Tutut Umul Habibah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Sangat Bosan dan Melelahkan

Sangat Bosan dan Melelahkan

Banyak orang menunggu giliran menukarkan uang berharganya dengan sebuah tiket keberangkatan pesawat. Sinar matahari yang mulai nampak merah tua mengantar angin malam dingin di bandara. Menunggu keberangkatan terakhir pukul 8 malam, tak membuat bandara itu sepi dari para pemesan. Benar-benar malam yang terasa sangat panjang.

Cukup banyak pasang mata mulai lelah mengusutkan pandangan. Terdengar beberapa suara setengah samar, cukup membuat beberapa orang jengah menunggu. Suara penundaan beberapa penerbangan akibat cuaca buruk di pelbagai tempat tujuan. Semua hati terlalu sibuk menghibur diri di saat-saat membosankan itu. Mencari cara yang sangat mudah untuk membuat semuanya terlalu singkat dilewati.

Berbagai macam jenis hiburan mulai disuguhkan menghibur kepenatan. Mulai dari plasma TV panjang, menampilkan gambar-gambar dan tidak sedikit mendapat perhatian. Suara lantunan lagu juga mulai membuat suasana terdengar lebih menyenangkan. Gerakan irama tubuh mengikuti beberapa irama mulai terlihat saat menikmati lagu. Walaupun tak terlalu tampak seperti sebuah gerakan dansa. Hanya beberapa pasang sepatu memulai ketukan di lantai porselin, sangat selaras nan berirama. Pengeras suara teraktif keluar menghentikan sejenak kegiatan, mulai menunda acara menyenangkan beberapa orang itu. Beberapa pemberitahuan jadwal pemberangkatan dan berbagai tips-tips ringan dalam sebuah perjalanan.

Rabu, minggu ketiga. Menanti sebuah perjalanan. Entah ini hanya sebuah perjanalan biasa atau perjalan hidup seseorang mengkahiri dan memulainya dengan hal baru. Berfikir sebuah kisah tak akan pernah berakhir sebelum seseorang itu sanggup berlari jauh meningggalkan semuanya. Berfikir menemukan tempat berlabuh seraya menumpahkan semuanya sampai tak pernah akan lagi memendam dan mengingatnya. Mungkin terkesan terlalu berlebihan dalam menyelesaikan sebuah kisah. Tapi terasa sudah tak sanggup melakukan apa-apa lagi selain itu. Anugrah ketabahan tuk berani memendam masalah hati dirasa tak mampu menahan gundah jiwa. Akal sehat hanya menahan sebuah perasaan agar tak selalu hanyut dalam lamunan. Mungkin itulah yang pantas menjadi alasan kenapa mesti seperti itu.

Antrian yang panjang membuatnya harus menunggu lebih dari beberapa jam. Kelelahan hinggap di kakinya, harus membuatnya keluar dari antrian panjang untuk sementara. Sambil memukul-mukul bagian bawah kakinya yang terasa nyeri, mencoba tuk mengusir pegal-pegal yang dirasakan. Kembali menuju sepanjang kursi kosong tempat dimana dua sahabatnya sedang menunggu sambil asyik mengobrol. Dua sahabat dekatnya yang menyempatkan waktu luang untuk mengantarnya ke bandara. Dua sahabat yang selalu membantunya mengatasi hal-hal berat yang terjadi akhir-akhir ini. Dua sahabat yang saking asyiknya mengobrol sampai tak menyadari kehadirannya.

“ AAaahh…. Lega rasanya …..”, serunya^ puas saat menikmati kembali tempat duduknya yang sempat ditinggalkannya beberapa jam untuk bergabung dalam antrian membosankan.

” Kakiku terasa pegal harus menunggu.....”lanjutnya ringan. ” Berdiri cukup lama membuat kakiku terasa seperti besi tua karatan.” keluhnya sambil terus memukul-mukul kakinya yang terasa pegal-pegal.

“ Hey….!! Apa yang kau lakukan disini….?” Seru Rey dengan mata membelalak keheranan.

Peristiwa serupa dan sering kali terjadi. Satu pihak ingin lebih menyederhanakan suasana dan beberapa yang hanya membuatnya sedikit menjadi lebih rumit. Saat perhatian itu dirasa terlalu berlebihan.

“ Apa sudah kau dapatkan tiketnya....” Tanya Rey terus tanpa berhenti lepas dari keheranannya.

“Belum……”

“Apa kau bilang!”

“Masih ada 2 jam lagi.” Jawabnya saat melihat penunjuk waktu di pergelangan tangannya^.

”Kalau kau keluar, kapan kau akan mendapatkannya? Jangan-jangan malah kehabisan saat kau sadar.”

“Aku akan kembali lagi kalau sudah kosong…” lanjutnya^ santai.

”Kosong katamu..!!!” sela Rey dengan nada tinggi keheranan.

”Ah sudahlah....dasar kau ini.....”seringai Rey penuh kesal dengan kelakuan menyebalkan.

