Kurelakan Anakku Dalam Asuhan Bidadari
Kurelakan Anakku Dalam Asuhan Bidadari
Air mata menetes di pipi Safina. Senyum yang biasanya tersungging di bibir, hari ini seakan lenyap tak berbekas. Tawa ceria yang sering kami dengar serasa hampa. Hanya tangis yang tertahan terkulum dalam garis bibir yang berusaha tersenyum. Seakan berusaha menguatkan hati suaminya, begitulah Safina, selalu berusaha membuat orang lain tenang. Meskipun hatinya sendiri sangat terluka. Karena kami mengenal safina itu seperti burung kecil yang sangat riang.
Kehilangan ini sungguh membuat Safina sedih. Kegembiraan yang kami rasakan bersama, akan bertambahnya anggota keluarga baru. Usia kandungan Safina sudah berjalan 4 bulan lebih. Segala sesuatu sudah mulai dipersiapkan. Rencana-rencana indah sudah terajut dengan manis. Begitu juga harapab-harapan akan datangnya mahluk baru di keluarga mereka. Sudah terbanyang tangis dan tawa bayi mungil itu. menambah semarak rumah putihnya.
Tapi takdir Tuhan berkata lain. Malam itu mereka datang ke dokte untuk periksa rutin kandungan. Menunggu hampir 3 jam, barulah mereka dipanggil masuk ruang praktek dokter. Setelah diperiksa, dokter menampilkan raut muka yang tidak nyaman. “Jelas ada yang tidak beres ini.” Begitu Safina berfikir. Perlahan dokter memberikan analisa pemeriksaannya. Penjelasan dokter membuat Safina dan suami seperti hilang akal. Seketika dia tidak bisa berfikir. Dokter biang bayinya sudah meninggal. Serasa berada di dunia lain. Rasa yang tidak bisa digambarka. “ Mengapa, bagaimana bisa terjadi. Apa sebabnya. Apa salahku?” pertanyaan itu terus berkecamuk di hatinya.
Dalam perjalanan pulang, safina terus mennagis. Air mata terus mangalir. Sang suami berusaha menenangkan “ Sabar dik. Sabar. Penjelasan dokter itu belum tentu benar. Kita tunggu besok”. Safina berusaha tenang, tapi hatinya tetap tidak tenang. “ Bagaimana kalau itu benar Pi.?” “Kalau itu benar, berarti belum rejeki kita. Dan Tuhan lebih saying pada Dedek.” Kata sang suami. Dedek adalah panggilan sayang untuk calon bayi Safina.
Mereka langsung menuju ke rumah ibu Safina. Begitu masuk rumah, pecahlah tangisnya. “ Maaf ya Mah. Aku minta maaf. Aku minta maaf.” Kata Safina dalam tangisnya. “ Ada apa nduk. Ada apa ini.?” Tanya ibunya kebingunan.” Maaf untuk apa. Siapa yang salah?” sang ibu terus bertanya. “ Begini Mah” sang suami berusaha membantu Safina menjelaskan keadaan yang sebenarnya. “ kata dokter, bayinya sudah meninggal dalam kandungan, dan….” Sang suami tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Diapun menangis. “ Maafkan kami Mah. Kami tidak bisa menjaga Dedek dengan baik”. “ Sudah, semua harus tenang. Tidak boleh saling menyalahkan dan merasa bersalah.” Sang ibu berusaha menenangkan, meskipun dia sendiri sangat syok. Cucu pertama yang sangat dia idamkan, harus kembali diambil Tuhan. Akan tetapi, sebagai insan beriman, dia harus ihlas. Segala sesuatu yang ada ini milik Allah. Semua yang kita miliki akan kembali kepada Allah, apapun bentuk dan caranya. Semua yang ada di ruangan itu terdiam. Semua diam seribu bahasa. Terpekur dalam kesedihan yang dalam.
Sesuai hasil advis dari dokter, Safina harus malaksanakan proses medis selanjutnya. Dengan perasaan yang berat, ini harus dijalani. Melepas bidadari kecil yang selama empat bulan sudah bersemayam di rahimnya, sungguh suatu perasaan kehilangan yang luar biasa. Tapi dia harus ihlas. Seperti petuah dari papanya. “ Semua yang kita miliki adalah milik Allah. DIA akan memberikan atau mengambilnya dengan cara yang dikehendaki. Kalaupun Dedek harus pergi, kamu kelak akan bisa menemuinya di surge. Karena Dedek akan diasuh Biadadari Surga dengan kasih saying sejati dan abadi.” Begitu sang papa berusaha menguatkan putri kesayangannya.
Akhirnya proses mengeluarkan sang janin bayi sudah selesai. Dokter menganalisa penyebab, meninggalnya janin. Setelah ada kesimpulan, janin diserahkan pada Sang suami.
Moment ini sangat luar biasa. Membuncah kesedihan yang mendalam. Janin ini pernah bernyawa. Pernah memiliki denyut jantung yang dia dengar setiap hari. Nyawa kecil ini pernah membuatnya sangat bersemangat menyambut hari. Nyanyian kecil, uantaian kalimat dalam Al-Qur’an pernah dia perdengarkan pada tubuh kecil ini. Gerakan-gerakan dan tendangan kecil seakan menjawab curahan kasih sayang mami papinya.
Tangisnya pecah lagi. Terduduk sang suami di lantai. Tak kuasa menahan kesedihan dan kehilangan. Tapi dia harus kuat. Harus tabah. Demi sang istri. Dilantunkan adzan dan iqomah. Diucapkan salam perpisahan. “Selamat jalan anakku. Kutitipkan engkau pada Bidadari Surga. Semoga engkau bahagia disana. Doa dan cinta kami selalu untukmu. Mami dan papi menyayangimu. Tapi Allah lebih sayang padamu.. Selamat Jalan” isak sang Suami. Kutitipkan anakku menjadi anak Bidadari
.
----------------------------------------Selesai-------------------------------
Persembahan buat adikku Dewi dan Iput, dalam mengenang kepergian Dedek. Semoga semua diberikan ketabahan
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Tabungan di syurga kelak..
Jadi ikut nangis, semoga tabah ya Savina...Semangat nulis ibu...
Sedih... sukses selalu ibu
Alfatehah ...Jadi ingat anaku 10 tahun uang lalu.Ditunggu cerpen yang lain.
Kelak dia yg akan menuntunku ke surga
Kelak dia yg akan menuntunku ke surga
Sedihhh