ulik susanti

Nama saya Ulik Susanti, lahir di Magelang pada tanggal 04 Februari 1971. Riwayat Pendidikan: MI Ma'arif Bulurejo lulus th. 1983, MTs Negeri Kota Magelang lulus ...

Selengkapnya
Navigasi Web
KU TAK BERDAYA

KU TAK BERDAYA

Hari ini di awal bulan ke lima bertepatan dengan puasa Ramadhan hari yang ke dua puluh satu. Hari-hari yang penuh keberkahan. Badan dan perassaanku sangatlah tidak enak, sisa-sisa migrenku seharian kemarin masih sangat terasa. Hari ini tetap aku paksakan untuk berangkat kerja, menunaikan tugas negara. Selain itu juga semoga usahaku ini termasuk ibadah, apalagi di penghujung bulan Ramadhan ini, pahalanya akan dilipat gandakan.

Tapi aneh juga kalau pelaksanaan ibadah itu hanya mengharap pahala dari Allah, apalagi mendapat untung yang lebih banyak “dilipat gandakan.” Inti ibadah kan menggapai ridha Allah. Bukan seperti pedagang, mencari untung banyak. Aku tersenyum sendiri dengan gulatan pikiran dan kekonyolanku.

“Masih pagi kok sudah senyum-senyum sendiri ada apa Bu?” Tiba-tiba Pak Leman sedah ada disampingku. “Dah dhuha belum?” tanya Pak Leman lagi.

“Masih libur Pak. Saya kok nggak lihat Pak Leman. Sudah dari tadi datangnya?” tanyaku heran.

“Ya sudah, dari tadi aku duduk disana. Bu Indri saja yang nggak konsen sejak masuk kantor tadi.”

“Iya Pak. Ini migrenku dari Sabtu belum sembuh. Masih kerasa sampai sekarang. Padahal sudah tidur, makan juga nggak telat, minum obat juga sudah. Tapi kok masih terasa,” keluhku.

“Ada masalah lagi?” tanya Pak Leman menyelidik dengan tatapannya. Seperti biasa aku bila ada masalah selalu cerita dengan Pak Leman. maklum kebetulan nasib kami hampir sama, sama-sama pergi dari rumah.

“Iya. Aku hari Sabtu bersih-bersih rumah sana sendiri. Suamiku nggak nemenin, padahal sudah minta beberapa kali. Sebenarnya sih nggak niat bersihin, niat kesananya untuk mancing lele. Tapi ujungnya aku mbersihin rumah. Habisnya Pak Jo yang tak suruh mbersihin rumah nggak tuntas mbersihinnya. Sampah masih terselip dimana-mana. Jadinya aku yang mbersihin, sampai setengah hari.” Kataku menjelaskan.

“Kok mancing? Emang ada kolam? Bukannya dirumah lama airnya susah?” tanya Pak Leman heran.

“Di ruang tengah berbatasan denga dapur kan ada kolam kecil. Sama Bapak dikasih lele, karena tahu anakku yang cowok suka lele. Makanya Bapak sudah beberapa kali minta agar lelenya ditangkap biar cucu kesayangannya seneng. Tapi suamiku setiap tak ajak nggak mau. Ya aku tahu posisilah Pak.” Jelasku menahan rasa jengkel, yang menyebabkan kepalaku terasa nyeri lagi.

“La kamu itu Bu Indri tahu kalau masuk rumah sana selalu sakit, kok ya masih nekad to?” lanjut Pak Leman.

“Ya bagaimana lagi Pak. Namanya juga orang tua, rumahnya kotor kan ya tetep nggak tega to lihatnya.”

“Bu jurnal dan absen manual bulan April segera dikumpulkan,” teriak Bu Septi, begitu masuk ke ruang guru.

“Ah mbok ya jangan aneh-aneh. La wong belum ada pengumuman kok senange ndisikki,” kata Pak Leman.

“Kok aneh bagaimana? La tadi itu Pak Joko bilang suruh segera mengumpulkan,” kata Bu Septi.

“Di grup belum ada pengumuman, baru disuruh tanda tangan uang lauk pauk saja,” kataku menengahi. Pak Leman akhirnya membuka HP dan menelusuri berita yang ada di grup kantor. Dan ternyata hari ini banyak sekali tugas mengumpulkan berkas. Selang beberapa saat teman-teman yang tadi dimasjid untuk salat dhuha kembali ke ruang guru dengan riuh rendah suaranya. Ada yang protes dengan kebijakan tidak masuk akal itu. Sebenarnya kalau di sampaikan secara baik langsung melalui rapat, mungkin penerimaan temen-teman akan jauh lebih baik. Tidak melalui grup WA dan siffatnya mengancam. Jadilah ruang guru saat ini seperti pasar tiban. Ramai.