Fabio menikmati pertunjukan kedua sahabatnya. Dengan senyum ringannya memahami kerinduan di berbagai peristiwa. Sering saja berdebat dengan beban-beban sepele, mulai dari ukuran sepatu sampai tokoh politik idaman. Sifat keduanya tak pernah berubah dari semasa remaja. Walaupun berbeda kelas, komunikasi mereka lebih dari seorang teman. Saling bertolak belakang dengan keadaan sebenarmya. Senyum Fabio terhenti sejenak saat melihat wajahnya^. Masih saja tetap sama tanpa ekspresi sedikitpun. Wajah yang berusaha bersikap tenang seperti tak pernah terjadi sesuatu. Wajah yang sanggup menyembunyikan kepedihan begitu dalam dengan berbagai lelucon konyol. Wajah yang selalu berusaha ingin tersenyum walaupun hatinya ingin menangis.

Bangku panjang berwarna biru muda dimana masih tersisa 2 tempat kosong, mereka hanya terdiam terpaku dengan pandangan masing-masing. Lalu lalang bandara cukup ramai, tak mengundang perhatian mereka untuk ikut serta menikmatinya. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Ekspresi diam yang mereka tunjukkan seperti berusaha memahami sesuatu. Mencoba memahami jalan pikiran masing-masing. Selalu saja tak pernah sama dengan apa yang tampak dari sisi luarnya. Menghela nafas dalam dan panjang, seolah detik-detik saat ini segala sesuatu harus benar-benar dipikirkan sebelum terucap.

Lampu taman bandara terasa redup diantara puluhan pasang mata yang melihat. Terkesan jauh dari penerangan seperti yang diharapkan fungsinya. Nampak kerlip lampu dari kejauhan seperti kunang-kunang bertebaran. Mata seperti berkaca-kaca terpantul lensa kaca berair, hanya bisa diam terpaku tak bermakna. Memandang kejauhan gelagat pikiran seorang sahabat dengan memendam hati ingin bertanya. Akankah selalu menjadi penghias waktu yang terbuang sia-sia. Membiarkannya berlalu seolah hari esok tak akan menemui hal yang sama. Atau membicarakannya sampai puas hingga hati ini merasa lebih baik. Entahlah!

”Kalian membuatku bosan.....” kata Rey tiba-tiba. Berdiri dari tempat duduk yang membuatnya gerah dengan sedikit menghentak badan. Berusaha memecah suasana dan mengawali semua kediaman yang tidak menyenangkan itu. Menghempaskan kekesalan saat menarik nafas dalam-dalam.

”Aku akan mencari secangkir kopi hangat.”

”Tepatnya di ujung kiri lorong, tapi kau harus memutar cukup jauh.” Terang Fabio

”Kalian.....? ”

”Ya..ya..tidak pakai gulakan....” lanjut Rey kembali memakai topi hitam yang ia letakkan di sandaran kursi panjang itu. ”Diam saja terus, sampai kepala kalian meledak. Dasar dokter gadungan” ledek Rey jengkel melihat tingkah dua sahabatnya. Sangat acuh.

Rey kembali memakai sweater cukup tebal tersandar tak jauh dari tempatnya duduk. Ingin sekali terlibat untuk menghibur sahabatnya yang mungkin sangat membutuhkan banyak kata-kata menenangkan hati. Terlihat tidak terlalu menghiraukan semua hal yang membuat dada terasa sesak untuk terlibat. Wajah, sikap dan hati tidak akan pernah selalu sama menangagapi semua masalah. Waktu yang ada tidak pernah puas dengan cerita atau ungkapan hati. Bisu dan tampak tenang selalu saja menjadi penentu sesuatu yang hampir hilang dibaliknya. Kebisuan yang selalu bebas mentertawakan kisah-kisah itu.

Seseorang dengan wajah agak kesal itupun berlalu begitu saja. Dan beberapa saat sosok laki-laki berpakaian rapi akhirnya hilang dari ruang tunggu. Beranda putih redup mulai sepi dari keramaian pemesan tiket. Mencari sebuah kedai kopi yang menjadi sasaran para pengunjung disaat mulai bosan dengan suasana-suasana tertentu. Mungkin tempat-tempat seperti itu sekarang sudah ramai. Suasana saat ini sepertinya sangat mendukung untuk hal semacam itu. Tempat si penyeduh kopi hangat yang sebenarnya tak jauh dari tempat mereka duduk, harus memutar cukup jauh akibat perbaikan lantai dasar yang rusak. ”Silahkan Anda Memutar Di Lorong Sebelah”. Anjuran yang sopan tapi benar benar sangat menjengkelkan.

”Sifatnya masih tetap sama ya.....” katanya tiba-tiba melihat sosok Rey yang mulai hilang di belokan lorong panjang memutar itu.

”Mudah marah.....”

”Mudah tersinggung.....”

”Tidak sabaran....

”Dan....mudah sekali jatuh cinta....hmm...” lanjutnya sembari tersenyum akan sesuatu tentang sosok Rey. ”Benar-benar seperti anak kecil......”.

”Apa kau tak bisa menundanya......”tanya Fabio menghentikan senyum padatnya^.

”Apa tak ada lagi yang bisa membuatmu tinggal....”terus Fabio melihat ekpresi wajah sahabatnya yang tak pernah ia mengerti.

Terlalu cepat membelokkan arah pembicaraan. Yang saat semula hanya membicarakan hal-hal mudah, menjadi terlalu sulit dan membebani hati. Cukup sulit lidahnya^ menjawab. Apakah dengan bualan seperti yang biasa ia lakukan bisa membuat Fabio berhenti bertanya. Hatinya tak cukup teguh menjadi seorang laki-laki dewasa yang bijak dalam menyelesaikan masalah. Sangat rapuh saat orang menanyakan bagaimana suasana hatinya saat ini. Apakah waktu akan membuatnya sedikit lebih baik atau hanya membuatnya semakin terbebani.

”Dulu sempat ku berfikir, mendekati dan memulai berbicara dengan orang yang membuat jantung kita berdebar adalah hal yang paling sulit dilakukan” jawabnya saat memandang langit-langit bandara. Entah apa sebenarnya yang ia lihat.

Terdiam sejenak dengan menghela nafas cukup pelan dan dalam. Terlihat nafas dalamnya seolah terputus. Menghempaskannya sangatlah sulit dan hanya membuat dada terasa sesak menyakitkan. Alasan yang selalu diberikan hanya membuatnya semakin jauh dari kejujuran yang ada. Seolah berusaha ingin menyakinkan hati ini untuk teguh menjawab ala kadarnya. Setiap kata yang terucap membuat lidah kaku menjilat dan membohongi setiap kata. Apakah semua kebenaran harus selalu dikatakan hanya untuk menggantikan semua pernyataan. Atau pernyataan yang terucap sudah cukup mewakili hati yang terbawa kepedihan.

”Melupakan orang yang benar-benar kita sayangi ternyata jauh lebih sulit ya.....”terusnya dengan senyuman kecil memendam kepedihan.

Senyum kecil mengisyaratkan kepedihan yang benar-benar membuat putus asa. Senyum kecil yang selalu ingin ia tunjukkan pada semua orang bahwa dia baik-baik saja. Senyum kecil yang selalu dipakai untuk menutupi semua yang terasa berat dan menyesakkan hati. Senyum kecil yang terkesan jauh dari kebenaran akan sebuah perasaan bahagia. Senyum yang selalu ada di saat hati gundah benar-benar sangat membutuhkannya.

”Rasanya semakin lama semakin berat saja.....”.keluhnya memendam

Waktu yang menunjukan pukul 7 malam membuatnya harus mengakhiri pembicaraan itu. Mulai berdiri dan berkata ”aku antri dulu ya....” menuju baris antrian yang kini hanya tersisa 2 orang. Fabio yang terus memandang sosok sahabatnya itu hanya bisa diam terpaku memahami semuanya. Persabatan keduanyalah yang mungkin membuat Fabio hanyut ikut merasakan keputus-asaan itu. Fabio merasa semua usaha yang dilakukan membantu sahabatnya menempuh kegagalan nyata. Membuat sahabatnya ingin lari dan meninggalkan semuanya.

Waktu terus berjalan. Di keheningan malam senyum-senyum mulai terasa hambar. Apa yang sanggup diharapakan dari pertemuan itu. Mengenangnya atau membebaninya. Yang jelas berharap bisa merelakannya adalah pilihan paling tepat. Antri dan termenung itulah mungkin kisah cinta. Melihat, memendam semua kegagalan dan kepedihan tak seperti yang diharapkan atau hanya seperti Rey yang berlalu dan terus berjalan membiarkan semua terjadi seperti semestinya.

Cafe sederhana dengan kios kecil yang berada dipusat tengahnya, menghentikan langkah Rey yang berjalan cukup jauh saat memutari belokan-belokan bandara. Berjalan melewati beberapa celah meja bundar tempat beberapa orang menikmati hidangan cafe. Menuju pusat pelayanan tempat sederhana yang tampak seorang wanita muda sedang asik melayani para pelanggan. Tangan terampil si wanita muda memainkan keahliannya dalam menyeduh kopi sesaat sempat mencuri perhatian Rey. Wajah takjub itu tak bisa disembunyikannya. Sesaat mengalihkan perhatiannya setelah melewati masa-masa sulit yang dilaluinya dengan para sahabatnya. Melewati masa-masa sulit saat memperbaiki suasana hati seseorang sahabat.

”Pesan apa mas......” tanya si pelayan muda.

”Tolong cofee cupnya tiga ya mbak......”

”Oh ya, yang dua tidak pakai gula ya......”lanjut Rey yang diikuti anggukkan si gadis muda itu.

”Kencing manis ya mas.......” tanya gadis muda setengah meledek.

”Heh....apa mbak.....”gaya Rey yang seolah tidak mendengar pertanyaan yang cukup keras dan jelas itu.

