ulik susanti

Nama saya Ulik Susanti, lahir di Magelang pada tanggal 04 Februari 1971. Riwayat Pendidikan: MI Ma'arif Bulurejo lulus th. 1983, MTs Negeri Kota Magelang lulus ...

Selengkapnya
Navigasi Web
TADZQIRAH

TADZQIRAH

Siang yang teramat panasnya. Hari ini puasa sudah jalan hari ke tujuh belas, bertepatan dengan peristiwa Nuzulul Quran. Enggan rasanya keluar dari sekolahan, melihat panasnya sengatan sang bagaskara dari dalam kantor saja sudah sedemikian hebatnya, apalagi bila harus turun langsung di jalan. Tak bisa aku membayangkannya.

Aku kembali kepada pekerjaanku, memandangi layar laptop. Merekap tugas siswa yang sudah masuk siang ini. Tetiba ponselku menjerit-jerit mengingatkanku untuk segera pulang, aku lihat jarum jam yang bertengger dengan manisnya di tembok. Sudah jam 13.30. Ku sapukan pandanganku ke sekeliling ruangan, sepi. “Masih ada beberapa tas dan laptop terbuka, tapi mereka kemana?” bisikku.

Segera aku matikan laptop, aku berkemas untuk segera pulang. Membelah panasnya sang mentari. Aku harus ambil jalan memutar, menuju ke mesin uang dan membelikan minum untuk si manis, motor butut setiaku. Setelah menyelesaikan dua tugasku itu, segera aku meluncur membelah teriknya mentari. Siang ini jalanan sangat sepi, seakan jalan ini hanya disediakan khusus untukku. Dalam waktu singkat akupun sudah sampai di rumah.

Peluh seakan berebut keluar dari badanku mencari udara segar. Segera ku hidupkan kipas angin dan duduk berselonjor di dapur. “Baiknya aku mulai masak sekarang saja, dari pada bengong begini.” Aku segera menyiapkan sayuran dan bumbu-bumbunya.

“Kok nggak tidur dulu Bu?” tanya Mas Bagas mengagetkanku. Mungkin Mas Bagas heran, biasanya pulang langsung tidur, ini kok masih asyik di dapur.

“Nggak Mas, sesekali masak lebih awal.” Jawabku masih dengan mata menatap sayuran dalam kulkas, bingung. Seperti biasa bila urusan masak memasak begini selalu saja aku merasa pusing. “Ini saja bikin ca sawi sama bakso, terus bikin sambal.”

“Mas masak ca sawi dan sambal tomat, terus bikin kacang hijau ya?” tanyaku kepada Mas Bagas. Yang ditanya diam saja. “Mas?” sambil menoleh kebelakang ternyata Bagas suamiku sudah berada di alam mimpi, mendekap Gus Bahak dari ponselnya.

“Oalah... yang ndengerin ngaji kui sopo?” gerutuku. Aku cabut kabel headset dari lubang ponsel, menyebabkan Mas Bagas bangun. “Maaf, buat ngaji aku saja ya, Mas lanjutin tidur.” Tanpa ada jawaban dari Mas Bagas segera ia bangun, pindah ke kamar melanjutkan mimpinya. Aku pun segera melanjutkan acara masak dengan ditemeni Gus Bahak.

Karena masakku hanya sedikit maka tak berapa lama selesai. Tinggal bikin minuman kacang hijau. “Biar aku rendam dulu saja,” gumamku sambil menyiapkan bahan pelengkap lainnya.

Setelah selesai urusan di dapur, aku ke kamar untuk rehat sebentar. Ku buka ponsel untuk melihat informasi dan kabar kawan-kawan. Jam segini di grup emak-emak sudah banyak notifnya. Aku penasaran dan ku pencet grup emak-emak itu. Pertama yang ku lihat sebuah foto anak kecil berbaju biru tidur terlelap di atas bed rumah sakit. Mulai tak enak ku rasakan hati ini, berdebar dan semakin berdebar. Setelah ku baca ucapan innalillah yang begitu banyak. Air mata sudah mulai berebut keluar. Aku pandangi sekali lagi foto itu, aku tak puas. Aku besarkan dan ku lihat ada tulisan dibawah foto itu “Selamat jalan sayang...surga tempat terindah untukmu nak... Rani sekarang sudah nggak sakit lagi... doakan bunda dan ayah kuat dan sabar yaa... insyaa Allah kita bertemu di surganya Allah... Al Fatihah...” tak kuasa aku membendung air mata ini. Gemetar seluruh badan, suara tangisku membangunkan Mas Bagas.

