ULFA WAHYUNI, S. Pd.I.

Anak ke tiga dari empat bersaudara ini Lahir di Langsa Aceh Timur, menempuh kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004-2008. Saat ini aktif mengajar d...

Selengkapnya
Navigasi Web
Pedagang Kaki Lima
Pedagang Kaki Lima

Pedagang Kaki Lima

Pedagang Kaki Lima

Tantangan Hari ke - 7

#TantanganGurusiana

Oleh: Ulfa Wahyuni, S.Pd.I

Ayah sama sekali tidak pernah merasa kecewa dengan karunia Allah berupa anak – anak perempuan. Ayah berprinsip laki – laki dan perempuan sama saja, yang penting kemauan dan tekad yang dimiliki.

Minggu pagi ayah membangunkan 3 anak perempuannya, Ika, Nia dan Evi. “Nak bangun, salat subuh dulu” ucap ayah. Merekapun bangun dan menunaian salat subuh. Setelah mengisi perut ayah dan anak itu pamit pada ibu. 3 bersaudara itu mengikuti jejak langkah ayah dalam gelapnya suasana subuh. Ayah melangkah dengan cepat karena memang sudah begitu kebiasaan ayah. Ayah memikul sebuah kantong plastik besar dan Evi membawa satu kantong plasik ukuran sedang. Evi, Nia dan Ika menjinjing bawaan mereka bergantian.

Di tepi jalan raya ayah mengangkat tangannya ke depan sebagai tanda memberhentikan metromini yang sedang melaju. Metromini berhenti, ayah dan anak menaiki bus kota tersebut. Mereka beruntung masih banyak kursi yang kosong mungkin karena hari minggu pagi, belum banyak orang yang melakukan aktifitas di luar rumah. Metromini ini menuju arah Monas. Ya Monumen Nasional yaang ada di Jakarta Pusat.

Di sekitar area parkir Monas terlihat sudah banyak pedagang menggelar dagangannya. Mainan anak – anak, handuk , baju kaos, sepatu olah raga dan lain sebagainya. Ayah melihat ke beberapa bagian tempat parkir. Lalu ayah menunjuk ke salah satu bagian, diantara penjual kacamata dan mainan anak – anak. “Kita buka dagangan di sini”, kata ayah pada 3 anak perempuannya. 3 anak perempuan ayah menurut saja tanpa banyak tanya, karena ini adalah pengalaman pertama mereka berdagang.

Hari mulai terang, pengunjung monas mulai berdatangan ke area parkir. Mungkin untuk sarapan atau sekedar berjalan santai melepas lelah setelah berolahraga. Dengan malu – malu Ika menawarkan dagangannya kepada pengunjung yang lewat di depan lapak mereka. Melihat perilaku anak perempuannya, ayah juga menawarkan dagangannya kepada para pengunjung yang lewat dengan tujuan untuk memberikan contoh kepada 3 anak perempuannya.

“Berapaan celana trainingnya satu?”, tanya salah satu pengunjung. “Lima Puluh Ribu dek” jawab ayah. Calon pembeli itu terlihat keheranan. Ia mengambil dagangan ayah dan 3 anak perempuannya lalu melihat lebih dekat dan lebih teliti. “Kenapa dek celana trainingnya ada yang rusak ya?” tanya ayah. “Nggak ada yan rusak kok pak, saya mau yang ini dan yang ini ya”, ucap calon pembeli sambil menyodorkan 2 celana training sudah dipilihnya. Transaksi antara penjual dan pembelipun terjadi. “Alhamdulillah, Pacah Talua”, ucap ayah. Ungkapan yang biasa digunakan pedagang untuk transaksi jual beli pertama mereka.

Pengunjung mulai ramai. Satu persatu pengunjung mampir ke lapak kaki lima ayah. Ada pengunjung yeng membeli satu, dua bahkan ada yang membeli 3 celana sekaligus. Mungkin merasa dagangan ayah cukup murah dengan kualitas yang baik.

Matahari mulai terasa hangat, jam menunjukkan pukul 09.30 pagi. Dagangan ayah tinggal beberapa helai. “Kita berdagang sampai jam 10.00 setelah itu tidak boleh lagi berdagang di sini” ayah bercerita pada 3 anak perempuannya sambil menunggu calon pembeli lainnya. Ika, Nia, dan Evi mengangguk tanda mengerti dengan penjelasan ayah.

Jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Ayah menutup lapak kecil itu dibantu oleh 3 anak perempuannya. “Mau makan apa?”, tanya ayah. “Nggak usah yah, masih kenyang, nanti saja makannya di rumah” ucap evi anak sulung ayah.

Sesampainya di rumah, Nia mendesak ayah untuk menghitung uang hasil berdagang hari ini. Ika dan Evi juga tidak sabar, karena hari ini adalah pengalaman pertama mereka berjualan dengan ayah.

“Ayah, kenapa dagangan kita hari ini habis, tanya Ika, anak ketiga ayah. “Dagangan kita habis karena dagangan ini kita produksi sendiri dan langsung dijual, sehingga bisa dijual dengan harga yang tidak terlalu mahal”, ayah menjelaskan.

Ayah biasanya menjual dagangannya langsung ke toko – toko, bisa disebut sebagai suplier. Namun hari minggu ini, saat tiga anak perempuannya libur kuliah, ayah ingin mengajarkan cara berdagang pada anak – anaknya.

“Orang – orang ke Monas di Hari Minggu untuk marathon dan berolahraga, sementara kita Hari Minggu ini pergi ke Monas untuk berjualan.” ucap Nia sembarangan. “Jadi minggu besok tidak mau jualan lagi?”, tanya ayah menimpali ucapan Nia. “Jualan dong, supaya dapat uang banyak” jawab Nia sambil tersenyum.

Tanjung Emas, 21 Januari 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Selain ibu yang hebat, peran ayah juga sangat penting dalam mendidik anak anak. Salam kenal juga Bu Nani. Ibu mengajar dimana?

21 Jan
Balas

Tulisan yang bagus bun. Didikan yan baik, pengalaman dan pembelajaran buat anak. Barokalloh bunda Ulfa

21 Jan
Balas

Masih belajar Bu. Barakallah Bu iin. Salam literasi

21 Jan

Ayah yang hebat . Salam kenal ya Bu

21 Jan
Balas



search

New Post