Tuti Haryati

Saya Tuti Haryati, lahir di Jakarta, 16 April 1975. Pemerhati inklusi yang selalu melayani dengan hati, memiliki hobi membaca dan menulis. Pemerhati ini menyele...

Selengkapnya
Navigasi Web
Rumahku Sekolah Pertamaku (2)

Rumahku Sekolah Pertamaku (2)

Tantangan kali ini saya kok pingin nulis tetang parenting ya. Kedewasaan berfikir dan dampak bagaimana kita akan mendisaind rumah kita yang nyaman menjadi harga mati buat kita. Yakinlah bagaimana urusan kenyamanan bagaimanapun kondisi kita dan orang lain yang tidak menghargai kita, ujungnya ada pada kita sendiri. Bahwa kita lah yang akan memilih kapan kita bahagia atau kita terpuruk dengan kondisi yang tidak menguntungkan kita.

Disadari atau tidak, sebenarnya kita sebagai orang tua sangat tidak bisa melihat keadaan. Dan cenderung memaksakan diri terhadap kondisi anak-anak kita. Kita selalu memaksakan diri untuk apa yang kita harapkan bisa dilakukan oleh anak kita. Disadari atau tidak, bahwa “anak bukan miniatur orang dewasa”, yang istilah ini ditulis dalam bukunya Ustadzah Puput Yulianti dari Surabaya, Kepala TK PGRA IRBAH GOLDEN AGE.

Kesiapan kita sebagai orang tua adalah cerminan kita siap tidaknya dalam menjalankan amanah sebagai orang tua yang sudah diberikan. Tidak jarang terkadang ada sebagaian orang tua yang tidak tahu bagaiaman harus menjadi orang tua. Seharusnya menjadi orang tua harus ada pelajarannya. Sehingga kita sebagai orang tua bisa memberikan hal yang terbaik untuk anak-anak kita.

Disadari atau tidak orang tua kita memberikan pelajaran arti sebuah kehidupan melalui contok orang tua kita dulu. Begitu pula sebaliknya orang tua kita juga belajar tentang hidup dari orang tuanya yang terdalulu juga. Pendidikan yang turun menurun ini kalau di kondisikan dengan zaman now sangat belum mengena.

Masih sangat diperlukan tiga hal yang mulai disipakan kepada anak-anak kita. Mereka sebagai penerus kita, agar menjadi orang tua yang siap mendampingi secara nyata dalam mengolah karakter remaja yang sudah terkontaminasi oleh negara luar.

Pertama, perlunya pengalaman belajar bagaimana menjadi orang tua. Pembelajaran ini belum pernah ada. Seperti apa yang saya jelaskan diatas. Bahwa sejak zaman dahulu hingga sekarang menjadi orang tua hanya sebuah contoh yang turun menurun terhadap bagaimana menjadi orang tua yang bijak.

Jika dirasa orang tuanya utun atau santun, secara otomatis anaknya pun akan mengikutinya. Begitu pula sebaliknya, jika orang tuanya boys atau suka hura-hura, jauh dari agama dan modern, maka anak-anak kita pun akan mengikuti karakter itu.

Makanya bagi kami suritauladan, bagaimana menjadi orang tua yang baik, bijak dan agamis. Harus diciptakan dengan menyekolahkan ke pondok dan mempersiapkannya, untuk mendapatkan materi. Bagaimana menjadi orang tua yang diharapkan diatas.

Kedua, kita terbiasa menyiapkan anak kita kuliyah yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Ada sebagian orang tua enggan menyatakan “kamu mau sekolah diman nak?”. Apalagi orang tua yang menyatakan”anakku adalah ladang investasiku”. Kita tidak pernah menyadarinya. Bahwa anak kita juga memmpunyai keinginan yang lain dari yang orang tua kita.

Suatu ketika ada contoh seorang mahasiswa di perguruan tinggi negeri di kota Malang. Mahasiswa ini sangat menurut kepada orang tuanya. Anak ini mempunyai masalah pada komunikasi. Apapun yang ingin dia lakukan tidak pernah dibicarakan kepada orang tuanya. Suatu saat anak ini pingin kuliyah dan disarankan orang tuanya untuk kuliyah di kedokteran. Apapun yang di sarankan orang tuanya anak ini juga tidak pernah menolaknya.

