dengan anak yang berkebutuhan khusus. Berdasarkan apa yang dituliskan dalam Komite Hak-Hak Ekonomi Social dan Budaya (EKOSOB) PBB (CESCR) pada tahun 1999, general comments E/C.12/1999/10 berisi empat prinsip sebagai penjabaran hak atas pendidikan yang harus dipenuhi oleh setiap negara.

Keempat prinsip tersebut adalah Ketersediaan, Aksesibilitas, Akseptablitas, dan Adaptabilitas. Untuk penyelenggara pendidikan inklusi harus memenuhi keempat prinsip tersebut sehingga sekolah inklusi sebagai perwujudan pendidikan tanpa diskriminasi dapat berjalan dengan baik. Selanjutnya Ifdlali (2010: 03) salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, terutama para guru.

Selanjutnya Abdul rahim (2012: 13) dalam Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) yang dihadiri oleh para menteri pendidikan sedunia berisikan Penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia tahun 1948 dan berbagai deklarasi lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu penyandang cacat memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada.

Antara kebijakan di pemerintahan dan di daerah masih belum singkron. Diantaranya aktifitas yang belum bisa singkron adalah : 1) Penanganan Ijazah untuk anak berkebutuhan yang belum tuntas, terbukti masih adanya peserta didik yang belum menerimanya; 2) Pemahaman terhadap penanganan inklusif yang belum menyeluruh didaerah, sehingga ada sebagian peserta didik ABK yang membutuhkan layanan inklusif belum bisa tertangani dengan baik; 3) Belum terintegrasinya pengetahuan tentang inklusif di fakultas pendidikan, yang terjadi lulusan sarjana pendidikan tidak tahu tentang apa itu pendidikan inklusif. Ketika mereka PPL disekolah tertentu dan harus mengajar serta didalamnya ada anak berkebutuhan khusus, mereka kebingungan bagaimana cara mengatasinya.

Learner (2006) mengemukakan bahwa tanggung jawab pendidik yang melayani anak-anak berkebutuhan khusus mencakup : 1) melakukan setting program untuk identifikasi, assesment, dan mengajar peserta didik; 2) berpartisipasi dalam screening, assesment, dan evaluasi peserta didik; 3) melakukan kolaborasi dengan staf dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran; 4) memahami metode assesment formal dan assesment pengganti; 5) berpartisipasi dalam tim pembelajaran induvidual; 6) implementasi pembelajaran induvidual; 7) wawancara dan kerjasama dengan orang tua; dan 8) membantu peserta didik dalam memahami dirinya, serta menumbuhkan kepercayaan dalam belajar.

Jenis hambatan dan ketunaan yang harus dilayani adalah : 1) Autis. Peserta didik yang memiliki hambatan dalam komunikasi sosial, interaksi sosial, serta menunjukkan perilaku repetitif; 2) Gangguan belajar. Hambatan untuk menunjukkan performa akademik yang optimal meskipun tidak memiliki gangguan intelektual; 3) Gangguan motorik. Hambatan syaraf yang menyebabkan adanya gerakan yang abnormal; 4) Kesulitan Belajar. Suatu keadaan dalam proses belajar dimana peserta didik tidak dapat belajar sebagaiman mestinya baik karena faktor internal maupun eksternal.Sedangkan jenis kenunaannya diantaranya : Tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunagrahita, tunalaras, tunawicara, tunaganda, kerdas istimewa dan bakat istimewa.

Ragamnya jenis hambatan dan ketunaan memberikan penguatan terhadap para guru untuk segera belajar dalam berbagai layanan untuk ABK yang disesuaikan dengan kemampuannya. Bahaimana kita bisa memfokuskan peserta didik yang mampu latih dan mampu didik serta yang tidak mempunyai permaslahan pada kecerdasannya. Maka merekalah yang akan kita berikan layanan kompensatoris dan modifikasi bersama dengan peserta didik reguler lainnya. Sedang peserta yang masih mampu rawat, maka tempat kompensatorisnya dan layanannya berada di SLB.

Pemerintah perlu melakukan revisi terhadap atau menerbitkan regulasi baru yang dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam melaksanakan perencanaan kebutuhan ABK inklusif, menyegerakan untuk update data ABK inklusif baik secara kuantitatif maupun kualitatif secara valid, mengoptimalkan koordinasi lintas sektoral baik internal maupun eksternal, menyingkronkan program pembelajaran inklusif di Fakultas Pendidikan sehingga lulusan Fakultas Pendidikan memiliki keilmuan tentang Inklusif, serta penganggaran anggaran yang terstruktur dalam melakukan pelayanan inklusif.

Fenomena Pendidikan Inklusif merujuk pada kebutuhan pendidikan untuk semua (Education for All) tanpa memandang ras, golongan maupun usia, dengan fokus spesifik pada mereka yang rentan terhadap marjinalisasi dan pemisahan. Bagi sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial-emosional, atau kondisi lainnya agar dapat beradaptasi dengan kemajuan teknologi yang semakin berkembang dan mempengaruhi kehidupan secara struktural maupun kultural. Sekaligus menciptakan regenerasi SDM berkualitas untuk berkontribusi menyukseskan Revolusi Industri 4.0. Yakni membawa perubahan lingkungan strategis yang mempengaruhi peran setiap warga negara Indonesia yang bermartabat tanpa diskriminasi dalam mendidik, menerapkan dan menumbuhkan nilai karakter bangsa.

Selamat membaca dan salam literasi ...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post