Fenomena Perang Sarung
Fenomena Perang Sarung
Salah satu berita di koran Jawa Pos hari ini, polisi menggerebek aksi perang sarung di daerah Mojokerto. Ada dua kelompok remaja yang terlibat dalam aksi perang sarung tersebut. Lima belas pelajar SMP dan SMA dari wilayah Mojokerta Kota dan Surabaya. Begitu pun di Banyuwangi, polisi berhasil mengamankan delapan remaja dari berbagai daerah yang diduga terlibat perang sarung. Bagaimana awal mula perang sarung saat Ramadan?
Perang sarung di Indonesia awalnya merupakan permainan anak-anak dan remaja saat bulan Ramadan. Perang sarung pada dasarnya dilakukan sebagai permainan untuk bersenang-senang. Permainan ini biasanya dilakukan setelah shalat tarawih di masjid. Mereka yang terlibat dalam aksi perang sarung biasanya adalah anak-anak remaja yang ingin dianggap tangguh dan punya nyali oleh teman-temannya.
Perang sarung merupakan bentuk kejahilan anak-anak remaja yang sebenarnya tidak berbahaya. Mereka saling mengejar dan menyabetkan sarung pada musuh mereka sambil berteriak "kena, kena". Aktivitas ini dilakukan oleh regu anak lelaki yang berlawanan dengan kelompok anak lelaki lainnya.
Perang sarung dilakukan dengan menggunakan sarung murni tanpa benda-benda yang membahayakan. Namun, seiring berjalannya waktu, fenomena perang sarung mengalami pergeseran dan mengarah ke kekerasan anak-anak. Permainan ini beralih fungsi menjadi ajang tawuran. Hal ini bisa jadi karena pengaruh media sosial yang memudahkan komunikasi antar remaja dan memicu aksi saling menantang. Perang sarung bahkan sering kali berujung pada korban luka atau jiwa. Mengapa?
Dilansir dari Wikipedia, perang sarung adalah sebuah jenis tawuran yang memakai alat berupa kain sarung yang diikat pada bagian ujungnya yang diisi dengan batu, gir motor atau senjata tajam yang biasanya dilakukan pada bulan Ramadan. Dalam permainan tersebut, para pemain saling gebuk dengan sarung ke masing-masing tubuh lawannya secara bergantian. Saat lawan memukul, pemain lainnya menangkis dengan sarung. Permainan tersebut berakhir kala salah satu pemain ada yang mengangkat tangan tanda menyerah atau sarungnya terjatuh. Masing-masing kubu harus menghentikan permainan, jika lawan ada yang sudah menyerah.
Jadi, perang sarung yang tadinya permainan untuk bersenang-senang sudah mengalami pergeseran fungsi. Perang sarung menjadi ajang tawuran antar remaja. Menjadi berbahaya karena bagian ujung sarung yang diikat diisi dengan benda-benda keras yang bias melukai lawan. Lantas, masihkah tradisi ini dipertahankan?
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar