Uki Lestari

Perempuan kelahiran Sitiung II, 30 Juli 1987 ini adalah anak ke-5 dari tujuh bersaudara. Dibesarkan dari almarhumah ibu yang juga guru, membuat cita-citanya jug...

Selengkapnya
Navigasi Web
Tentang Sebuah Rasa

Tentang Sebuah Rasa

Tentang Sebuah Rasa

Oleh Uki Lestari

_Mencintaimu adalah anugerah bagiku. Mengingatmu sesuatu hal yang ingin kulakukan selalu. Membicarakanmu, membuat semangatku menggebu. Semua tentangmu, tak pernah ada sesal kuketahui. Meski tak seberapa. Meski sedikit saja._

*

"Bu, tadi aku main ke rumah Chu. Mama Chu mengajak aku makan di rumahnya. Masakannya sangat enak, Bu. Pangek masin ikan tuna. Kesukaan aku banget, Bu. Awalnya sudah kutolak, namun Mama Chu bersikeras menyuruh aku ikut makan. Meskipun aku bahagia ditawari makan, aku tetap segan. Tapi Chu dan mamanya memaksaku. Aku gak bisa nolak, Bu."

"Ya sudah. Besok jika waktu makan telah tiba, kamu pamit saja pulang ya, Mul. Jangan biasakan makan di rumah orang lain. Meskipun kita bukan orang berada, Ibu gak ingin kita merepotkan orang lain."

"Ya, Bu. Insyaallah Mul gak akan ulangi lagi. Mul akan ingat pesan Ibu."

*

Mul adalah anak tertuaku. Sejak ditinggal ayahnya yang merantau, kami hidup seperti anak ayam kehilangan induk. Aku yang berprofesi sebagai guru SD, tak dapat menutupi biaya hidup dan sekolah anak-anak yang bersusun paku. Bagaimana tidak, aku tidak menerima gaji sepersen pun. Semua luput untuk pembayaran angsuran bank.

Mul memiliki empat orang adik. Mul sekarang masih duduk di bangku SMA kelas 1. Adiknya paling kecil berusia 5 tahun. Anak-anak seusia mereka sedang membutuhkan perhatian. Pertumbuhannya, pendidikannya, dan perkembangannya, baik fisik ataupun psikologi.

Entahlah. Kabar dari Mas Reyhan kian hari kian suram. Seperti tak ada keluarganya di sini untuk diberi kabar. Beberapa pekan ini Mas Reyhan bagai hilang ditelan bumi. Tanpa kabar, tanpa berita. Kami istri dan anak-anaknya luntang-lantung dalam ketidakpastian.

Tak saja kondisi kesehatanku yang akhir-akhir ini kian menurun. Gaji yang kuharap bisa menutupi biaya hidup, kini tak bisa diajak kompromi lagi.

Sebelum kepergian Mas Reyhan terakhir, beliau membujukku untuk menggadaikan SK-ku untuk modal kerjanya. Aku yang berharap solusi itu bisa _mambangkik batang tarandam_ (memperbaiki hidup menjadi lebih baik). Aku mau dan segera mengambil pinjaman yang tidak tanggung-tanggung, Rp 250 juta.

Memang tak semua dibawa Mas Reyhan. Hanya Rp 230 juta yang katanya untuk modal usaha. Lebihnya saya simpan untuk keperluan anak-anak.

Namun, setelah kepergian itu, Mas Reyhan tidak tahu di mana rimbanya. Dihubungi ponselnya tidak aktif. Ditanya ke teman-teman terdekatnya, semua bilang tidak tahu. Aku pasrah, mungkin Mas Reyhan sedang lupa diri dengan membawa banyak uang.

Namun, beberapa bulan terakhir, aku mendapatkan berita bahwa Mas Reyhan menikah lagi. Tanpa kuperintahkan, netraku basah sejadi-jadinya. Mengapa Mas Reyhan begitu tega. Meninggalkanku dalam keadaan seperti ini. Meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil dan istri yang gajinya sudah dilucuti bank. Lantas, aku harus bagaimana menghidupi anak-anakku?

Di depan anak-anak, aku mencoba tegar. Tak kuperlihatkan sedikit pun kesedihanku. Bahkan, ayahnya menikah lagi pun tak kuberi tahu mereka.

Setiap kali mereka menanyakan ayahnya, aku hanya bilang ayah mereka pergi bekerja mencari uang. Agar mereka bisa makan enak dan sekolah yang tinggi.

