ulik susanti

Nama saya Ulik Susanti, lahir di Magelang pada tanggal 04 Februari 1971. Riwayat Pendidikan: MI Ma'arif Bulurejo lulus th. 1983, MTs Negeri Kota Magelang lulus ...

Selengkapnya
Navigasi Web
KAMPUNG RAMADAN JOGOKARYAN

KAMPUNG RAMADAN JOGOKARYAN

Pekan ini menjadi pekan yang amat sibuk bagi Putri. Pasalnya gadis belia yang baru akan menginjak usia sweet seventeen beberapa bulan lagi sudah mendapat undangan bukber teman putih birunya. Putri sibuk melobi ayah dan ibunya agar diijinkan untuk berangkat. Sang ibu yang masih sangat mengkhawatirkan anak gadisnya merasa berat melepas, mau bilang tidak boleh, kasihan juga.

“Buk, boleh ya Putri berangkat? Nanti bareng sama Nadia, kita ketemuan di terminal nanti.” Rengek Putri beberapa kali kepada ibunya.

“Nanti kalian tidurnya dimana? Terus sampai ke rumah teman kamu naik apa?” tanya ibu Yani.

“Tidurnya di rumah Dita buk, nanti Dita dijemputnya pake mobil,” jawab Putri dengan penuh keyakinan. “Lagian nanti kan teman dari Bantul banyak yang datang,” kata Putri lagi.

“Iyalah boleh, tapi jaga diri dan sopan ya?” nasehatku kepada Putri. “Ya Allah aku serahkan kebaikan dan keselamatan Putri kepada-Mu, berikan jalan terbaik untuk acara besok,” doaku menenangkan diri.

Hari-hari Putri di sibukkan dengan acara bukber besok. Mulai dari baju, jilbab, jajanan, dooprize, hingga bis yang dinaiki Nadia pun sudah terencana dengan baik. Semua sudah siap dan sip, rencana dengan Nadia sudah klop, tinggal berangkatnya saja, Minggu jam 14.00 ketemuan di terminal.

Aku sejak pagi hanya bisa pasrah kepada Allah agar rencana Putri dan Nadia gagal atau acara bukber gagal. Sementara Putri dari pagi sudah amat ceria dan senang akan bertemu dengan teman putih birunya. Mendekati waktu dhuhur Putri mendapat telpon dari Nadia yang mengabarkan Nadia tidak bisa ikut ke Jogja karena tidak dapat izin dari ayahnya. Lega hati ini mendengar berita itu lirih mulutku mengucap kalimat tahmid. Alhamdulillah.

Dengan wajah terlipat-lipat Putri menemui ayahnya dan memberi tahukan kalau Nadia nggak jadi ikut. “Yah, aku ngegrep saja ya?” tanya Putri pada ayahnya.

“Di antar saja, kita berangkat semua,” jawab Fakhri suamiku dengan tegas.

“Ya malu kalau semua ikut. Kitakan jadi nggak enak ketemuannya,” rengek Putri.

“Nanti Putri di antar sampai rumah makannya, kita nanti akan pergi ke masjid Jogokaryan. Nanti pulangnya dijemput lagi,” kata Mas Fakhri.

“Aku kan nanti tidur di rumah Dita Yah, nggak enak kalo ngebatalin” jelas Putri.

“Ya nggak masalah, karena memang keadaannya demikian. Nadia juga nggak masalah tidak berangkat. Sekarang nelpon Dita untuk minta maaf dengan alasan Nadia nggak jadi ikut. Kalo mau berangkat sekarang!” Tegas Mas Fakhri lagi.

“Ya.” Dengan berat akhirnya Putri menghubungi Dita. Putri kecewa karena rencana yang telah tersusun akhirnya terbengkalai. Suasana rumah menjadi sangat sibuk dengan rencana yang sangat mendadak ini. Meski dengan raut yang kecewa akhirnya Putri menerima keputusan ayahnya.

Siang yang teramat terik mengiringi keberangkatan kami. Perjalanan kali ini amat lancar, seakan jalan ini milik kami begitu sepi tanpa ada kemacetan sedikitpun. Kami singgah di masjid kampus untuk melaksanakan salat asar berjamaah, kemudian perjalanan dilanjutkan ke jalan Timoho tempat dilaksanakan bukbernya Putri. Kami melanjutkan perjalanan menuju ke masjid Jogokaryan. Lima belas menit perjalanan kami sampai di wilayah Jogokaryan.