”Huh dasar.... pura-pura tuli.” batin si pelayan.

Senyuman kecil Rey keluar seolah mengerti apa yang dipikirkan oleh si pelayan muda itu. Pertanyaan itu hanya sedikit sulit dijawabnya disaat-saat seperti ini. Ingin sekali Rey ikut bergabung menikmati hal-hal konyol yang baru saja terjadi. Melihat paras si penyeduh kopi seharusnya membuat seorang laki-laki penasaran setengah mati. Siapa yang tak mungkin tertarik dengan dandanan seperti itu. Tampak sangat anggun bahkan terkesan seksi. Sesekali mata Rey tergoda dengan senyuman si pelayan seksi itu. Gaya nakal Rey yang sering tergoda dengan bualan-bualan semu. Gaya yang selalu diharapkan agar semua masalah hati dapat berlalu dengan mudah saat bersikap seperti itu.

”Kalau dengan pelanggan apa harus seperti itu mbak.....” tanya Rey tiba-tiba.

”Heh?, maksudnya apa mas.....”

”Itu tu.....”

”Itu apanya mas.....”

”Kalau tersenyum seperti itu nanti bisa membuat orang patah hati loh....” Rey yang memulai sebuah percobaan keberuntungan untuk berkenalan dengan seseorang.

”Ah....bisa saja.....” si gadis tersipu setengah malu.

”Apa masnya pernah patah hati gara-gara senyuman....” tanya si gadis dengan senyuman yang masih menempel di bibirnya.

Wajah setengah bingung hampir membuat Rey kehilangan keberanian membalas.

”Ng..nggak mbak.....” elak Rey singkat.

”Kok bisa paham benar akan hal itu......”

”Buat apa mbak patah hati.....he...he...” senyum konyol itu mulai keluar dan membuat suasana menjadi lebih santai.

”Tapi sahabatku sering mengalaminya mbak, dan mungkin beberapa orang juga pernah mengalaminya” imbuh Rey. ”Sering melihat beberapa menjadi jarang makan dan sulit tidur, bahkan sampai enggan melanjutkan sisa hidup.”

”Terus apa kaitannya......” sela gadis seolah tidak mengerti apa yang menjadi pernyataan Pria muda kenalan barunya.

”Orang selalu saja ingin tersenyum saat hatinya merasa bahagia dan puas....”tegas Rey tanpa melihat lawan bicaranya itu. ”Tapi apa pernah kita sadari saat senyuman itu hanya digunakan untuk menghibur diri ataupun orang yang ada didekatnya. Rasanya sedih mengetahui hal itu sering dilakukan seorang sahabat hanya untuk menghibur kita. Benar kan....”.

Si gadis pelayan tak mengerti arah pembicaraan kata-kata yang diungkapkan Rey. Menganggap seolah lawan bicaranya bukan gadis si penyeduh kopi ini. Entah siapa yang dimaksud pastilah orang yang diharapkan dapat mendengar curahan hatinya itu. Tapi yang jelas apa yang sempat terucap membuat si gadis merasakan sebuah kepedihan yang dihadirkan dalam sebuah senyuman. Ingin rasanya tahu apa dan siapa yang sangat memendam kepedihan seperti itu. Menuangkan kopi ke dalam sebuah cangkir memang mudah, tapi menjaga agar rasanya bisa membuat orang sangat menikmatinya adalah perkara lain yang harus dengan sangat berat diperhatikan.Tersenyum memang tidak terlalu sulit dilakukan tetapi apakah pernah terpikir akan membuat semuanya menjadi lebih baik.

”Dan sangat tidak mengenakkan saat orang itu tersenyum pada kita, kalau hatinya benar-benar tak ingin tersenyum.....” lanjut Rey setelah gadis mulai terlihat setengah paham.

”Oooh jadi senyuman palsu akan membuat orang terluka ya.....”

”Padahal senyum seperti itu terkadang bisa membuat orang lain tenang dan menikmatinya kok....”si gadis yang berpendapat lain akan sebuah senyuman.

”Bukan masalah palsu atau bukan.” menyela anggapan akan sebuah senyuman yang dianggap selalu menguntungkan suasana hati. Menyelanya cukup tenang dengan sangat jengkel karena harus menghadapi hal yang tak menyenangkan itu berkali-kali.

”Terkadang sebuah senyuman menandakan sebuah harapan.” tegas Rey.

”Harapan yang benar-benar sangat diharapkan.....” mengatakannya dengan penuh makna. Entah siapa yang pernah berfikir harapan itu akan ada jika orang itu ingin berusaha merelakannya. Dan entah sebuah balasan atau hanya sedikit waktu yang seolah-seolah itu sebuah harapan yang terbalas

”Dan harapan itu sering hilangkan.....” imbuh si gadis.

”Kalaupun itu hilang, pasti harapan itu sudah pernah ada mbak....”

