Manyarayo

Oleh Uki Lestari

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Artinya setiap daerah memiliki adat istiadat yang berbeda. Satu aturan di suatu daerah bisa berbeda dengan aturan di daerah lain.

Ada kalanya ada persamaan adat istiadat antardaerah. Seperti yang baru saja terjadi di tempat saya tinggal, Muaro Paneh.

Saya yang berasal dari kampung tetangga, Kotobaru, juga memiliki tradisi manyarayo. Begitu halnya dengan di kampung suami, Muara panas. Tradisi "manyarayo" masih dibudidayakan. Hari ini diadakan kegiatan yang biasa disebut "manyarayo".

Manyarayo dapat diartikan mengimbau masyarakat sekitar untuk membantu melakukan penanaman fondasi rumah seseorang di daerah tersebut. Manyarayo dilakukan di awal pembuatan rumah.

Di saat kegiatan manyarayo, masyarakat menolong menggali tanah dan ada juga yang ikut membuat fondasi. Kerja sama sangat kental di saat kegiatan ini.

Di kala para pejantan sebuah daerah bekerja, ibu-ibunya pun bekerja. Namun, pekerjaannya tentu berbeda. Para ibu seia sekata memasak untuk para lelaki jika telah tiba masanya untuk istirahat.

Masakan pun beraneka ragam. Aneka camilan juga dibuat penambah nikmatnya santapan buat para pekerja. Mulai dari gulai ayam kampung, goreng telur bulat, kolak kacang hijau, dan agar-agar yang menyegarkan.

Dengan masih dijaga tradisi seperti ini, tidak saja membantu meringankan si punya rumah, namun juga bisa mempererat tali silaturahmi. Baik antarwarga maupun antara warga kampung dengan yang punya rumah. Apalagi, jika yang punya rumah sumando/menantu. Maka, makin dekat dan tahulah ia dengan warga kampungnya. Baik laki-laki ataupun perempuan.

Manyarayo memang kaya manfaat. Aspek keluarga, sosial, budaya, dan ekonomi terliput di dalamnya. Tidak salah, bila tradisi manyarayo terus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat Minangkabau, demi terciptanya hidup yang lebih rukun dan sejahtera. Tahniah!

Muara Panas, 24 Desember 2020