Begitu masuk di sebuah gang, dengan gapura yang bertulis “KRJ ‘Kampung Ramadan Jogokaryan.” Di sepanjang gang itu, di kanan kiri jalan berjejer lapak dengan beraneka jenis makanan, mulai dari jajan pasar, segala rupa es dan kolak, rujak cingur, berbagai gorengan, bahkan makanan dari negeri seberang pun ada. Para pengunjung sudah mulai berdatangan entah berjalan kaki atau naik motor membuat jalan menuju ke masjid semakin sesak.

Karena baru pertama ini kami masuk ke Jogokaryan jadi belum tahu dimana letak masjidnya, mobil kami berjalan amat pelan. Mata ini masih mencari keberadaan masjid dan tempat parkir. Hingga tiba digang yang dipenuhi bolam lampu warna kuning berbingkai anyaman bambu di atas jalan sepanjang lorong itu. Mataku tertuju pada kegiatan beberapa orang laki-laki yang menggelar tikar dan menata ifthar untuk buka puasa. Aku tertuju pada sebuah tulisan “Masjid Jogokaryan.” Tanpa sadar meluncur dari mulutku asma Allah. “Ya Allah Mas, masjidnya ini?”

“Mana?” kata suamiku sambil melihat sekilas, sebuah bangunan yang aku tunjuk. “Mosok sih?” tanya suamiku tidak percaya.

“Dah fokus nyetir dulu, sekarang cari tempat parkir saja,” sergahku menghentikan mata suami yang masih memandang tak percaya dengan bangunan masjid itu.

“Mas maaf tempat parkirnya dimana ya?’ tanyaku pada pemuda dengan rompi Masjid Jogokaryan.

“Itu bu didepan sebelah kanan,” pemuda itu menghentikan kegiatannya mengingatkan para pengunjung untuk menjaga protokol kesehatan.

“Iya terima kasih Mas,” suamiku melajukan mobil dengan amat pelan karena kondisi gang sudah semakin padat, penuh dengan para pengunjung. Dua kali kami di tolak untuk parkir karena kami akan cabut setelah salat maghrib. Kami di anjurkan untuk keluar dari gang dulu baru nanti ada tempat untuk parkir sementara. Lumayan jauh juga kami bisa menemukan tempat parkir itu. Disana sudah ada beberapa mobil yang berasal dari luar wilayah Yogyakarta. Kami turun dari mobil dan berjalan menyusuri gang tadi menuju ke masjid Jogokaryan.

Karena waktu sudah hampir menjelang maghrib, kami tidak sempat membeli jajanan. Takut nanti tidak kebagian tempat dimasjid, mengingat tadi sepintas masjidnya kecil. Dalam perjalanan ini sempat muncul berbagai pikiran berseliweran, “dari kegiatan sebuah masjid kecil bisa memberdayakan ekonomi umat sedemikian hebatnya. Gang yang panjangnya hampir 1 km itu bisa menampung berapa ratus pedagang? Barapa dapur yang bisa tertolong dengan kegiatan masjid?”

Hingga dikagetkan dengan pertanyaan jagoanku. “Buk bikin posko nanti kalo tersesat.”

“Ya, bagus. Di pertigaan itu saja. Nanti setelah jamaah kita langsung turun, kasihan Putri kalo harus nunggu lama nanti.” Mengingat padatnya pengunjung khawatir nanti terpisah dan juga untuk keluar dari gang ini tentunya juga butuh waktu agak lama. Akhirnya kami terpisah, aku dengan kakaknya Putri dan Mas Fakhri dengan jagoanku.

Awalnya aku masuk masjid dengan mencuri-curi pandang, penasaran dengan masjid yang tadi aku lihat sempit. Bangunan berlantai tiga, yang menurut pengamatanku sekilas dan juga tidak jelas karena ramai dan malu bila mata ini melihat kesana kemari dengan banyak jamaah lelaki. Bangunannya tidak semegah masjid-masjid terkenal ditiap kota. Hanya sebuah masjid di gang masuk tentunya beda bangunannya dengan masjid yang ada di pinggir jalan raya atau dipusat kota.