”Dari semula harapan itu memang tidak ada mbak.....” wajah Rey yang seolah ikut berkata bersama isi hati. Mata yang tak pernah berkaca-kaca dengan masalah roman ternyata bisa melakukannya hari ini. Menganggap semua yang hadir dalam senyuman terkadang adalah sebuah harapan yang tak pernah ada. Bahkan memang bukan untuk pernah ada.

”Dan satu pihak tidak pernah menginginkan itu ada.....” Rey melegakan hati dengan berusaha berbicara sejujur-jujurnya pada teman lawan bicaranya yang baru, si gadis penyeduh kopi.

Pembicaraan keduanya seolah telah mengenal satu dengan lain begitu sangat dekat. Sampai terlalu berani membicarakan hal yang terlalu intim tentang masalah hati. Pembicaraan yang tak seharusnya ada di tengah perkenalan singkat. Baru saja termulai beberapa saat sudah membuat berpikir terlalu berat. Seharusnya hanya sebuah pembicaraan tidak bermutu yang akan hilang dengan sendirinya saat kesempatan itu berakhir. Hati serasa ingin sangat menutupi apa yang telah terdengar cukup menyakitkan. Memikirkannya kembali pasti menjadikan hati penasaran yang berlebihan.

”Ini pesanannya......” kata si gadis ringan.

”Berapa semua mbak......” balas Rey ringan.

”12 ribu.....”

”Ambil saja kembaliannya....”

”Ta...tapp....”

”Sudah.....Anggap saja sebagai tips karena sudah mendengar isi hati.....”

”Terima kasih banyak ya.....”

”Ya sama-sama....”

”Oh iya mbak.....”serunya saat berbalik memandang sang gadis penyeduh kopi.

”Emilya kan.....”menunjuk si gadis dengan setengah menebak nama yang mungkin disandangnya.

”Ii...iiya....”mengerlingkan mata curiga dengan pernyataan itu.

”Kok bisa tau sih.....”tanya si gadis penasaran.

”Mirip sih.....”

”Jangan buat laki-laki patah hati ya mbak......” tegas Rey seraya tersenyum lega memandang gadis dengan wajah setengah kebingungan itu. Sama sekali tak pernah mengerti dengan tingkah laku Rey. Tingkah laku lelaki asing yang baru saja dikenalnya itu. ”Ah Sudahlah...... terima kasih ya mbak.....”

Lelaki berambut agak jabrik itupun akhirnya meninggalkan cafe dengan hati yang sedikit lebih lega. Tapi apakah pernah ia sadar telah meninggalkan kisah yang membuat orang lain benar-benar bertanya-tanya. Meninggalkan sepenggal kisah kepada si penyeduh kopi yang menerima hukuman hanya karena ia tersenyum. Andai si gadis tidak pernah tersenyum padanya, mungkin tidak akan terlalu membuka hati seperti itu. Raut si gadis ternyata seperti tak bisa tinggal diam dengan ocehan pria yang dirasa menyebalkan itu. Beranggapan pria hanya akan meninggalkan kisah buruk pada hati banyak gadis. Sampai sejauh ini, ternyata masih ada yang bisa membuat hati dan perasaan terasa ikut hanyut terbawa terlalu jauh.

Membawa tiga cup yang di pesan dengan mencurahkan berbagai isi hati. Melewati beberapa lorong bandara dengan hati yang terasa masih terbebani. Beranggapan terlalu kejam meninggalkan sebuah kisah hanya untuk mengungkapkan isi hati. Mungkin seharusnya dipendam sampai semuanya tak tertahan lagi. Tapi seolah-olah tidak mampu menahannya walaupun terdengar sangat mudah melakukannya.

Kembali ke ruang dimana masa-masa sulit akan terasa panjang terlewati. Ruang dimana Rey dibiarkan acuh dengan kebingungannya saat memahami kebisuan para sahabatnya. Ruang yang hanya terukir dengan suasana hati yang tidak pernah menentu. Membawakan secangkir kopi dengan harapan dapat menghangatkan suasana bicara. Tapi entah terasa terlalu takut menyakini sesuatu yang diharapkan benar itu. Mungkin terlalu banyak kisah sedih yang hadir dan membuat setiap usaha terasa seperti percuma.

”Kau sudah bicara dengannya.....” tanya Rey tiba-tiba. Kedatangan Rey yang tiba-tiba membuat Fabio tersentak untuk berhenti menatap sahabatnya yang sedang lelah bediri mengantri.

”Cepat minum kopinya....nanti keburu dingin.” pinta Rey saat meletakkan dua kopi pesanan di atas kursi kosong pengganti meja.

”Keputusannya sudah bulat kali ini....” jawab Fabio sesaat akan menikmati kopi pesanan itu. Meminum kopi dengan sangat hati-hati dan berharap bisa menikmati cita rasa kopi yang dikabarkan nikmat oleh semua orang itu. ”Kopi Arabica” kualitas pertama seharusnya bisa membangkitkan cita rasa setiap yang mencicipinya. Tapi seolah Fabio hanya bisa menikmatinya seperti kopi kualitas biasa-biasa saja. Tidak nikmatkah kopinya...??, atau memang rasa gelisah hati yang membuat cita rasa kopi hambar untuk dinikmati.

