Tuti Rodiah

Belajar sepanjang hayat, Bekerja selagi kuat, berpirkir secara cermat. Mengajar di SMP 205 Jakarta lulusan IKIP Jakarta tahun 1996 jurusan Bahasa dan Sastra Ind...

Selengkapnya
Navigasi Web

Hemodialisis

Sirine ambulan meraung memecah dinginnya hujan. Sore itu, lebih tepatnya maghrib, aku membawa suamiku yang sudah terbujur kaku dari rumah sakit. Aku duduk di depan dengan Pak supir, sementara jenazah suamiku ditemani seorang petugas kamar mayat. Sepanjang perjalanan kilat dan guntur bersahut-sahutan menambah pedih hatiku.

" Pak, matikan suaranya," pintaku pelan. Pak Supir mengangguk sambil mematikan sirine. Aku menarik napas perlahan. Berat rasanya menghadapi semua kejadian ini. Mengingat tiga anakku menunggu di rumah. Aku hanya membawa jenazah ayah mereka.

Tidak biasanya tadi siang, aku begitu sibuk di kantor. Padahal biasanya pukul dua belas tepat, kami sudah sampai di rumah sakit. Enam jam suamiku menjalani hemodialisis. Seminggu dua kali, setiap Senin dan Kamis, kegiatan itu rutin dilakukan suamiku. Kedua ginjalnya sudah tidak berfungsi karena itu dia harus cuci darah. Sudah enam bulan kami jalani. Aku tetap bertahan mengantar suamiku. Sementara suamiku sudah terlihat lelah. Semangatnya mulai menurun. Seperti siang tadi, Kami berangkat ke rumah sakit terlambat. pukul dua siang kami baru sampai. Baru setengah jalan proses hemodialisis, dia sudah minta berhenti. Kulihat suamiku gelisah.

" Mas, lanjutkan yah HDnya," kataku merayu suamiku sambil kuusap-usap tangannya yang masih terhubung dengan selang dan alat hemodialisis. Suamiku mengangguk pelan. Aku memanggil perawat untuk meminta prosesnya dilanjutkan. Suster mengangguk sambil menghampiri kami. Namun belum satu jam, suamiku minta berhenti lagi. Padahal waktu maghrib sebentar lagi tiba. Tapi melihat suamiku yang gelisah, aku minta perawat untuk menghentikan lagi. Perawat berlalu sambil setengah kesal. Aku maklum karena seharusnya pukul enam sudah selesai.

Aku pandangi suamiku, berharap dia melanjutkan HDnya. Tapi dia hanya menunduk. Namun sekilas kulihat suamiku tersenyum sambil memandang ke depan. Kupikir perawat kembali menghampiri kami. Aku memutar kepalaku melihat ke arah suamiku sedang melihat. Tidak ada siapa-siapa di depan kami. Hanya sekilas aku kembali melihat ke arah suamiku. Dia sudah bersandar lemas ke kasur sambil menutup matanya. Aku berteriak panik memanggil suster. Untungnya pasien lain sudah selesai proses HD. Tinggalah aku dan suamiku. Dua Perawat berlari ke arah kami. Tak lama dokter jaga pun melihat kondisi suamiku. Aku melihat kesibukan dokter dan perawat dengan isak tertahan. Berbagai upaya dilakukan untuk membangunkan suamiku, termasuk kejut jantung. Setengah jam usaha mereka sia-sia. Tak berapa lama azan maghrib berkumandang.

" Bu Ihklaskan, suami Ibu sudah tiada," kata dokter pelan.

" Innalillahiwainailaihirojiun," sahutku pelan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Maaf ibu Hemodialisis nopo Hemadialisis

08 Feb
Balas

Oh iya Bu, harusnya pake o. Terima kasih koreksinya.

08 Feb
Balas



search

New Post