Begitu masuk, kami sudah dihadang dengan serangkaian kegiatan protokoler covid. Kemudian jamaah wanita diarahkan untuk menuju ke lantai dua. Dan subhanallah di ruangan yang cukup luas sudah berjubel para jamaah muslimah. Aku mendapatkan tempat diteras masjid lantai dua. Disini pun kami sudah berdesakan duduk menunggu waktu berbuka. Kami duduk bergerombol, disekelilingku banyak mahasiswa.

Oya sebelum duduk kami para jamaah dipersilakan mengambil ifthor sendiri, yang sudah disiapkan di teras masjid lantai dua. Ifthor itu sudah dikemas dalam dus, berisi nasi, sayur, lalapan, lauk lele (yang aku dapat saat itu, karena ada juga yang dapat daging ayam), sambal, kurma, buah, minuman kolak dan air putih. Entah berapa paket yang disediakan, mungkin benar berita itu mengatakan 3000 paket setiap sorenya.

Disini aku berpikir lagi, bagaimana mengusahakan paket iftor sebanyak itu? Dalam bayanganku setiap RT dilingkungan itu mendapat tugas membuat berapa paket ifthor. Berapa RT yang akan kebagian riski kegiatan masjid ini? Berapa keluarga yang bisa tertolong ekonominya bila dilihat dari kepentingan dunia.” Air mataku merembes keluar, setelah berbagai kegiatan yang tampaknya kecil dan biasa saja mampu mendatangkan banyak kegiatan. “Ya Allah bila semua dilaksanakan karena-Mu maka semua akan indah.” Bisikku sambil mengusap air mata yang hampir jatuh.

Tiba-tiba terdengar suara yang ramai dari bawah, akupun berdiri melihat apa yang terjadi. Mata ini dibuat takjub dan tercengang, selain pemandangan jalan yang terlihat cantik dengan warna warni lampu dan baju. Kegiatan didepan masjid membuat diri ini menangis, para pejalan kakipun mendapat bagian ifthor, entah berapa ratus paket yang dibagikan bagi pejalan kaki. Dalam sekejap tumpukan ifthor didepan masjid itu sudah ludes, bersih. Aku masih termangu diujung teras masjid. Memandang ke bawah menatap jalanan yang masih padat. Kemudian terdengar tausiyah dari pengeras suara, mengingatkan pentingnya ukhuwah Islamiyah, kemudian di lanjutkan dengan doa hingga masuk waktu berbuka.

Setelah menyelesaikan acara makan terdengar iqamah dari pengeras suara, aku membereskan makanku dan langsung masuk menuju ruang jamaah putri. Sebentar aku menoleh kekanan kekiri mencari tempat untuk melaksanakan salat jamaah. Aku salat diantara sela-sela kelompok orang yang masih berbuka. Belum selesai aku berdoa terdengar suara imam membaca Fatihah untuk salat maghrib kloter ke dua. Sebelum aku keluar ruangan aku menoleh ke arah jamaah putri dan putra, banyak juga yang salat berjamaah dikloter ke dua ini. “Subhanallah berapa jamaah yang salat disini?” bisikku.

Dalam perjalanan pulang aku sempat berfikir, alangkah dahsyatnya kekuatan sebuah kepercayaan. Kegiatan sebuah masjid yang sudah mendapat kepercayaan dari umatnya mampu membangkitkan roda ekonomi yang sangat luas bagi warga sekitarnya. Berapa tenaga terekrut dalam kegiatan sesaat jelang buka puasa dipenghujung hari bulan Ramadan. Pikiranku mulai ngelayap kemana-mana, andai di negeri ini setiap masjid mampu membangkitkan kepercayaan jamaah untuk berinfak, berzakat ataupun bersedekah, maka berapa umat yang ekonominya akan terangkat. Oh alangkah indahnya Islam. Bagaimana jika rakyat di negeri ini dapat percaya kepada para pemimpinnya atau para pemimpinnya bisa benar-benar amanah.”

Dalam perjalanan menjemput Putri terbersit sekeping doa “Semoga mereka bisa mencontoh bagaimana membangun kepercayaan dari sebuah masjid kecil Jogokaryan. Mampu mengembalikan negeri ini sebagai surga dunia dan zamrud katulistiwa.”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Subhanallah..

28 Apr
Balas



search

New Post