Tuti Khairina

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Ternyata Dia...

Ternyata Dia…

Oleh: TUTI KHAIRINA

 

“Assalamu’alaikum Pak sopir…”

“Wa’alaikumsalam uni…. Sehat uni?”,

“Alhamdulillah Pak”.

Setiap pagi aku tidak bosan-bosannya menyapa Pak Sopir bus kota langgananku ke kampus. Aku langsung menuju bangku kebangsaanku. Ya, aku sebut bamgku kebangsaanku karena aku selalu duduk di bangku ini. Letaknya yang dekat jendela dan di belakang sopir membuat aku bisa duduk nyaman. Memperhatikan jalanan yang dilalui tanpa terganggu oleh para penumpang yang turun naik silih berganti.

Setiap hari aku aku harus berangkat lebih pagi, karena jarak rumah dengan kampusku cukup jauh. Bisa memakan waktu hampir dua jam. Bus inilah yang selalu setia menunggu di gerbang kompleks perumahanku. Bus ini adalah bus pertama setiap hari dan aku juga penumpang pertamanya. Sebagai penumpang pertama aku bebas memilih bangku dimana aku akan duduk. Setiap bangku sudah pernah kucoba dan aku lebih memilih bangku di belakang sopir ini. Aku merasa lebih nyaman, lebih bebas memperhatikan penumpang yang naik turun. Bebas juga memperhatikan jalanan lengang yang dilalui.

Matahari mulai terik, jalanan makin sibuk karena waktu beraktifitas juga sudah dimulai. Orang-orang mulai berangkat menuju tempat beraktifitas masing-masing. Satu persatu penumpang mulai naik. Bangku-bangku mulai terisi, bahkan ada yang harus berdiri di lorong antar bangku.

Bangku di sebelahku pun sudah ada yang mengisinya. Kali ini yang menemani dudukku seorang cowok, yang cool dan lebih pendiam dibandingkan dengan cowok-cowok yang pernah duduk di sebelahku. Cowok ini lebih dewasa, pakaiannnya juga rapi. Tampilannya seperti seorang pekerja muda. Dia membawa tas koper kulit kecil, dan ada buku kecil berwarna kuning yang membayang dari saku bajunya.

“Assalamu’alaikum…” Cowok itu mengucapkan salam, mungkin merasa heran karena dari tadi aku memperhatikannya tanpa aku sadari.

“Wa .. wa’alaikumsalam, eh”. Aku kaget sendiri, tergagap menjawab salamnya dan tersenyum untuk menghilangkan kikuk ku.

Aku mengira dia akan membawaku berbicara, ternyata dia kembali diam dan memalingkan pandangan ke arah jalanan di depan.

“Huuu…sombong amat sih ni cowok”, aku mendongkol sendiri dalam hati dan juga memalingkan pandangan ke arah jalan.

“ Aku duluan ya, Assalamu’alaikum…” Kembali dia mengucap salam.

“Yups, wa’alaikumsalam” meski masih sedikit dongkol, aku menjawab salamnya.

Ternyata dia duluan turunnya dariku. Tapi aku tak peduli dia menuju kemana, ngapain juga mikirin cowok sombong yang hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Emangnya aku mau kenalan juga sama dia? Enggak lah ya, masih banyak cowok lain yang mau kenalan kok sama aku, walau aku sudah mendiamkan mereka.

Memang sih wajahku tidak cantik-cantik aman, tapi kata teman-temanku wajahku cukup menarik. Terus kalau aku menarik, kenapa cowok barusan seperti enggan untuk kenal denganku? Kok kayaknya dia jaga jarak ya. Kelihatan dari awal dia mau duduk. Dia seperti mencari bangku-bangku lain di bagian belakang. Karena semua bangku sudah berisi jadilah dia “terpaksa” duduk di bangku disampingku, karena ini satu-satunya bangku kosong, yang sebelumnya diduduki uni-uni pegawai bank.

Ah, peduli amat dengannya. Lho kenapa aku jadi mikirin dia sih? Ngapain juga marah sendiri sama orang yang baru kali ini ketemu? Hehehe.. aku senyum sendiri menyadari kebodohanku. Aku kembali melihat ke depan karena sebentar lagi aku juga sampai di kampus.