“Wah aku mau yang mana dulu ini? Masuk kelas apa ngurus urusanku pribadi ya?” kata Bu Maya. “Ah aku narik arisan saja, karena untuk kesejahteraan bersama,” katanya lagi. Kami jadinya geli melihat kelakuan Bu Maya, dia sukanya ngomong sembarang. Dengan kepala nyeri aku cari berkas-berkas yang akan dikumpulkan. Alhamdulillah ada semua, tinggal foto copy saja. Dengan terhuyung aku menuju ke meja printer di samping pintu. Segera aku operasikan printer untuk foto copy berkasku, masih lancar karena teman-teman masih asyik mengisi jurnal dan dafftar hadir manual.

“Sudah selesai Bu Indri?” tanya Bu Maya tak percaya.

“Sudah. Tu tinggal ngumpulkan saja. nunggu temen-temen dulu,” kataku sambil nunjuk berkasku.

“Aku bagaimana iki? Aku belum bisa ngerjakan sekarang. Itu yang daftar sudah banyak berdatangan,” kata Bu Ning yang saat itu sedang menjadi panitia penerimaan siswa baru. “Ntar aku kebelet,” katanya sambil berlari ke kamar mandi.

Suasana di ruang guru siang itu sangatlah ramai. Ramai oleh suara temen-temen, menghibur diri karena kebijakan dengan sistim mengancam. Suara dari nyayian tust laptop dan jeritan-jeritan printer. Aku sendiri memaksa diriku untuk membuat soal akhir tahun besarta temen-temennya. Sesekali aku masuk kelas di HP, mengecek kehadiran siswa, keaktifan siswa, kalau-kalau ada materi yang belum dipahami. Saya akan menerangkan ulang. Kepalaku semakin terasa berdenyut.

“Bu Indri ada tamu di ruang BK’” kata Pak Dewa dari depan pintu.

“Ya Pak makasih. Sebentar saya selesaikan dikelas dulu.” Kataku. Aku segera menyelesaikan pertemuan di kelas 7A dan memberikan materi di kelas 7F. Setelah selesai akau segera menuju ke ruang BK. “Perasaan aku tidak mengundang wali murid, tapi kok ada yang mencariku, siapakah?” bisikku di sepanjang koridor menuju ke ruang BK.

Benar saja itu orang tua Galih, salah satu anak di kelasku yang tidak aktif di semua pelajaran. Sebenarnya sih aku mengundangnya sudah sejak kemarin, tapi baru sekarang bisa datang. Dan pada saat yang tidak tepat. Aku memberikan salam dan tersenyum kepadanya, yang hanya di jawab sambil lalu saja. “Pasti ada sesuatu bakal terjadi ini.” Batinku.

Setelah selesai mengisi buku tamu. Pak Dewa sebagai guru BK kelasku memberikan priambule sebentar, dan ditanggapi oleh Wali Murid dengan sikap tidak enak. Ya baru sikap saja, selama Pak Dewa bicara. Dan akhirnya setelah Pak Dewa menyampaikan inti masalah dimana Galih tidak pernah aktif dalam pelajaran dan pengumpulan tugas, Orang tua dari Galih mulai kentara marahnya. Denga suara tinggi ia bicara.

“Anak saya itu aktiff. Setiap saya tanya bilang beres dan dia tidak pernah bohong dengan orang tua Pak! Paketan juga selalu saya belikan. Dia anak saya satu-satunya, makanya saya perhatikan banget kebutuhan sekolahnya!” Jelas Bapaknya Galih dengan suara tinggi.

“Maaf Pak. Apakah Bapak ngecek hasil pekerjaan Mas Galih?” tanyaku pelan. Masalah seperti ini tidak cuma kali pertama ini. Tapi sudah berkali-kali kami para guru hadapi. Guru di adu dengan wali murid.

“Tidak Bu! Saya sudah percaya dengan anak. Setiap saya lihat dia sedang mengerjakan tugas.” Masih dengan nada tinggi bapaknya Galih menjawab.

“Pak. Setiap pekan saya kan menyampaikan rekapan tugas anak-anak. Dan Bapak membacanya. Harusnya Bapak tahu kalau putra Bapak belum beres mengumpulkan tugas,” jelasku selanjutnya.

“Anak saya bilang sudah melengkapi Bu!’ katanya lagi-lagi dengan nada tinggi.

“Kalau sudah kan tentunya ada keterangan di situ Pak, lagian di hampir semua kosongkan?” kataku capek. “Sebentar saya ambilkan buku rekapan tugasnya. Oh ya Mas Galih ikut nggak sekarang Pak?” tanyaku sebelum keluar untuk mengambil buku rekapan tugas.

“Ikut dia sedang mengerjakan tugas IPA, tadi ketemu sama gurunya di gerbang!” dengan ketus Bapaknya Galih menjawab.

“Oya itu lebih baik. Sebentar saya ambil rekapan tugas dulu Pak.” Dengan memegang kepala aku segera keluar mencari Galih terlebih dulu untuk aku ajak masuk ke ruang BK. Setelah itu aku segera mengambil buku rekapan tugas. Aku selanjutnya menyusul ke ruang BK dengan kepala yang sudah semakin berat dan perut sudah terasa mual, penduduk di dalam sudah berontak minta keluar. Aku menarik nafas panjang beberapa kali untuk meredakan gejolak di perutku.

