Tuti Haryati

Saya Tuti Haryati, lahir di Jakarta, 16 April 1975. Pemerhati inklusi yang selalu melayani dengan hati, memiliki hobi membaca dan menulis. Pemerhati ini menyele...

Selengkapnya
Navigasi Web
Suara  Alam TantanganGurusiana 60 Hari Ke 3

Suara Alam TantanganGurusiana 60 Hari Ke 3

Ada suka, ada pula duka dalam setiap hidup seorang makhluk. Ketika senang dirasakan, selalu ada kesedihan yang menunggu giliran. Bukan hanya manusia. Namun, juga bagi hewan dan tumbuhan.

“Dua hari yang lalu, pohon besar di sini masih ada. Sekarang sudah tandas. Sarang burung di atas sana, dikemanakan, ya?”

Menyukai penjelajahan, seorang anak sekolah menengah memutuskan menghabiskan waktu liburan untuk meniti alam. Mempelajari para hewan dan tumbuhan, juga perkembangan mereka.

Sedih, ketika mengingat pohon-pohon di tempat terbuka ini mulai dihabisi. Sekawanan orang dengan gergaji mesin hilir-mudik di sini saban hari. Tak hanya mengubur kehidupan para tanaman, mereka juga membuat habitat burung berpindah.

“Aku suka di sini, karena bisa berkenalan baik dengan para burung. Tapi, sejak pembangunan pabrik kertas itu selesai, mereka tiba-tiba menghilang. Aku tidak lagi mendengar suara jernih dari alam. Rupanya, karena ini,” gumam anak tersebut.

Siswi terbaik di sekolah, dalam hal pengetahuan alam. Namanya Asih, penyuka penelitian.

Melihat letak matahari, Asih memutuskan untuk kembali ke rumah. Berjalan menelusuri hutan terbuka setengah kilometer, dilanjut perjalanan pulang satu kilometer. Dengan modal sepasang kaki, dengan semangat ia melangkah.

Hutan ini penuh semak, menyulitkan perjalanan. Hingga sedikit kurang dari dua jam kemudian Asih sampai rumah. Peluh turun sempurna dari pelipis, pun dari leher. Tapi, senyum dalam wajahnya tak luput juga.

“Asih, cepat bersihkan dirimu! Anak perempuan tidak pantas dengan tampilan seperti itu,” panggil bunda Asih, yang rupanya sudah menunggu kedatangan Asih.

Yang diperingatkan hanya nyengir, kemudian bergegas masuk kamar. Asih segera bersih diri, dan memanjakan pikiran dengan buku pengatahuan. Dilihat jam dinding, sudah hampir tigaperempat hari ia lewati.

Perjalanan Asih meniti alam bukan cuma-cuma. Kegemarannya pada semesta tidak hanya menjadi hobi biasa. Ia senang, berarti harus bisa melestarikan. Hilangnya kehidupan teman jiwanya membuat Asih tergerak melakukan sesuatu.

“Suara burung setiap pagi yang terbang sampai sini sudah tidak terdengar. Di hutan sana, digantikan deru gergaji mesin. Agar aku bisa merasakan hangatnya pagi bersama mereka, aku harus mengembalikan habitatnya. Mungkin, aku bisa menggunakan lahan kosong di sebelah rumah untuk taman pohon,” gumam Asih.

Namun, bukan hanya habitat burung yang bermasalah. Bahan pokok untuk pabrik kertas juga harus dipikirkan. Semakin lama hutan digundul, maka semakin habis pula pasokan kayu bagi mereka.

Pertanyaannya. Apakah pihak pabrik kertas mau menanam kembali pohon-pohon yang telah mereka habisi?

“Jawabannya, harus.”

“Asih, ayo ikut ayah ke kantor kepala desa. Ada pembahasan tentang hutan yang harus diselesaikan. Kepala desa memintamu datang.”

Ayah muncul dengan suara beratnya. Tanpa ada jeda waktu, Asih langsung mengangguk setuju. Walaupun masih terbilang muda, pendapat Asih terhadap alam sudah patut dipertimbangkan.

