ULFA WAHYUNI, S. Pd.I.

Anak ke tiga dari empat bersaudara ini Lahir di Langsa Aceh Timur, menempuh kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004-2008. Saat ini aktif mengajar d...

Selengkapnya
Navigasi Web
Full Day School dan Para Pejuang Karakter
Para Pejuang Karakter

Full Day School dan Para Pejuang Karakter

FULL DAY SCHOOL DAN PARA PEJUANG KARAKTER

oleh Ulfa Wahyuni September 2018

Salah seorang peserta didik bertanya pada gurunya :”Buk kenapa hari ini kita pulang lebih cepat? Kami kan jadi tidak bisa melaksanakan shalat ashar berjamaah dengan teman - teman”, sembari menyalami guru tersebut. “Hari ini bonus, jangan lupa shalat ashar di rumah” jawab sang guru sambil menunjuk ke arah langit mulai gelap. Percakapan antara peserta didik dan guru tersebut terdengar seperti sebuah cerita dongeng uthopia. Namun hal ini memang terjadi di sore hari sekitar pukul 15.00 di sebuah sekolah menengah pertama yang melaksanakan uji coba program pembelajaran 5 hari sekolah atau yang lebih dikenal dengan istilah full day school.

Hari itu Sekolah memutuskan untuk memulangkan peserta didik satu jam lebih awal karena keadaan cuaca yang diperkirakan akan hujan lebat disertai angin kencang. Jika peserta didik dipulangkan seperti jadwal biasanya yaitu pukul 16.00 setelah melaksanakan salat ashar berjamaah dikhawatirkan peserta didik akan terkena hujan lebat, sementara jarak rumah mereka ke sekolah agak jauh, bahkan ada yang berjalan kaki dari rumah ke sekolah dengan jarak 2 km.

Full day school adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat untuk menggambarkan sekolah yang melaksanakan proses pembelajaran 5 hari belajar sebanyak 8 jam perhari. Permendikbud Nomor 20 tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal, pasal 11 ayat 1 menyatakan bahwa program penguatan pendidikan karakter dapat dilaksanakan oleh satuan pendidikan formal selama 6 (enam) atau 5 (lima) hari sekolah dalam satu minggu.

Pelaksanan full day school bukanlah harga mati yang harus diikuti oleh semua satuan pendidikan formal, namun merupakan suatu pilihan. Sekolah diberi kebebasan untuk melaksanakannya dalam 6 hari belajar atau 5 hari belajar, Sesuai kesepakatan komite sekolah dan wali murid. Selain itu hal lain yang juga harus menjadi pertimbangan adalah kecukupan tenaga pendidik dan kependidikan, ketersediaan sarana prasarana, kearifan lokal, dan pendapat tokoh masyarakat dan atau agama di luar komite sekolah.

Sejatinya yang menjadi titik fokus pada Permendikbud Nomor 20 tahun 2018 bukanlah pelaksanaan sekolah 5 hari atau 6 hari, namun lebih pada penguatan pendidikan karakter bagi peserta didik di sekolah. Sekolah formal dalam hal ini pendidik harus mampu mengantarkan peserta didiknya agar berkarakter mulia. Karakter mulia ini seperti religious, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli social, dan bertanggung jawab (Permendikbud Nomor 20 tahun 2018 pasal 2)

Menurut kamus besar bahasa Indonesia karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Pengertian karakter ini sejalan dengan pengertian akhlak. Akhlak secara bahasa berarti kebiasaan, perilaku, sifat dasar dan perangai (kamus Almunjid fi al lughah wa al A’lam). Sedangkan menurut Imam Al – Ghazali karakter atau akhlak adalah situasi jiwa yang siap memunculkan perbuatan-perbuatan yang tidak bersifat sesaat, melainkan menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari – hari. Karakter adalah suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran karena sudah tertanam dalam pikiran dan sudah menjadi kebiasaan.

Sesuai dengan pengertian tersebut karakter tidak datang dengan sendirinya. Karakter pun tidak bisa di dapatkan secara instan dengan mengajarkan perilaku positif selama satu atau dua tahun mengajar. Diperlukan semangat dan energi ekstra dalam perjuangan menanamkan karakter positif pada diri peserta didik. Disinilah peran signifikan pendidik di sekolah, tak hanya bertugas mentransformasikan ilmu pengetahuan di dalam kelas saja, namun jauh dari pada itu tugas pendidik di sekolah adalah memperjuangkan karakter positif peserta didik.

Proses pembentukan karakter ibarat menanam sebuah bibit pohon diperlukan tanah yang subur, asupan air dan nutrisi yang cukup untuk dapat menumbuhkan bibit pohon tersebut. Setelah bibit tumbuh diperlukan perhatian ekstra untuk tetap menjaga agar akar bibit yang telah tumbuh tetap berada di dalam tanah sampai bibit tumbuh menjadi pohon kecil dan terus menjadi pohon besar dan rindang.

Karakter yang sudah terbentuk seperti pohon besar yang rindang, ia tidak mudah goyah hanya karena tiupan angin atau lebatnya air hujan. Akarnya sudah jauh menembus kerasnya tanah untuk menyangga batang agar tetap berdiri tegak. Ia akan tetap kokoh berdiri sampai ada yang menebang atau mati di makan usia.

Karakter positif yang telah ditanam orang tua di rumah harus terus dijaga dan dipupuk oleh pendidik di sekolah. Begitupun sebaliknya, karakter positif yang telah ditanam oleh para pendidik di sekolah seharusnya tetap dijaga dan dipupuk oleh orang tua di rumah. Sebagai contoh, orang tua telah menanam bibit sikap untuk melaksanakan salat berjamaah di rumah. Usaha tersebut diiringi dengan penegasan pendidik di sekolah dengan memberi keteladanan dan membimbing peserta didik untuk salat berjamaah di sekolah.

Awal dari pembiasaan sikap ini mungkin akan sangat sulit untuk mengarahkan peserta didik, bahkan pendidik di sekolah harus sedikit memaksa. Namun setelah kegiatan ini dilaksanakan setiap hari. Peserta didik pun lambat laun akan menyadari dan melaksanakan salat berjamaah tanpa merasa dipaksa. Kebiasasan salat berjamaah ini akan kokoh benjadi karakter yang kuat jika terus dibiasakan di rumah, disekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas, bahkan sampai perguruan tinggi. Begitupun pembiasaan karakter – karakter positif lainnya.

Para pendidik dan seluruh stake holder sekolah memang harus berusaha ekstra keras menjadi pejuang pejuang karakter untuk menanamkan berbagai sikap positif pada diri peserta didik sehingga nantinya tumbuh menjadi karakter karakter positif dalam kehidupan keseharian peserta didik. Sehingga terwujudlah manusia – manusia Indonesia yang berkarakter positif 10 dan 20 tahun yang akan datang. Wallahu ‘alam.

.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sangat luar biasa, salut untuk para pejuang karakter dalam mendidik anak-anak bangsa

20 Oct
Balas

sejatinya semua guru adalah para pejuang karakter pak, bersama kita bisa InsyaALLAh

06 Dec

Mantaps, smoga terbentuk karakter anak, barakallah

20 Oct
Balas



search

New Post