Ilmu kedokteran ilmu yang selalu baru dan selalu menghafal. Anak ini cerdas dan sudah dipastikan, setiap mendapatkan penilaina selalu kumlout. Dalam perjalanan kuliyahnya tidak pernah mendapatkan nilai jelek. Sampai pada saatnya kelulusan pun anak ini mendapatkan predikat high scors atau Coumloud. Wisudapun terjadi, kebanyakan dari mahasiswa yang ada sangat bangga dan bahagia. Raut wajah anak inipun bahagia, begitu turun dari peneruimaan ijazah. Anak ini langsung mendatangi kedua orang tuanya dam berkata “ayah,ibu, ini ijazahnya”. Saya sudah 5 tahun mengikuti apa yang menjadi keinginan ayah dan ibu. Sekarang ijinkan saya untuk menjadi dan kuliayah apa yang saya inginkan. Saat itu orang tua sadar, ternyata orang tua belum membangun komunuikasi yang bisa saling membutuhkan dengan anak.

Setelah mendengarkan dan menerima ijazah, orang tuanya langsung menangis, dan tidak menyangka. Selama ini anaknya tidak memiliki minat kuliyah di kedokteran. Anak ini memiliki mimpi yang belum di wujudkan. Anak ini berusaha patuh dan tidak akan mengecewakan apa yang menjadi harapan orang tua. Tapi anak ini masih punya mimpi dalam hidupnya yang masih tertunda.

Dari masalah ini sangat lah jelas. Membangun komunikasi sangatlah perlu. Orang tua tidak bisa memaksakan kehendaknya tanpa membicarakan dulu kapada anak-anak kita. Disadari atau tidak orang tua hanya menjadikan pekerja sebagai penerus jalan kehidupan. Tapi orang tua tidak pernah menyiapkan dengan membangun komunikasi, bagaimana orang tua memberikan jalan kehidupan yang diinginkan anak-anank kita.

Ketiga, orang tua tidak pernah menanyakan, “nak, mau makan apa ?”. pertanyaan ini sepertinya sepele. Pemaksaan kita sebagai seorang tua juga tersurat. Sangat jelas ketika kita masak, anak tinggal memakan dari apa yang sudah disajikan ibu kita. tidak jarang orang tua yang memaksakan diri juga terhadap hal yang dianggap sepele. Kita sebagai orang tua juga tidak menyadarinya. Yang ada ketika makanan itu tidak dimakan orang tua kita, terutama ibu akan marah dan berkata “dah besuk, ibu tidak mau masak lagi, la wong dak dimakan!” kata-kata ini terkesan memaksakan diri. Dan kita pun tidak menyadarinya, bahwa masalah ini menjadi dampak yang besar.

Dari tida uraian diatas, bagaimana kita sebagai orang tua yang egois, yang menjadikan anak-anak kita menjadi pribadi yang diam dan tidak bisa diajak kerjasama, tergantung. Atau malah sebaliknya anak-anak kita menjadi anak yang brutal, nauzu billahi mindalid.

Agar rumah kita menjadi sekolah pertama buat anak-anak kita, peran penting yang harus dimiliki dan selalu diasah adalah komunikasi. Ajak anak kita dari permasalah ketiga dalam menjalan hidupnya menjadi lebih baik lagi. Agar mereka menjadi primadi yang tegar, tanggung jawab dalam menghadapi zamannya. Dan menjadikan rumah sebagai sekolah pertama bagi anak-anak.

Tulungagung, 16 Januari 2020

#Tantangan Hari Kedua Bismillahirrahmanirrahim ....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap bu tulisannya keren

16 Jan
Balas

Barokallah terimakasih bunda... Disekolah yg menjalankan Pendidikan Inklusif bnyak sekali pengalaman belajar yang bisa kita tuliskan untuk berbagi. Bagaimana di sekolah bunda sudah adakah penanganan pendidikan Inklusif?

16 Jan

Siip bu

16 Jan
Balas

Selalu ada rindu yang hadir ketika kita bisa melayaninya dengan sepenuh hati.

16 Jan



search

New Post