Segera saja Asih berganti baju, dan ikut ayah berjalan ke kantor kepala desa yang dekat. Di sana, pak Sugih sudah menunggu keduanya.

“Assalamu’alaikum,” ayah mengucap salam.

“Wa’alaikumsalam. Silakan duduk, ayo mulai pembahasan,” ajak pak Sugih.

Rupanya, malam ini hanya Asih dan ayahnya saja yang diajak rundingan. Jadi, setibanya mereka bisa langsung memulai pembicaraan.

“Asih, bagaimana menurutmu, tentang pabrik kertas baru yang menghabisi hutan di Selatan sana? Kira-kira, apa yang akan terjadi?” tanya pak Sugih.

“Hutan akan gundul, maka habitat binatang berpindah. Kasihan mereka. Dan karena hutan gundul, air ketika hujan deras tidak mudah terserap. Bisa saja, menimbulkan bencana seperti banjir, atau lebih parah lagi,” ujar Asih. “Aku ingin membuat taman pohon untuk habitat burung yang sudah berpindah.”

“Biasanya, setiap pagi Asih selalu menanti kicauan burung di depan rumah. Tak jarang juga ia memberi makan, maka semakin ramai mereka bernyanyi. Dan sekarang kehidupan mereka telah berpindah. Suara-suara menyenangkan sudah tak lagi terdengar,” tambah ayah.

Pak Sugih mempertimbangkan. Detik berikutnya, beliau mengusulkan agar ayah ikut dengannya untuk bernegosiasi dengan pabrik kertas. Mereka harus membuat hutan sendiri untuk pasokan bahan baku mereka.

Sementara memperbaiki hutan dengan reboisasi, usul Asih diterima. Membuat taman pohon, di lahan kosong sebelah rumah milik ayah.

“Baik, kita akan beli bibit tanaman. Seluruh warga dewasa laki-laki akan ikut membantu pabrik menanam hutan untuk pasokan mereka, jika memang bersedia atas negosiasi kita. Sementara, para anak dan ibu akan membantu Asih membuat taman pohon agar para burung bisa kembali,” ujar pak Sugih akhirnya.

“Semakin berkembangnya teknologi, jika tidak dilakukan dengan hati-hati, selalu akan menggangu keseimbangan yang ada.”

...

Mengingat kejadian tiga tahun lalu, senyum Asih berkembang. Untuk kesekian kalinya bulan ini, bertumpuk-tumpuk buku tulis sampai di alamatnya. Ditemani para burung yang setiap saat berkicau, membuat kehidupan Asih seakan sempurna.

Kelegaan akan berbagai masalah sudah tuntas dirasakan. Bersantai bersama alam adalah salah satu pilihan yang tepat, di tengah keributan masuk sekolah menengah atas ini.

“Wah, aku ingat sekali. Dua tahun lalu, kalian menghilang berbulan-bulan. Aku tidak tahu ke mana perginya kalian. Rupanya, karena pembangunan pabrik kertas baru. Suara-suara merdu kalian luput dari pendengaran, membuatku rindu.”

Asih berbicara kepada burung-burung di taman pohon. Ada sejumlah pohon kokoh menjulang tinggi, pun berbagai rumah burung yang indah. Ketekunannya menjaga alam membuat hidup teman jiwanya terselamatkan.

“Tapi, aku tidak sepenuhnya menyalahkan pabrik kertas. Buktinya, mereka menyetujui negosiasi ayah dan pak Sugih. Berkat itu, mereka kini menjadi pabrik yang sukses, dan tak lupa selalu bersedekah. Pembangunan teknologi memang tak terelakkan. Juga dengan perubahan yang terjadi. Namun, tidak mustahil pula bisa mengembalikan keseimbangan yang ada sebelumnya.”

Karena setiap perubahan, tentu membawa dampak. Baik maupun buruk, semua sudah terjadwalkan untuk mengalir.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga Asih Asih lain bermunculan.....

19 Feb
Balas

Betul bunda .... terimakasih sudah mampir disini

20 Feb



search

New Post