Tanpa sengaja mataku melihat sesuatu berwarna kuning terang dibangku sebelahku. Benda itu terselip di antara bangku-bangku. Apa ya? Aku mengambil benda kecil sebesar telapak tanganku itu. Oh, ternyata al-Qur’an saku. al-Qur’an si cowok tadi.  Aku tau al-Qur’an itu punya si cowok sok cool tadi, karena ketika dia duduk aku melihat benda itu ada dalam saku bajunya. Sejak kapan al-Qur’an itu disitu? Kapan dia mengeluarkannya dari saku? Aku tak peduli. Aku mengambil al-Qur’an itu dan menyimpan dalam tasku. Biarlah besok kalau ketemu dia lagi, mau tak mau aku akan mengembalikannya.

“Assalamu’alaikum. Pagi Pak” sapaan tetap setiap pagi

“Wa’alaikumsalam uni…Tetap ngampus uni? Bukannya Sabtu hari Krida?”

“Iya sih Pak, tapi ada sedikit keperluan ke perpus”

“Ooo Begitu”

Bangku bus masih banyak yang kosong. Aku masih setia duduk di “bangku kebangsaan”ku. Bangku sebelahku masih kosong. Bangku-bangku di belakang juga masih banyak yang kosong, sekilas aku sempat melihat dari kaca di depan sopir.

“Assalamu’alaikum” Sebuah sapaan salam untukku yang sedari tadi melihat keluar jendela.

“Eh Iya…wa’alaikumsalam”. Aku tersenyum. Walau aku tak yakin dia melihat senyumku.

“Masih kosong?” Tanyanya sambil menunjuk bangku sebelahku.

“Iya. Kosong”.

“Boleh aku duduk?”

“Iya, silahkan”.

Hhmmm dia lagi. Si cowok cool yang tidak akan membawaku berbicara. Dia yang hanya sibuk sendiri dengan buku-bukunya dan kadang dia melihat jalanan di depan sekedar memastikan tujuannya tidak terlewat.

“Hmmm…maaf. Ini milikmu” Aku teringat dengan al-Qur’an sakunya yang kemaren tertinggal.

Dia yang dari tadi hanya menekur membaca buku, mengalihkan pandangannya melihatku, kemudian ke al-Qur’an kecil yang masih ditanganku.

“Untuk kamu saja”.

“Kenapa?”

“Sebagai salam perkenalan kita. Kenalkan, aku Alfin”

“Eh iya. Aku Salma”. Aku tak menyangka responnya seperti itu, membuatku kembali tergagap. Kaget.

“Kenapa? Nggak suka al-Qur’annya?”

Sembarangan, enak aja dibilang nggak suka sama al-Qur’an.

“Suka lah, siapa yang nggak suka al-Qur’an?”

“Sukur deh, anggap aja itu pengantar mahar”. Dia tersenyum. Aku Cuma manyun. Maksudnya apa? Mahar? Kenal juga baru sekarang. Oh God..Ada-ada aja.

Seperti sebelumnya, dia lebih banyak tenggelam dengan dirinya sendiri tanpa menghiraukanku. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing, tanpa seorangpun berniat memecah keheningan diantara kami. Sampai tanpa aku sadari bangku sebelahku sudah kosong. “Hmmm…sudahlah mungkin dia lupa mengucap salam, atau aku yang tak menyadari saat dia turun? Eh iya, aku juga lupa untuk mengucapkan terima kasih atas pemberian al-Qur’an ini. Ah sudahlah besok juga akan ketemu lagi. Aku meyakinkan dalam hati.

 

Sudah beberapa hari, aku tidak bertemu Alfin. Bahkan sekarang, sudah hari ketujuh, kenapa Alfin juga tidak tampak? Apa jam kerja Alfin berubah? Atau Alfin pindah tempat kerja? Entah kenapa ada rasa kehilangan terselip di dalam hatiku. Juga ada rindu. Walaupun kami hanya berdekatan tanpa banyak berbicara. Bahkan selain nama, aku tidak tahu lagi tentang Alfin. Begitu juga dia.

Apa itu Alfin? Aku melihat kembali arah ke belakang, lewat jendela bus. Iya, itu Alfin. Dengan seorang perempuan? Hamil? Siapa perempuan itu? Istrinya? Tak mungkin. Bisa saja itu benar. Aku kan tidak pernah bercerita banyak dengannya. Aku kan tidak tahu apa-apa tentangnya. Tanpa aku sadari pandangan mataku mulai mengabur karena airmata yang tak bisa dibendung. Ada rasa sakit yang tiba-tiba datang. Entah darimana rasa itu, aku tidak bisa menepisnya. Apalagi setelah melihat Alfin membimbing wanita hamil itu dengan sopannya. Sesopan dia memperlakukanku selama ini. Nampak jelas, Alfin betul-betul menjaga wanita yang kehamilannya mungkin hanya menunggu waktu untuk melahirkan. Aku kembali sesenggukan, tanpa aku tahu kenapa aku harus menangisinya.

