Ujang suja'i

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Bunga Rumpin Tuk Aripin

Bunga Rumpin Tuk Aripin

Bungan Rumpin Tuk Aripin

                Namaku Ningrum, dan biasa aku di panggil Arum  aku terlahir dari keluarga sederhana ayah ku seorang petani biasa hanya memiliki beberapa petak sawah, dan ibu ku seperti ibu – ibu lainnya mengurus rumah tangga dan membantu suami bekerja di ladang atau di sawah.  Pendidikan ku hanya tamatan SMP karena untuk melanjutkan ke SMA biayanya sangatlah mahal selain itu di desa kami tidak ada SMA jadi  mau melanjutkan ke SMA haruslah ke kota kabupaten dan di sana harus mencari rumah kontrakan ataupu kost. Dibangku SMP aku sangatlah dekat dengan seorang lelaki yang bernama Aripin .

                Aripin  adalah anak orang terkaya di desa,  kami Bapak dan ibunya seorang haji, kebun dan ladangnya sangatlah luas dan berada di mana-mana, begitupun dengan ternaknya tak akan terhitung oleh jari tangan. Ketika kami duduk di bangku SMP setiap berangkat dan pulang sekolah kami selalu bersama-sama, singga lambat laut tumbuh rasa cinta dianatara kami mungkin orang bilang witing tresno jalaran suku kulino.

                Di saat kami berangkat atau pulang sekolah kami selalu bercanda dan tertawa sehingga perjalanan tak terasa jauh. Gardu ronda di batas desa menjadi saksi kami melepaskan penat karena perjalanan, “mau kemana Pin ? “ tanyaku ketika Aripin  beranjak dari duduknya dan pergi ke belakang gardu. “tunggu sebentar aku mau mengambil sesuatu !”. selang beberapa lama Aripin  datang dengan membawa bunga rumpi warna unggu yang sudah dirangakai, “ Diam ya..!” kata Aripin  rangkaian bunga rumpin diikatkan diatas kepalaku, sambil tersenyum Aripin  berkata “ kamu sangat cantik, nanti kalau kamu menikah dengan aku kamu akan memakai mahkota bunga rumpi !” “apaan sih kita kan masih kecil!” jawabku tersipu malu. Setiap membayangkan kejadian itu aku selalu tersenyum antara bahagia dan malu, yaa… itu kejadian tiga tahun yang lalu ketika kami kelas tiga SMP, kini aku sehari-hari hanya membantu ibu di dapur dan mengasuh adik-adiku. Sedangkan Aripin  melanjutkan sekolahnya ke SMA di kota kabupaten

                Sabtu adalah hari yang selalu aku tunggu karena biasanya Aripin  selalu pulang ke desa kami pada hari sabtu, dan hari minggunya kami selalu melepaskan rasa rindu dengan jalan-jalan kadang menyusuri sungai yang berada di desa  kami. Hari itu Aripin  mengajaku jalan ke batas desa dan kami duduk di gardu tempat kami dulu beristirahat sepulang sekolah. “ Arum …!” Aripin  membuka percakapan “ Ya..!” jawabku “ sebentar lagi aku akan mengikuti Ujian Nasional doakan aku ya semoga lancar segalanya “ Aripin  meneruskan obrolannya “ tak usah kau pinta Pin.. doaku selalu menyertaimu “ jawabku sambil memandang gundukan bunga rumin yang tumbuh ditepi jalan. Aripin  beranjak dan dipetiknya bunga rumpin dan diselipkannya dirambutku.

                Setamat SMA Aripin  melanjutkan studinya ke sebuah Universitas yang berada di kota propinsi, semua penduduk desa  sangat banga karena baru pertama anak desa kami yang akan sekolah sampai universitas, mereka memuji Aripin  dan orang tuanya, keluarga Aripin  menjadi kebanggan di desa kami. Keluarga pak haji mengadakan syukuran akan keberangkatan Aripin  untk melanjutkan pendidikannya, semua warga di undang teramsuk keluargaku, saat aku bersalaman dengan Aripin , dia berbisik “ Besok tunggu aku di tempat biasa”

