Malam semakin larut, jalananpun mulai sepi. Hanya sesekali kudengar  kendaraan lewat, itupun segera berlalu dengan cepat. Kupandangi suamiku yang sudah terlelap tidur. Aneh, tak sedikitpun kantuk menerpaku. Berkali-kali kupejamkan mata tapi bayangan itu terus hadir memenuhi ingatanku. “Mamah, Adel juga mau mondok di Pesantren seperti aa dan teteh,” pintanya penuh harap. Aku terharu namun bangga mendengarnya. Tapi tak bisa kupungkiri, aku merasa berat sekali saat melepas kepergiannya dua hari yang lalu.

Adelia, anak asuhku sejak masih bayi merah. Ibunya meninggal karena mengalami blooding saat melahirkan. Ayahnya yang hanya seorang pemulung  menitipkan Adel padaku. Sampai kini, tak ada lagi kabar tentangnya. Mungkin ia merasa tenang sudah ada yang merawat anaknya, atau mungkin ia tak banyak berharap karena anaknya memiliki keterbatasan. Adel sejak lahir mengalami kelumpuhan pada dua kakinya. Kemanapun pergi, tongkat penopang selalu setia menyertainya.

Jam sudah berdentang tiga kali, namun rasa kantukku tak kunjung datang. Perlahan kutinggalkan peraduan, menuju tempat berwudhu.  Air sejuk yang menerpa wajahku terasa segar dan menuntunku untuk segera bersimpuh dan bersujud pada Yang Maha Kuasa. Kutitipkan Adel dalam doa khusyuku, agar yang terbaik selalu menyertainya. Tok…tok…tok..., jelas sekali kudengar pintu diketuk orang. Walau penuh tanda tanya, aku bangkit dan melangkah menuju pintu. Sejenak aku terpaku tak percaya. Adelia  berdiri di hadapanku dengan sirat wajah penuh rindu.