”Dasar keras kepala....”. sahut Rey tentang sosok sahabatnya yang sedang berdiri urutan terakhir di baris antrian.

”Dari luarnya saja tampak tegar, tampak bersemangat.....padahal sangat rapuh” tegas Rey tentang sahabatnya itu. ”Ingin saja kupukul kepalanya.....agar tak bisa mengingat apa-apa lagi”.

Keduanya hanya bisa terdiam menunggu semua ini. Menikmati kopi kemasan cup dengan terus saja memikirkan hal-hal yang ingin diungkapkan. Sesekali mereka memandang antrian yang tidak begitu panjang itu dengan terfokus pada ekspresi sahabat mereka. Menangkap semua kepedihan yang berusaha ditutupi dengan senyuman. Tak lama berselang antrian yang tidak begitu panjang itupun akhirnya ia^ tinggalkan. Kembali kedekat para sahabatnya dengan terus melihat seri nomor tempat duduk yang telah di pesan.

”Katanya penerbangan ditunda 30 menit lagi.....”serunya saat menghampiri kedua sahabatnya itu. Mulai memasukkan tiket ke saku jaket yang ia sandarkan pada tepi kursi. ”Ini pesananku ya.....”

”Kuharap ditunda selamanya.....” ejek Rey menghentikan aksi sahabatnya yang seolah-olah ingin tampil tegar.

”Dasar kau ini.....kau membuat semua seolah bertambah rumit saja”. Lanjut Rey saat menghabiskan sisa kopi yang terasa kurang nikmat itu.

”Kopinya nikmat juga......” elaknya seolah tak menghiraukan apa yang terucap oleh Rey.

”Apa kau selalu seperti ini....”tanya Rey singkat.

”Selalu mengalihkan pembicaraan......”lanjut Rey.

Memberikan isyarat diam atas kebingunggan yang ada di balik tempurung tengkorak kepalanya. Tak satupun kata menenangkan jiwa sempat terpikir oleh hati yang bertanya-tanya. Tak satupun sikap bijaksana pernah terputuskan oleh keraguan yang pasti. Menyadari kesalahan yang sering ia lakukan berulang kali. Kesalahan yang sebenarnya tidak pernah ia berminat untuk melakukannya. Kesalahan yang selalu membuat semua sahabat dekatnya sangat jengkel menikmatinya.

”Aku sudah benar-benar bosan dan lelah....”jawabnya setelah terdiam cukup lama.

”Hanya tidak ingin semuanya merasa bertanggung jawab dengan suasana hati ini...”tegasnya mengharap kedua sahabatnya mengerti.

”Toh aku juga tidak pernah menghibur kalian kan.....”

”Kenapa harus bersusah payah menghiburku....he..he...”lanjutnya tersenyum dingin melihat kedua sahabatnya.

Kedua sahabatnya semakin merasa sangat gagal setelah apa yang sempat dikatakannya^. Terlintas dalam pikiran mereka ”masih adakah cara untuk membuatnya sedikit merasa lebih baik. Berulang –ulang kali mencobanya seakan membuat semuanya bertambah buruk saja. Selalu saja melepas senyum dan sengaja membuat semua tampak kacau.

”Aku tahu semua yang kami lakukan tidak akan pernah membuatmu merasa lebih baik.....”tiba-tiba Rey berkata.

”Tidak ada satupun kata dari kami yang bisa membuatmu terhibur.....”lanjut Rey

Bingkai kesedihan mulai terukir di ruang berukuran cukup luas, dimana tempat orang-orang nyaman untuk menunggu penundaan penerbangan. Suasana malam yang mulai dingin terasa seperti menusuk hati dan membuatnya semakin parah. Entah berapa dalam seseorang akan memendam perasaan yang teramat pedih. Sangat mudah membicarakannya sampai terasa terlalu meremehkan dan mempermainkan hati. Perjalanan sebuah persahabatan tak semulus yang pernah ada di saat semua terlihat baik-baik saja. Hanya mencaba untuk menghibur salah satu yang terluka. Atau hanya akan membuat yang terluka semakin terluka.

”Apa pernah kau berfikir untuk melakukan hal yang sama saat satu diantara kami yang mengalaminya....”tegas Rey

”Apa kau akan sanggup hanya diam saja, jika satu dari kami menjadi sepertimu saat ini....”.

Seperti Biasa hanya bisa terdiam menghadapi berbagai pertanyaan yang terasa menekan. Degup setiap aliran darah terasa sampai ke saluran perifer terkecil. Membuat tubuh terasa dingin menggigil takut setengah mati. Berharap saat ini jantungnya berhenti berdegup sesaat dan memulai detaknya lagi dengan kisah baru tanpa mengenal kenangan silam. Pertanyaan yang terlalu berat saat dimana hati ini hanya ingin diam dan diam. Pertanyaan yang mengikat lehernya terlalu kuat dan tidak beraturan. Pertanyaan yang seolah menjawabnya adalah hanya sebuah hal menyakitkan. Berharap pertanyaan itu tak pernah terlontar atau didengarnya.

