Uki Lestari

Perempuan kelahiran Sitiung II, 30 Juli 1987 ini adalah anak ke-5 dari tujuh bersaudara. Dibesarkan dari almarhumah ibu yang juga guru, membuat cita-citanya jug...

Selengkapnya
Navigasi Web
(81) MISI DALAM SOLUSI

(81) MISI DALAM SOLUSI

MISI DALAM SOLUSI

Oleh Uki Lestari

Baru saja kemarin saya menuliskan tentang kerinduan pada anak didik di sekolah. Mereka pun sama merindukan suasana sekolah. Menurut mereka, belajar di rumah begitu membosankan.

Lebih kurang sebulan sudah para guru dan murid belajar di rumah atau ( _home learning_). Ada yang belajar mandiri dan ada yang belajar daring.

Belajar mandiri biasanya dilakukan oleh anak pedesaan karena keterbatasan teknologi, sarana dan prasarana, serta jaringan internet.

Ada pula yang belajar daring dengan gawai. Biasanya ini dilakukan oleh anak-anak di perkotaan. Bisa juga bagi anak-anak di daerah tertentu yang mumpuni baik fasilitas ataupun jaringan yang mendukung.

Di tengah badai kerinduan akan sekolah dan kejenuhan di rumah, pemerintah memberikan solusi baru. Solusi tersebut diharap mampu mengusir sedikit rasa bosan penggunaan gawai di rumah.

Solusi yang digadang-gadang mampu untuk menetralisasi pembelajaran antara yang bisa daring dan yang tidak. Solusi pemisah antara si kaya dan si miskin. Solusi antara anak desa dan kota.

Bahkan solusi tersebut disebut mantap. Mengapa? Karena merupakan jalan keluar yang tanpa perlu mengeluarkan biaya internet. Tanpa perlu memiliki gawai canggih.

Hanya perlu memiliki televisi sendiri agar bisa terhindar dari kerumunan. Menggiatkan seruan _stay at home_ dan _social distancing_.

Apakah solusi tersebut? Sepertinya menggiurkan. Ya, kelihatannya sangat menarik. Bisa digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Solusi program pembelajaran tersebut ialah pembelajaran yang langsung ditayangkan di televisi. Yaitu di stasiun TV nasional TVRI.

Berita ini membawa angin segar di awal kemunculannya. Terpenjara waktu yang entah sampai kapan, membuat guru dan murid bergembira. Mereka memiliki harapan baru dengan kehadirannya.

Program pembelajaran yang dibuat kemendikbud ini, diperuntukkan untuk semua level pendidikan. Dimulai TK, SD, SMP, dan SMA sederajat. Materi pembelajaran disesuaikan berdasarkan jenjang kelas dan dalam tempo yang tidak begitu lama.

Namun setelah diikuti program pembelajaran tersebut beberapa hari ini, ditemukan konten-konten yang kontraversi. Membuat para orang tua muslim was-was. Kok bisa begini? Ada apa?

Di awal kemunculan program, ada selingan acara mimbar Katolik. Ada juga pembacaan puisi karya tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Absar Abdalla. Anak-anak yang membaca puisi tersebut perempuannya berpakaian islami (berhijab) dan laki-laki berpeci hitam.

Namun apa isi dari puisi tersebut? Konten puisi tersebut berisikan perusakan akidah Islam. Mereka menyebutkan, "Yesusmu juga Yesusku." Waduh! Apa-apaan ini? Sungguh naif sekali.

Kami sebagai umat Islam tentu tidak bisa menerima ini. Kami bersusah payah menanamkan akidah yang benar menurut ajaran kami kepada anak-anak.

Namun di sana seakan menegaskan bahwa agama itu sama. Apakah kata-kata tersebut menyiratkan pada seluruh anak-anak yang menonton, bahwa Yesus juga Tuhannya? Ini jelas-jelas penggerusan akidah. Innalillahi!

Tidak saja itu, cerita anak yang ditampilkan pun sangat tidak mendidik. Apalagi ini disuguhkan untuk murid SD, lho.

Diceritakan Putri Mandalika dari Lombok dilamar oleh beberapa lelaki. Ia tak memilih satu pun di antaranya. Sebagai solusi ia memilih bunuh diri untuk menghindari perpecahan rakyatnya. Astaghfirullah, dapatkah ini diteladani?

Tak berhenti di situ, dongeng yang ditampilkan pun sangat menyesatkan. Dongeng Raja Ampat dan Telur Naga dari Papua Barat.

Di dongeng tersebut diceritakan, ada lima telur naga, dari empat telur naga lahir manusia, sedangkan sisanya menjadi batu. Telur yang menjadi batu tersebut diabadikan dan disiram air. Air siraman tersebut digunakan untuk pembabtisan. Ini maksudnya apa?

Dongeng ini secara tidak langsung menyampaikan bahwa manusia berasal dari telur. Pemakaian air untuk pembabtisan tersebut mengajak pada pemahaman agama tertentu. Sangat tidak netral bukan?

Sungguh sangat disayangkan program pembelajaran dari pemerintah seperti itu. Bukannya untuk pemersatu, melainkan bisa-bisa menimbulkan kontradiksi.

Toleransi bukan seperti itu. Toleransi saling menghargai, bukan memasukkan pemahaman agama tertentu apalagi kepada anak-anak yang masih lugu. Syukur jika anak menonton dibimbing orang tua. Kalau tidak, tentu sangat berbahaya.

Penanaman akidah dan pemahaman agama pada anak selama ini bisa semrawut. Dari orang tuanya seperti ini, pembelajaran daring dari televisi seperti itu. Huft!

Jadi sebaiknya, biarlah kita kembali belajar mandiri. Belajar dengan buku-buku yang ada dengan pendampingan orang tua.

Lanjutkan saja belajar di rumah. Baik pembelajaran daring dengan guru ataupun tidak daring dengan buku-buku pelajaran.

Menyelamatkan akidah anak jauh lebih urgen dibandingkan materi yang menyesatkan. Akidah yang selama ini susah payah kita tanamkan, jangan sampai tergerus oleh pengaruh yang mencampuradukkan agama. _Qulhuwallahuahad_.

Solok, 17 April 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Lakum diinukum waliyadiin. Titik. Setuju saya dengan pendapat Anda. Apalagi akhir-akhir ini banyak pejabat yang menyampaikan salam semua agama. Maaf bagi saya kok malah kebablasan toleransinya. Karena saya muslim cukup. Assalaamu'alaikum Wr. Wb... BTW Keren dan tajam tulisannya

17 Apr
Balas

Benar, kita harus menjadi muslim yang menjalani Islam secara kaffah. Toleransi pasti, tidak untuk menyamakan agama. Menganggap agama itu semua sama. Jangan sampai toleran yang kebablasan mengakibatkan penggerusan akidah sendiri. Makasih, Mas Bro.

17 Apr

Iyo dinda.ibuk beri tugas latihan sj,kayak mahir tu..dk nonton itu do

17 Apr
Balas

Mantaaaap, Kakakku....

17 Apr

Oke uki

17 Apr
Balas

Oke, Uni.

17 Apr

Keren, mbak Uki

17 Apr
Balas

Makasih, Mba Sri.

17 Apr



search

New Post