Uki Lestari

Perempuan kelahiran Sitiung II, 30 Juli 1987 ini adalah anak ke-5 dari tujuh bersaudara. Dibesarkan dari almarhumah ibu yang juga guru, membuat cita-citanya jug...

Selengkapnya
Navigasi Web
TANTANGAN MENULIS DI GURUSIANA (9) EATING TOGETHER

TANTANGAN MENULIS DI GURUSIANA (9) EATING TOGETHER

EATING TOGETHER

Oleh Uki Lestari

Kemarin, Selasa, adalah hari penuh suka cita. Entah mengapa, Selasa adalah hari yang dipenuhi cerita suka. Waktu itu juga ada saja peristiwa yang menarik untuk diceritakan.

Salah satunya, kemarin. Saya sebagai wali kelas, saya mengajak murid kelas yang saya ampu melakukan eating together. Iya, acara makan bersama.

Acaranya sarat akan rasa kekeluargaan. Seperti kata pepatah, tagak samo tinggi, duduak samo randah.

Tidak ada yang dibedakan saat itu. Sama-sama makan nasi. Sama-sama duduk di lantai. Sama-sama makan beralaskan daun pisang. Sama-sama makan pakai tangan. Kami makan dengan nikmatnya.

Sebenarnya, kegiatan ini telah saya lakukan tahun sebelumnya. Bersama murid kelas enam tahun lalu. Dan sekarang terulang kembali, atas permintaan salah satu murid.

Saya mengadakan kegiatan ini, dengan tujuan mempererat rasa kekeluargaan di antara kami. Baik antara guru dengan murid, ataupun antara murid dengan murid. Karena, dengan makan bersama diharapkan mengikat rasa persaudaraan antara kami.

Acara ini digagas setahun yang lalu. Saya melaksanakan kegiatan ini saat waktu istirahat pertama. Dengan suka cita dan penuh semangat, mereka bergembira.

Masing-masing anak diwajibkan membawa bekal dari rumah. Bekalnya harus nasi. Jenis dan jumlahnya diserahkan kepada murid. Ingin banyak atau sedikit, terserah. Mau lauknya enak atau hanya sambal ulek, ndak masalah. Yang penting, ada bekal yang dibawa.

Namun kemarin, ada dua orang murid yang tidak membawa bekal. Entah mereka lupa, atau orang tuanya belum masak. Atau tidak ada yang akan mereka bawa. Namun, meski tak membawa, mereka harus ikut makan.

Inilah salah satu manfaat, yang dapat dipetik dalam makan bersama. Sama rata, sama rasa. Saling berbagi. Belajar simpati dan empati kepada orang lain.

Di tahun lalu, jumlah murid yang saya ampu sebanyak 17 orang. Namun, di tahun ini, meningkat menjadi 20 orang. Sayang, ada satu siswi yang keluar karena suatu hal. Sehingga, murid saat ini berjumlah 19 orang.

Di samping diwajibkan membawa bekal, siswa membutuhkan daun pisang untuk wadah makan bersama. Tanpa diminta, salah satu siswi menawarkan membawakan daun pisang dari rumahnya.

Teman-teman lain menyambut niat baik Yelmi tersebut dengan gembira. Mereka senang, tak perlu memikirkan daun pisang lagi. Hanya bekal yang perlu mereka persiapkan.

Namun, lagi-lagi mereka membuat saya tersenyum manis. Bagaimana tidak, saat persiapan makan, ternyata tidak Yelmi saja yang membawa daun, namun Raja juga membawanya.

Saking bahagianya mereka, pagi-pagi saat saya masuk ke kelas, mereka pun melapor. "Ini bekal kami, Bu. Yuk, kita makan, Bu!" ajak mereka.

Saya pun tertawa. Tingkah polos mereka, membuat saya geli. Ndak nyangka, kok mereka bisa berpikir makannya pagi buta begini. Di jam pertama pelajaran sekolah lagi. Aduh.

Dengan menahan tawa, saya sampaikan, bahwa acara makan bersama dilakukan saat istirahat. Bukan di jam pelajaran.

Dengan wajah memelas, mereka pun manut dan menyimpan kembali bekal yang sempat mereka perlihatkan tadi. Pembelajaran di mulai.

Karena tak sabar menunggu, lima belas menit sebelum istirahat, mereka kompak merengek untuk mempersiapkan tempat dan alat untuk acara tersebut.

Saya pun menyetujui. Dengan semangat, mereka menggeser kursi dan meja ke tepi ruangan. Bersama-sama, mereka menyapu kembali lantai yang pagi tadi telah disapu. Daun-daun pisang juga dicuci dan mengelapnya bergotong royong.

Kejadian lucu lagi-lagi menyelip di antata kehiatan itu. Di saat teman-temannya sibuk bekerja sama, diam-diam Ferdi dan Raka malah asyik menyuap nasinya.

Sepertinya mereka curi start. Entah karena lapar, atau tidak mampu menahan godaan nasi yang bergoyang-goyang di depan matanya. Haha.

Setelah terkejut mendengar teguran dari saya, mereka pun menghentikan suapannya. Mereka segera berbaur dengan temannya yang lain.

Waktu makan bersama yang dinanti pun tiba. Mereka makan dengan semangat dan lahap. Sampai-sampai murid saya yang bernama Ahmad Mustaqim, menambah nasi dua kali. Tambahannya bukan dari nasi miliknya, namun dari teman-temannya yang patungan.

Begitu banyak nilai yang begitu indah yang terasa dari kebersamaan. Yang biasa makan sedikit, bisa banyak, yang makan banyak, mau berbagi dengan teman. Semua penuh gelak tawa, karena nikmatnya jelas berbeda.

Namun, makan tidak akan pernah terasa nikmat, meski makan bersama-sama. Jika kamu hanya duduk manis di pojok kelas. Ditambah lagi walas kelas VB meminta tolong memotretnya sedang makan. Huft!

Solok, 5 Februari 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Hmmmm..eeenaaaak

05 Feb
Balas

Bangeeet, Bu Kit

05 Feb

Bagi2 uki.

05 Feb
Balas

Ka Muaro Paneh lah, Pak Martin. Hihihi

06 Feb

Rumah mintuo apak di berok. Dimaa uki tingga?.

06 Feb

Tambuah ciek buk uki

05 Feb
Balas

Ndak ciek lai do, Buk. Dua kali mereka tambuah. Hahahaha.Kalau Ibuknyo, caliak c lah mereka tambuah. Hohoho.

06 Feb

Indahnya kebersamaan.

05 Feb
Balas

Alhamdulillah, Bu Eni

05 Feb
Balas

Buk Fit, maksudnya

05 Feb
Balas



search

New Post