Seperti biasa menunggu penuh kesabaran balasan dari hal yang pernah terucap. Menunggu yang terluka itu angkat bicara dan dengan berani membentak keadaan yang terasa canggung. Menunggu mata yang terluka itu berani untuk menangis meratapi semuanya sampai hatinya merasa lega. Menunggu sikap ragu yang menggores begitu dalam sempat melakukan keputusan yang tepat disaat kebimbangan menutup hatinya. Menunggu menjadi sahabat yang cukup baik di mata seorang pemegang teguh sebuah kisah hati.

”Sudahlah......” keluhnya memelas.

”Tolong jangan menambah beban ini lagi......” meminta penuh harap.

”Kulakukan semua ini bukan berarti aku ingin meninggalkan semua yang pernah ada.....”. masih saja berharap agar sahabatnya lega mendengar yang terucap.

”Aku harus melakukan sesuatu......”

”Setidaknya aku masih dapat berharap bisa memperbaiki semua ini.....” suara lirih itu keluar dengan terdengar sangat jelas apa yang diinginkan maksud hati.

Terlalu cepat kisah cintanya menekan perasaan tulus yang pernah ada. Terlalu cepat semuanya berbicara seberapa parah hati ini terluka. Terlalu cepat menanyakan seberapa sanggup menahan dan memendam perasaan itu. Akankah usaha yang dilakukan terasa sia-sia seperti hanya berdiam diri menerima kenyataan. Atau berdiam diri adalah suatu usaha terakhir yang pantas dilakukan. Hanya saja semuanya akan lebih mudah jika dibiarkan berlalu begitu saja tanpa terbayang pernah sedetikpun memikirkannya. Menghindari hal-hal yang dirasa hanya akan mengingatkan kenangan pedih dan membuat hati ini nelangsa. Meninggalkan semua tanpa harus lagi melukai beberapa pasang hati yang sengaja terlibat.

Sesaat ekpresi beraut pucat tidak ingin ditampakkan keberadaannya. Memunculkan senyum kelegahan saat menarik nafas dalam-dalam. Menganggap telah memenangkan detik–detik yang terasa berat. Menghilangkan semua kebisuan yang sering kali tidak membuat hati ini nyaman. Tidak ingin berlanjut dalam kesedihan yang hanya akan membuat sahabat karibnya ikut memendam. Dirasa telah cukup usaha yang pernah dilakukan seorang sahabat membantu mengobati hati ini. Walaupun hati ini masih saja terluka sejak pertama kali terluka.

”Maafkan aku ya.....

”Aku tidak pernah mengerti dengan perasaan ini.....

”Kalian jangan terlalu memaksakan diri....

”Semestinya kalian jalani saja kesempatan yang masih ada.....

”Berdua dengan kekasih hati dan pilihan hidup kalian, coba jalani anugrah kalian dengan semestinya.”

Menata hati saat ingin berucap yang semestinya. Pantaskah meninggalkan semuanya hanya karena hati ini merasa sudah tidak mampu lagi. Siapakah yang bertanggung jawab atas semua ini. Ingin rasanya teguh berpaling tak menghiraukan semua tangan yang menahan. Melenyapkan semua cerita yang membuat angin lalu ingin terbang bersamanya. Berharap langkah akan begitu pasti menapak setiap menghapus semua jejak yang sempat terlewat.

”Kalian tahu.....” katanya tiba-tiba.

”Ini pertama kalinya aku naik pesawat.....” lanjutnya santai.

Ekspresi kedua sahabatnya itu hanya sanngup terdiam mendengar ocehannya. Kedua sahabatnya hanya berfikir itu hanya bualan yang tak bermutu. Bualan yang sengaja ia ciptakan untuk mengelak dari sesuatu yang akan menyudutkannya. Bualan yang selalu digunakannya untuk membalas orang yang sudah banyak menolongnya. Benar-benar ingin menghibur orang terdekatnya tanpa pernah tahu cara menghibur dirinya sendiri.

”Aku harap dapat bertemu seorang gadis cantik......” wajahnya ingin berusaha tampak konyol dengan membual layaknya seorang palyboy kelas teri. Kepalsuan yang dengan terpaksa harus diterima oleh para sahabatnya hanya karena tidak ada seseuatu yang dapat diungkapkan disaat-saat seperti itu.

”Saat duduk disebelahku akan kugoda habis-habisan......” terlalu bersemangat seperti seolah mengenal cinta pertama. Terlalu sering berlagak seperti seorang yang tak pernah terluka akan kisah roman.

”He....he....”

”Sampai gadis itu lelah dan menyerahkan hatinya padaku....”

”Apa semudah itu hatimu akan berpaling.....”sela Rey tanpa ragu menanggapi semua bualan konyol itu.

”He...he....mungkin juga......”balasnya santai

”Mungkin juga ya.....”