                Hatiku tak menentu menunggu kedatangan Aripin . Selang beberap lama terdengar langkah kaki menghapiri aku, ku tatap wajah Aripin  ada sinar kesedihan di raut mukanya, ia di duduk di sebelahku, dan Aripin  mengeluarkan dua buah buku satu berwarna merah muda dengan tulisan Arum  dan warna Biru bertuliskan Aripin , “ Kita mungkin lama tak akan bertemu, setiap libur semester pasti aku akan pulang, jika kamu rindu tuliskan kerinduanmu dalam buku ini, demikian juga aku” Aripin  menyerahkan buku warna biru bertuliskan Aripin , Aku tak bisa berkata apa-apa tenggorokan ku terasa seret hanya bulir-bulir bening membasahi pipiku. Saat itu kami tak banyak bicara karena merasakan kesedihan akan perpisahan. “ saat aku pulang tanti ku mau Arum  menunggu di sini “  digenggamnya tanganku dengan erat, itu kata terkahir sebelum kami berpisah.

                Enam bulan telah berlalu menurut kabar yang aku terima Aripin  hari ini akan pulang, jam ditangan ku menunjukan pukul 10.00 WIB mataku tak lepas dari jalan di mana Aripin  akan datang sambal menungu aku membuat rangkaian bunga rumpin tuk di kalungkan jika ia datang . waktu beranjak senja hatiku muali gelisah tak menentu yang ku tunggu belum juga datang, rangkain bunga rumpin telah layu di tangan, “ Aripin…!” dalam hela napasku ku sebut namanya. Pikiran ku mulai tak menentu, perlahan aku berdiri mungkin Arpin tak akan kembali, terasa ada air hangat bergulir membasahi pipi ku. Perlahan dengan langkah gontai aku beranjak dari tempat duduk yang ku nati tiada bertepi. Sayup ku dengar suara riuh dari kejauhan, aku mengawasi datangnya suara itu, samar-samar aku melihat sekelompok orang dating, mataku semakin dipicingkan agar penglihatanku jelas, semakin dekat aku melihat mereka mengusung sebuah tandau, aku berdiri tuk memastikan apa yang terjadi.

                Aripin…!” Ningrum menghela nafas panjang  diringi derai air mata, terlihat wajahnya pucat dan matanya  bengkak karena semalaman Ningrum larut dalam tangis dan sedih, ternyata tandu yang dibawa kemarin oleh sekelompok orang adalah jasad dari Aripin. Menurut cerita mereka saat Aripin mengendarai motor pulang ke desanya ditengah jalan motor Aripin bersenggolan dengan sebuah kendaraan mengakibatkan kecelaakaan yang sangat tragis.

                Gundukan tanah merah mengubur jasad Aripin, mengubur semua harapan keluarga, kebaggaan masyarakat dan cinta Aripin, sebagian pengantar belum pulang, Ningrum berdiri terpaku di bawah pohon semboja dengan air mata terus mengalir, Arum  melankah perlahan, rangkain bunga rumpin ia letakan diatas pusaran Aripin. Diambilnya segenggam tanah dan diciumnya dengan tangis yang tertahan, tiba tiba seorang pengantar datang menghampiri Ningrum, “Kamu bernama Arum  kan ? “ tanya orang itu, Arum  menoleh “Ya..!” jawabnya pendek, “Maaf saya kemarin ketitipan buku, sebelum Almarhumah meninggal dia berpesan tolong berikan buku ini pada Arum ”  sambil memberikan satu bungkusan berisi buku dari balik jaketnya. Ningrum mengambil buku tersebut seranya mengucapkan terimakasih dipeluknya buku itu.  Halaman demi halaman Ningrum baca dengan air mata selalu mengalir membasahi  pipinya, suasana semakin larut dalam pedih perih derita yang melanda hati Ningrum, buku yang ia baca berisi ungkapan cinta dan sayang Aripin padanya, Ningrum semakin menjadi tangisnya ketika diakhir buku tertulis “ Arum …walau jasad tertutup tanah merah…Cintaku padamu kan abadi selamanya “

                Musim telah berganti, tahun telah berlalu di gardu tua seorang wanita paruh baya dengan membawa rangkaian bunga rumpin dan dua buah buku biru dan merah jambu selalu duduk termenung , setiap orang yang lewat di depannya selalu ia tanya “ Apakah kamu melihat Aripin , bilang ya aku menunggu di gardu !”  orang yang ia tanya selalu mengatakan “tidak nek Arum .. Aripin belum datang ya?” dan wanita paruh baya akan menangis sambil berkata,  “Aripin belum pulang”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

hatur nuhun pa yan..

07 Dec
Balas

Keren pa,sebuah cerita yang mengharukan.

07 Dec
Balas



search

New Post