Umi Fadilah, SE

Umi Fadilah, SE. Guru di MTsN 5 Tulungagung. Mengajar mata pelajaran IPS. Mencoba belajar menulis di media ini sebagai usaha mengasah kemampuan diri. Semo...

Selengkapnya
Navigasi Web
Rumah Besar

Rumah Besar

Senja yang indah. Semburat sisa sinar matahari yang mulai tenggelam, menampilkan warna jingga yang lembut. Terpadu dengan kumpulan awan putih, seperti cahaya surga. Membuat mata betah memandang. Dan harusnya itu indah.

Tapi keindahan jingga lembut itu tidak mampu mengurangi murungnya wajah mbok Harjo. Matanya nanar menatap jalan kecil di depan rumahnya. Berulang kali beliau menghela nafas panjang. Seperti melepas sesak didada. Tubuh rapuh itu, termangu sendirian. Ditemani sebatang tongkat kayu penyangga tubuh yang mulai renta.

Mungkinkah sedang menunggu seseorang? Rupanya ini sudah hari ke 50 dari waktu yang dijanjikan. Hari itu, harusnya rumahnya ramai dengan riuh rendah suara-suara anak cucu. Harusnya rumah besar itu harum bau masakan khas, lodeh pepaya kesukaan anak-anaknya. Harusnya ruang tamu rumah besar itu penuh orang-orang yang berkumpul bersenda gurau dan bercengkerama.

Mbok Harjo menutup jendela dengan pelan, seakan tiada tenaga. Perlahan kakinya melangkah menuju dapur. Dimasaknya air untuk menyeduh teh tawar kesukaannya. Dipandanginya meja makan yang ada di depannya. Perlahan air matanya menetes. Sepi.

Keluarga bahagia, begitu kata orang yang melihat keluarga mbok Harjo. Suaminya pensiunan pegawai pemerintah. 6 orang anaknya semua sarjana dan mendapat pekerjaan yang baik di kota. Orang bilang, lengkap dan komplit. Banyak orang yang iri dengan kehidupan mbok Harjo. Bergelimang uang dan kebahagiaan.

Siapa yang tidak bangga dengan anak-anak yang sudah mapan. Pekerjaan bagus, gaji tinggi, keluarga yang sehat dan mapan. Sempurna. Mbok Harjo tidak memungkiri rasa bangganya. Tidak sia-sia pengorbanannya bersama suami membesarkan dan menyekolahkan anak-anak sampai ke jenjang tertinggi, menjadi sarjana.

Tapi, waktu sudah mengambil semuanya. Suaminya meninggal saat anak-anak belum tamat kuliah. Yang sulung baru semester 9 tehnik kimia ITS Surabaya. Yang bungsu baru kelas 3 SMP. Dan perjuangan beratnya sendirian dimulai dengan tiada pernah mengeluh. Dan sekarang mbok Harjo berjuang melawan rasa sepi.

Satu demi satu anak-anak lulus sekolah dan mendapat pekerjaan. Menikah dan tinggal di tempat yang jauh. Ya…jauh dari rumah besar, dan jarang pulang karena sibuk. Tiada yang tahu betapa sepi dijalani hari-harinya sendiri. Tapi rumah besar ini adalah belahan hatinya. Karena disini seluruh jiwa-jiwa terkasihnya bersemayam.

Harusnya hari raya ini anak-anak pulang. Mbok Harjo bersuka ria menyongsong hari itu. Sejak bulan Januari mbok Harjo sudah mulai berbenah rumah. Cat pagar baru, cat tempok, kamar-kamar dipoles juga. Kursi, meja dan peralatan dapur mulai dibersihkan. Untuk menyambut anak cucu yang akan pulang, hanya pada hari raya.

Tapi…..pengumuman pemerintah tentang virus corona memupus harapan untuk berkumpul dengan anak cucu. Karantina wilayah dan mandiri memaksa mereka tidak bisa pulang. Sejenak kabar itu membuat mbok Harjo tertegun. Tiada henti beliau menyimak berita di TV tentang berita virus corona. Di Jakarta, Bogor, Surabaya dan Bali. Anak-anaknya disana. Dan virus itu merajalela, tanpa pandang bulu. Semua orang dilarang mudik. Lock down.

Mbok Harjo sangat sedih. Wajah tua itu semakin keriput. Tatap matanya kosong, perih. Tapi bisa apa. Tidak ada kepastian kapan anak cucu datang. Ini hari ke -50 dari hari raya Idul Fitri. Dipandanginya deretan kue dalam toples yang disiapkan untuk anak cucu. Masih utuh. Tapi hatinya hancur…meleleh…menunggu corona pergi agar anak cucunya bisa datang lagi menjumpai usianya yang semakin senja…..semoga

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerita yang menyentuh hati Bund. Sukses selalu dan barakallahu fiik

21 Jul
Balas

Cerita yang makin sering kita dengar terjadi di sekitar kita. Anak-anak pergi jauh untuk mencari hidup dengan optimis memandang dunia luas. Sementara orang tua merindukan suasana berkumpul seperti dahulu juga masih dengan rutinitas kehidupan di desa dan cara pandang lama; mangan ora mangan asal kumpul. Salam literasi.

21 Jul
Balas

Keren Bunda

21 Jul
Balas

Menarik ceritanya bu

21 Jul
Balas



search

New Post