"Bu, kita sekarang masak apa? Semua gak ada yang akan dimasak di dapur, Bu. Beras juga habis," tanya Fitra anak keduaku.

Fitra memang sudah kuajarkan memasak sejak SD. Fitra yang duduk di kelas 6 sudah pandai membuat goreng ataupun gulai. Saat aku memasak, Fitralah yang paling suka membantu dan memperhatikanku. Tidak heran bila dia menguasai urusan yang berbau dapur.

"Fit, itu ada Ibu tanam kacang panjang di sudut rumah. Kamu ambil saja itu. Cabe mungkin juga sudah ada yang masak. Kamu buat saja asam padeh kacang panjang ya! Tidak perlu minyak. Bawang dan tomat masih ada beberapa sisa kemarin Ibu lihat di rak."

"Ya, Bu. Biar Fitra persiapkan bahannya dan memasaknya. Tapi, Bu, beras kita juga sudah habis, Bu."

Lagi-lagi kebutuhan pokok satu ini begitu cepat terasa habisnya. Bagaimana tidak, yang akan makan di dalam rumah ini aku dan kelima anakku. Satu liter hanya bertahan satu hari. Itu pun kami bagi sedikit-sedikit agar perut sama-sama terisi, meski sekadar pengganjal lapar.

"Oh, soal beras, biar Ibu saja ke rumah Bu Yesi. Ibu akan coba pinjam lagi ke beliau. Mudah-mudahan beliau mau meminjamkannya meskipun utang beras kita sama beliau kemarin masih ada dua liter lagi."

"Yaa Allah, berilah kelapangan rezeki untuk keluargaku. Mudahkanlah perjuangan kami dalam menyambung hidup." Tak berhenti aku berdoa saat beranjak dari rumah menuju rumah Bu Yesi.

"Iya, Mbak. Gak masalah. Silakan bawa aja dulu. Alhamdulillah beras kami masih banyak. Mbak mau berapa liter?"

Beginilah sambutan Bu Yesi saat aku meminta pertolongan beras padanya. Tak jarang beliau memberikan cuma-cuma. Bahkan, bahan tak jarang makanan lainnya pun beliau sisipkan di kantong beras yang beliau beri. "Semoga Allah membalas kebaikan Bu Yesi dengan balasan yang lebih baik," doaku dalam hati.

Bu Yesi bukanlah orang kaya. Namun, karena sifat kedermawanannya itu, beliau tak pernah kekurangan. Benar kata Allah, bagi siapa hamba-Nya yang bersyukur dan menyedekahkan hartanya di jalan-Nya, maka akan Allah tambah. Dan Bu Yesi teladan bagiku dan anak-anakku. Meski sedikit, namun jangan takut untuk berbagi.

Alhamdulillah makan kami hari ini terselamatkan dengan nasi dan sayur kacang panjang yang direbus dengan air. Dibumbui dengan cabe, bawang merah, dan tomat.

Seringkali kami makan hanya dengan cabe hasil kebun kecil-kecilan yang kutanam di pojok rumah. Dengan izin Allah, bibit yang kutanam selalu berbuah dan tumbuh lebat. Kebun kecil itu cukup membantu kami dalam memenuhi kebutuhan perut kami.

Di samping gaji yang tak dapat kuterima tiga tahun terakhir ini, beberapa tunjanganku bisa mencukupi kami makan. Kami juga dianugerahi tetangga yang baik, yang peduli pada orang sekitar.

Ada saja bantuan makanan yang diberikan tetangga. Dan dengan kebun kecil itu juga, kami juga tidak serakah memakannya sendiri. Di saat panen yang tidak seberapa, kami bagikan pada mereka yang membutuhkan.

Syukurnya, anak-anakku semua tahu diri. Tidak ada yang mengeluh apalagi mencerca takdir kami saat ini. Mereka makan apa yang ada. Memasaknya dengan penuh cinta, bekerja sama dan saling bahu-membahu.

Meskipun masih kecil, tiada pertengkaran kulihat di antara mereka. Dan inilah salah satu nikmat Allah yang tak dapat kumungkiri.

Aku berlari ke belakang. Batukku kian hari kian mengganas. Sudah kuupayakan meminum air hangat kuku agar lebih reda, meminum ramuan daun-daunan juga. Namun, itu tampaknya tak membantu.

"Bu, Ibu kenapa? Sepertinya batuk Ibu makin parah," ucap Mul padaku.

"Enggak kok. Sebentar lagi juga sehat sendiri kok. Lagian kamu kan selalu bawain Ibu air hangat kuku seperti saat ini? Insyaallah besok berkurang dan hilang," jawabku menghibur kekhawatiran Mul.