”He...he...bodoh....kau ini benar-benar bodoh.....” Rey yang tersenyum kelabu mendengar semua ocehan itu.

Keduanya begitu tersenyum polos. Fabio yang terdiampun akhirnya terlampau lelah dan tersenyum. Seolah semua yang berlalu terasa lebih baik jika bisa tersenyum seperti itu. Terlihat sangat melepas semua yang terasa berat dan tertahan cukup lama. Melepas semua senyum yang tersisa dan tanpa terpikir akan dapat tersenyum lagi atau tidak.

”Kalian lihat ini....” menunjukkan bungkusan berwarna merah setengah muda. Terlihat sangat menggenggamnya terlalu erat dan tidak ingin melepasnya saat ini. Sebuah kotak kecil yang mungkin sangat diharapkan olehnya dan seorang yang bakal menerimanya. Entah apa yang ada dibalik benda menarik berukuran satu kepal orang dewasa itu. Yang jelas sebuah harapan besar terdapat didalamnya. Harapan siapa dan untuk siapa. Untuk apa dan mengapa.

”Untuk gadisku yang baru....he...he...”

”Didalamnya tertulis maukah kau menikah denganku....

”Seru bukan.......”tegasnya lega.

Saling memandang seperti saat-saat ini tak akan pernah terulang lagi. Terlalu menyakini hal seperti itu akan mudah terjadi di masa-masa datang. Terlampau terlalu menyerahkan urusan hati pada nasib yang tak pasti. Apakah itu sebuah harapan atau hanya sekedar alasan menjalani sisa hidup. Suara hatilah yang pasti lebih tahu dan paham. Keinginan hanya menjadi pembatas sebuah garis start untuk berlari meninggalkan kenangan. Setelah melewatinya berharap tidak akan pernah terlintas akan berhenti berlari dimana atau untuk siapa hati akan berlabuh. Lari saja sepuasnya sampai terasa lelah dan tak sanggup lagi.

”Apa sudah kau siapkan semua keperluanmu......”tanya Rey singkat

”Jangan sampai ada yang tertinggal....”

”Termasuk hatimu itu.....he...he....”ledek Rey

”Ha...ha...benar juga ya.....”tawanya memaksa diri.

”Jangan sampai tetinggal.......”

”Tapi mungkin lebih baik kau tinggal saja.....”Senyum Fabio sembari berkata setengah ragu. Kepalanya^ hanya tertegun mendengar yang terucap oleh Fabio. Terasa gemetar seluruh tubuh mulai menghampiri. Apakah hati ini akan sangup melakukannya begitu mudah seperti yang terlihat. Menganggap dunia ini terlalu besar akan perasaan ingin dikasihi. Bahkan terlalu mudah berpaling seperti tak pernah menginginkannya.

”Kau kan tidak perlu mengingatnya lagi.....”

”Untuk apa kau membawanya......”terus Fabio yang sebenarnya tak pernah menginginkan ledekan itu terus berlanjut.

”Benar juga ya......”

”Siapa tahu aku menemukan hati yang baru......”

”Benar kan......”

Entah apa maksud dari semua lelucon itu. Membalasnya dengan tersenyum seadanya. Merasa lega saat para sahabat menghiburnya dengan cara yang berbeda. Tanpa menanyakan hal-hal yang sebenarnya jauh dari keseriusan. Walaupun yang sebenarnya sudah terwakili dengan beberapa lelucon konyol ketiga orang gila itu. Gila karena menganggap semua masalah hati akan mudah terlewati dan hilang begitu saja. Gila karena terlalu lelah dengan semaua masalah cinta.

”Kali ini aku akan pergi jauh......”

”Sangat jauh........” tegasnya sesaat setelah nafas dalam yang sempat diambilnya dan membuat kedua sahabatnya merasa benar-benar terpukul

Jauh” yang sempat terucap membuat bulu kudu kedua sahabatnya terasa merinding berdiri. Pandangan matanya yang menerawang jauh. Membuat kedua sahabatnya merasa sangat sangat gelisah. Berpikir akankah ia^ baik-baik saja pergi dengan keadaan hati seperti itu. Merasa tidak pernah rela dengan keadaan yang seperti itu. Rapuh tak bernyali sedikitpun. Memendam cukup dalam perasaan yang tak pernah terbalas. Membawanya pergi tanpa bertanya apakah sempat terpikir apa maksud hati.

”Kalian ingin oleh-oleh apa...”

Masih sempat-sempatnya mulut itu bergelit. Seolah hanya menunda penderintaan yang akan datang. Melanda perasaan yang tak mungkin pernah bahagia sesaat ke depan. Mengingat perlunya bersenda gurau saling menghibur perasaan. Membalas setiap waktu yang tak pernah serius itu dengan harapan akan merasa lebih baik. Walupun hanya terasa sesaat. Secepat senyum itu muncul dan berlalu.

#BERSAMBUNG#

#TERUS BELAJAR#DS.SUHU

SDN Plemahan 2 sumobito

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post