“Mas, ibu mau nanya tapi jawab dengan jujur didepan Bapak Mas Galih. Sebenarnya sudah mengirim tugas belum? Coba yang jujur dan lihat ke Bu Indri sekarang,” kataku kepada Galih sesabar mungkin. Galih menundukkan kepalanya dan diam. Aku raih tangannya, aku genggam dengan erat maksudku agar Galih tidak usah takut bicara jujur.

“Mas, tolong lihat Ibu kalau memang sudah mengumpulkan tugas.” Ulangku, masih ku genggam tanga Galih. Ku lihat Bapaknya Galih sudah mulai tak sabar, melihat gejala yang tidak baik ini.

“Dengarkan. Ibu tidak akan marah dan siap melindungi bila Mas Galih bicara jujur. Tapi kalau hanya diam Ibu juga akan diam bila Bapak Mas Galih marah.” Aku masih berusaha untuk sabar dengan dua ke adaan yang tidak mengenakkan ini. Keadaan dari dalam diriku dan keadaan dari luar diriku. Akhirnya Galih menangis.

“Mas jangan nangis kalau belum jelas jawabannya, tolong berani tanggung jawab atas apa yang telah kamu lakukan. Bukan nangis seperti cewek begini Mas<” suaraku agak menekan.

“I... iya saya belum mengumpulkan tugas,” dengan suara isakannya akhirnya Galih bicara jujur.

“Apa? Beraninya kau membohongi orang tua! Bapak sudah percaya sama kamu! kok akhirnya seperti ini!,” dengan suara tinggi penuh emosi Bapaknya Galih melampiaskan emosinya. Mungkin juga karena malu karena tadi mati-matian mengatakan anaknya baik.

“Pak, maaf tidak baik kalau Bapak marah begini. Harusnya Bapak memberikan penghargaan karena mau bicara jujur. Kemudian kita beri pengertian secara baik-baik. Tidak dengan marah begini, anak jadinya takut nanti.” Kataku. Sebenarnya aku takut juga melihat wajah memerah Bapaknya Galih ini. Kemudian aku sodorkan buku rekapan tugas itu.

Karena aku sudah tak tahan dengan kepala dan perutku, akhirnya aku minta ijin dan aku serahkan masalah ini selanjutnya kepada Pak Dewa. Segera aku berlari ke kamar mandi, memberikan jalan untuk rombongan penari dari dalam perutku untuk bebas menari diluar sana. Sampai seluruh penduduk perutku keluar, keringat dingin mengucur deras dari badanku.

“Ada apa Bu Indri? Angkatan ya? Perasaan baru halangan kok langsung jadi,” seloroh Bu Maya. Yang segera memberikan botol minum dari mejaku. Aku hanya melotot marah atas gurauannya. Segera teman-teman bersahutan mengkhawatirkan kondisiku.

“Jangan mendekat, bahaya. Patuhi protokol kesehatan.” Kata Bu Septi sambil menyodorkan bantal agar aku tidur di lincak ruang belakang, tepatnya sih dapur guru. Aku pun segera menyusul Bu Septi dan segera ku rebahkan badanku di lincak, berusaha memejamkna mata. Aku berhasil terlelap sebentar dan terbangun karena HP ku menjerit-jerit. Dengan tetap terpejam aku angkat HP tadi.

“Ya, ada apa?” dengan suara lemah aku menjawab sapaan Ela di seberang sana.

“Mbak di suruh ke rumah Mbah sekarang?” pintanya dari seberang sana. Kepalaku semakin berdenyut tatkala dengar kalo aku harus kerumah itu lagi.

“Ya Mbak. Nanti siang ya habis dhuhur, aku masih kerja.” Kataku menahan sakit.

“Ya. Nanti aku bilangke Mbah.” Kata Ela lagi.

“Iya Mbak makasih ya?” kataku menutup pembicaraan. Semakin berdenyut kepala ini. Aku kembali tidur hingga jam pulang. Dengan kepala berdenyut aku pulang, menuju ke rumah Bapak. Aku sudah tak konsen lagi dengan apa yang terjadi. Aku jalani saja hingga sampai dirumah, aku langsung merebahkan badan ini.

Sampai saat berbuka pun aku masih tak berdaya. Baru sadar saat jam delapan malam aku belum punya ide untuk nulis. Padahal sudah jam segini, dan nggak tahu apa yang akan aku tulis. Beberapa kali gagal dan gagal. Hingga keringat dingin keluar akhirnya aku nulis asal nulis saja. dan kondisi ini benar-benar tidak saya inginkan, sungguh. Keringat dingin dan perut mual.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kondisi tidak fit, kerjaan banyak ya bun... semoga cpt pulih. Salam literasi.

04 May
Balas



search

New Post