Aku tidak fokus selama perkuliahan. Pikiranku hanya pada Alfin. Bayangan Alfin dengan perempuan itu selalu bermain di mataku, sampai-sampai aku tidak menyadari Aisyah yang sudah duduk di bangku depanku.

“Hei cantik…kenapa melamun aja? lagi ada masalah?” Aisyah sahabat dekatku sejak awal kuliah.

“Ah eh enggak…Cuma lagi nggak enak badan aja”.Aku sedikit berbohong.

“ Jangan bohong, tau nggak kamu tuh nggak bakat buat jadi pembohong. Masak sih nggak mau cerita sama temanmu yang sholehah ini” Aisyah mencoba menghiburku, sedikit senyuman akhirnya muncul juga di bibirku.

Aku tak bisa menyembunyikan perasaanku pada Aisyah. Akhirnya semua cerita tentang Alfin mengalir dari mulutku. Aisyah memang pendengar yang baik. Selama aku cerita dia hanya mendengarkan sambil sesekali mengangguk kecil sambil tersenyum.

“Udah ceritanya?” Tanya Aisyah ketika aku terdiam lama. Aku hanya mengangguk.

“Nanti kamu ikut aku ya. Sepulang kuliah, biar manyumnu berubah senyum lagi”…Aisyah mencubit pipi ku dengan sayang.

“Kemana?” Nggak enak menolak Aisyah. Walaupun aku dengan setengah hati mengiyakan.

“Pokoknya ikut aja, ntar tau sendiri”

 

Akhir perkuliahan, Aisyah kembali mengajakku ikut dengannya. Tanpa membuang waktu lama, aku mengikutinya. Aku tidak tau kemana Aisyah membawaku. Motor Aisyah melaju dengan mulusnya mengikuti jalan raya yang mulai ramai, walaupun tidk macet.

Dua puluh menit, dalam diam di perjalanan, motor Aisyah memasuki sebuah klinik bersalin.

“Ngapain ke sini Aisy? Bukan mau control kehamilan kan? Siapa yang hamil?” Aku mulai protes.

Aisyah hanya senyum, mengamit tanganku untuk ikut masuk. Aku ikut dengan bertanya-tanya. Kami melewati meja perawat yang saat itu kosong kemudian lorong putih bersih yang tidak begitu panjang. Ada tiga kamar sepanjang lorong. Di ujung lorong ada tangga menuju lantai dua. Sebuah klinik bersalin yang bagus dan bersih, kliniknya juga besar. Sepanjang jalan tadi, aku mendengar tangisan bayi-bayi mungil.

“ Kita akan melihat malaikat kecil yang lucu. Yakin deh galau kamu Insyaallah hilang. Kakakku baru melahirkan pagi tadi. Kasihan, suaminya sedang dinas di luar kota dan tidak dapat izin untuk pulang. Karena kuliahku tidak bisa ditinggal jadi yang mengantar tadi abang sepupuku yang baru sebulan pindah ke sini. Aku kenalin deh sama kamu. Orangnya ganteng dan cool abis” ada senyum nakal menggoda dari Aisyah. Huu Aiys, orang lagi patah hati mau dicomblangin. Aku hanya senyum.

“Assalamu’alaikum Kak Rahmah, gimana kabarnya?” Aisyah mencium tangan kakaknya dengan takzim. Akupun melakukan hal yang sama sambil tersenyum.

“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah, kamu sudah selesai kuliah?. Gimana kabarnya Salma? Udah lama nggak ketemu ya”. Kak Rahmah masih mengingatku.

“Alhamdulillah Kak, aku baik”.

“Dedeknya mana kak?” Tanya Aisyah ketika tidak melihat dedek bayi di situ.

“Lagi diperiksa sama dokternya di ruang anak, bentar lagi juga di antar. Abangmu yang mengikutinya ke sana. Takut dedek bayinya ditukar, katanya ha ha ha”. Kak Rahmah tertawa geli. Aku dan Aisyah juga.

Tak lama pintu di buka, perawatnya masuk sambil menggendong bayi Kak Rahmah. Belum sempurna pintu tertutup seorang cowok masuk. Kami saling bertatapan dengan kaget.

“Kamu…”

“Kamu…”

Serentak kami saling tunjuk.

“Eheemm…eheemmm...Aisyah muncul usilnya.

“Sepertinya Bang Alfin harus segera menyediakan al-Qur’an yang bagus untuk jadi mahar sungguhan…hehehe…” Aisyah menggoda. Alfin senyum sambil tetap memandangku Aku tersenyum malu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post