“Ada apa Bu?” tanya Mas Bagas kaget.

“Mas, Rani anak Mery meninggal,” dengan terisak aku menjawab.

“Yang benar?” Mas Bagas pun kaget. Aku serahkan ponsel hitam itu ke Mas Bagas. Tangisku masih belum reda.

“Ayo kita ke sana sekarang,” Ajak Mas Bagas sambil bangkit dari tidurnya. Aku pun segera bersiap diri dengan cepat.

“Mas. sudah salat asar belum?” tanyaku mengingatkan kewajiban empat rakaat yang hampir terlupa.

“Sudah tadi dimasjid,” jawab Mas Bagas singkat.

Kami pun akhirnya berangkat dengan segera, jarak dari rumah menuju ke tempat duka lebih kurang 20 km. Sepanjang perjalanan tak hentinya air mata ini mengalir. Mengingat bagaimana penantian dan perjuangan Mery mendapatkan anak sangat panjang. Sudah dua kali ini harus kehilangan. Dulu anak pertamanya, hilang saat masih dalam kandungan enam bulan. Sekarang diberikan anak cewek cantik, saat lucu-lucunya juga diminta lagi oleh Allah. Beberapa kali aku menghapus air mata dengan telapak tanganku. Betapa lama perjalanan ini aku rasakan.

Akhirnya kami sampai di rumah duka. Aku masuk begitu saja lewat pintu belakang. Ku lihat Mery dan suaminya dengan tabah menata segala sesuatunya sendiri, memberikan kain untuk menggendong jenazah Rani, memasang rangkaian bunga, dan terakhir di ciumnya kepala Rani, “selamat jalan nak, maafkan bundamu ya? Rani sekarang sudah dalam dekapan Allah. Rani akan senang disana.” Tanpa ada tangis Mery melakukan itu, juga suaminya.

Aku masih belum mampu untuk mendekat. Ku habiskan dulu tangisku, tapi rasanya tak mampu setelah melihat Mery berbicara sama Rani. Ku tahan tangisku agar tak bersuara. Aku tutup mulutku kuat-kuat, sesekali aku menarik nafas panjang dengan bacaan istighfar. Akhirnya Mery melihat keberadaanku. Aku yang belum siap bertemu Mery akhirnya jebol bendungan air mata ini. Kami berpelukan dan menumpahkan tangis bersama.

“Buuk...!” hanya itu yang keluar dari mulut Mery diantara isak tangisnya.

“Sudah, yang sabar. Kita hanya menjalani. Kita semua milik Allah. Dan Allah sangat sayang ke Rani dan ibunya. Kau sudah dibuatkan jalan ke surga oleh Allah. Jangan berlarut, sekarang lepas Rani dengan ikhlas. Hapus air matamu ya,” nggak tahu akau harus ngomong apa. Aku lepas pelukanku dengan senyum dan air mata. Aku berjalan ke depan untuk mengikuti upacara pemakaman yang dilaksanakan secara singkat, mengingat waktu yang sangat mepet dengan buka puasa.

Mengingat perjalanan Mery selama ini, tak ada orang yang tak menangis. Dan alhamdulillah Mery tabah, meski air mata tak bisa berhenti mengalir, tapi Mery tetap sadar. Sesekali tersenyum dengan para tamunya. Sikap Mery ini justru yang membuat air mataku tak pernah bisa berhenti. Aku dan Mas Bagas duduk sebentar menemani Mery. Karena para tamu mulai banyak yang datang, kami pun berpamitan untuk pulang.

Pelajaran yang bisa aku ambil hari ini adalah kita manusia hanya menunggu giliran kapan di ijinkan untuk mudik, dan Allah memanggil kita tidak pandang bulu. Siapa pun dan kapan pun kita harus siap. Tak ada kuasa kita untuk menolak, meskipun kedudukan kita tinggi atau harta kita melimpah. Tak ada artinya itu semua, kecuali bila di gunakan sesuai dengan syariat agama.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sedih kali cerita ibu ini.Pandai banget bu Ulik merangkai kata-katanya. Yerbawa hati saya.

01 May
Balas

Sudah saya follow ya bu.

01 May
Balas



search

New Post