"Ya, Bu. Ibu istirahat saja. Biar Kak Mul dan Fitra saja yang menjaga adik-adik," sela Fitra.

Aku mengangguk. Setelah Mul dan Fitra kembali ke depan untuk menjaga adik-adiknya, tenggorokanku kembali gatal. Aku batuk lagi. Namun, ada sesuatu yang menggumpal yang kurasa dalam mulutku. Kumuntahkan, astaghfirullah ternyata ada sebongkah darah yang membeku. Hitam.

Laahawla walaquwwata illabillah. Hatiku meronta, buliran bening lagi-lagi hadir tanpa permisi. Kuhapus cepat-cepat aliran yang makin menderas itu agar tak seorang pun tahu. "Yaa Rabb, jangan sekarang. Aku mohon. Berkahilah aku umur yang panjang dan tubuh yang sehat. Aku gak ingin sakit yaa Rabb" jeritku dalam hati.

Kukumur cepat-cepat mulutku yang masih tersisa darah. Berulang kali, tiada henti hingga darah itu tak muncul lagi. Aku ke depan. Memeluk anak-anakku yang masih membutuhkan aku untuk menopang hidupnya. Mereka hanya terpana melihat ibunya yang tetiba mendekap hangat mereka.

Hari berganti hari, minggu pun bergulir tiada henti, bulan berjalan seperti semestinya. Setahun terakhir, sakitku makin hari makin parah.

"Bu, sebaiknya Ibu dirawat di rumah sakit. Kita kan ada BPJS, Bu. Kan Ibu gak akan bayar," ucap Mul memohon padaku.

"Nak, memang kita gak mengeluarkan uang untuk rawat inap di rumah sakit. Namun, keperluanmu menjaga Ibu di sana butuh biaya, Nak. Belum lagi adik-adikmu di rumah tinggal sama siapa? Ibu gak apa-apa kok, Sayang. Ibu baik-baik saja. Yang penting kamu tetap doakan Ibu ya? Jaga adik-adikmu dengan baik. Karena jika Ibu sudah gak ada, kamulah yang akan mereka jadikan tempat mengadu."

Mul menangis sejadi-jadinya. Fitra pun memeluk erat tubuhku dari belakang. Adik-adiknya untung saja tertidur pulas setelah memakan jagung rebus pemberian tetangga. Lambat laun Mul dan Fitra pun berbaur dengan adik-adiknya karena lelah menangisi keadaan ibunya.

Dan malam ini adalah malam yang indah. Malam baik, malam Jumat. Sepertinya malaikat memanggilku dan mengajakku ke tempat yang begitu indah.

Sebenarnya aku tak ingin menuruti mereka, namun saat mereka menghimbau, rasa sakitku terasa hilang. Sesak napasku tak terasa lagi. Remuk dadaku saat aku batuk tak lagi kurasakan.

Di saat aku menjauh dari rumah, malaikat-malaikat itu menggandengku mesra ke atas awan. Kulihat pulasnya tidur anak-anakku yang saling berpelukan. Mereka tidur mengitari tubuhku yang kini telah disebut jasad.

"Selamat tinggal, Sayang-Sayang Ibu. Mul, Ibu yakin kamu pasti bisa menjaga adik-adikmu. Meski tak ada lagi Ibu di samping kalian, namun kalian masih ada Allah. Yakinlah, Allah akan menjaga kalian dengan cara-Nya.

Dan buat engkau, Mas Reyhan, semoga engkau kembali pulang. Meski kau tak menemui aku di dunia lagi, namun kudoakan engkau membayar kesalahanmu dengan menjaga anak-anak kita. Segala khilafmu telah kumaafkan. Jika kau berkenan, 'kan kutunggu kau di keabadian.

Solok, 10 Februari 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Maasyaallah..., cerpen yang cantik. Secantik pengarangnya. Jadi mbrebes mili saya.

10 Feb
Balas

Alhamdulillah. Makasih, Bu Mas.

10 Feb

Keren...Ki

10 Feb
Balas

Alhamdulillah. Makasih, Ibuk sayang...

10 Feb

Seribu wajah Reyhan. Mantap cerpennya Bu Uki. Sukses selalu ya Bu Cantik.

10 Feb
Balas

Aamiin. Makasih, Bu Nopi.

10 Feb

Jadi terharu... Keren cerpennya Bu...

10 Feb
Balas

Makasih, Bu.

10 Feb



search

New Post