Umi Samsul Hidayati

Guru di MTsN 6 Jombang...

Selengkapnya
Navigasi Web
Hasil APKGM: Diagnosa Guru Profesional Dan Filosofi Gula - Kopi
https://www.google.co.id/search?q=logo+apkgm&safe=strict&tbm=isch&source=iu&ictx=1&fir=buxKwGoILWBiRM%253A%252C6nTThfYVwOAOBM%252C_&usg=AI4_-kSIk22BoID6wMMAGtSQ9GpKnicSBA&sa=X&ved=2ahUKEwj1nOqVo5DfAhVBNY8KHd3tD54Q9QEwBHoECAAQDA#imgrc=buxKwGoILWBiRM:

Hasil APKGM: Diagnosa Guru Profesional Dan Filosofi Gula - Kopi

Bertempat di aula Darul Hikmah, berlokasi di area Kantor Kementerian Agama Kab. Jombang pada hari Senin tanggal 26 November 2018 dilaksanakan Pembinaan Guru Mapel Ujian Nasional (UN) MTs se Kabupaten Jombang meliputi Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris. Dari daftar undangan yang dipost didapatkan informasi jumlah peserta guru mapel Matematika sejumlah 140 orang, IPA sejumlah 103 orang, dan Bahasa Inggris sejumlah 140 orang guru. Acara dihadiri oleh Prof. Dr. Suyitno, M.Sg. selaku Direktur GTK Kemenag RI dan H. Leksono selaku Kabid Pendma Kanwil Kemenag Prov. Jatim. Dari jajaran pejabat dilingkungan Kankemenag Kab. Jombang hadir antara lain Kepala Kankemenag, Kasi Pendma, para Pengawas Madrasah, para Kepala RA, MI, MTs, MA Negeri maupun Swasta.

Dalam kesempatan sambutan, Abdul Haris, Kakankemenag Kab. Jombang menyampaikan bahwa Jombang menetapkan passing grade nilai UN mencapai angka 5.5 dan berharap kepada bapak ibu guru pengampu mapel UN untuk bisa mengawal pencapaian niai UN siswa minimal 5.5 tersebut.

Berikutnya adalah pembinaan oleh Prof. Dr. Suyitno, M.Ag. dan dalam pembinaannya Direktur GTK itu mengulas bahwa untuk melewati passing grade UN 5.5 ini harus dipersiapkan dengan matang, termasuk upaya guru dalam membimbing para siswa harus lebih dimaksimalkan. Ada logika berpikir yang harus diikuti yaitu apabila siswanya dituntut untuk bisa mencapai nilai minimal 5.5, maka capaian kompetensi gurunya tidak boleh dibawahnya.

Selanjutnya Suyitno memaparkan bahwa dewasa ini pembahasan tentang kompetensi pedagogik bagi guru sudah selesai. Workshop dan pelatihan guru tentang metode pembelajaran sudah dirasa cukup. Kompetensi guru dalam penerapan berbagai metode dipandang sudah memadai. Kini saatnya dilakukan peningkatan kompetensi profesional. Kompetensi profesional ini memiliki 3 komponen:

1. 1. Penguasaan materi ajar,

2. 2. Kemampuan mengelola pembelajaran,

3. 3. Pengetahuan tentàng evaluasi.

Upaya yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, adalah dengan melaksanakan penilaian terhadap guru melalui program APKGM (Asesmen Peningkatan Kompetensi Guru Madrasah), sebuah alat pengukur capaian kompetensi guru. Hasil dari APKGM ini akan digunakan untuk mengevaluasi kinerja guru dengan mengkonversikannya menjadi kriteria tertentu dan setiap kriteria ada tindak lanjutnya berupa upaya peningkatan kompetensi dengan berbagai kegiatan sesuai hambatannya, bisa berupa pengawasan, pelibatan dalam workshop, pemberiàn diklat, pendidikan ulang diperguruan tinggi (PPG), ataupun pembebasan guru dari tugas mengajar karena tidak berkompeten dan dipandang sudah tidak bisa diperbaiki lagi.

Masih menurut Suyitno, ada 4 kriteria guru, kriteria ini juga disampaikan sambil berkelakar, yaitu:

Guru waras. Yaitu guru yang sudah mampu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi dengan baik. Guru ini selanjutnya ditingkatkan lagi kemampuannya melalui MGMP. Oleh karenanya kegiatan MGMP harus diberdayakan dengan setting yang mampu mengembangkan profesionalitas guru. Guru sakit ringan. Yaitu guru yang memiliki kompetensi profesional yang bermasalah ringan. Ibarat pasien, guru seperti ini diizinkan mengikuti rawat jalan, artinya tetap diizinkan mengajar tetapi dalam pengawasan kepala dan pengawas madrasah, juga diikutsertakan dalam workshop. Guru sakit parah. Yaitu guru yang tidak memiliki kompetensi profesional, dan tidak aktif dikelas. Guru seperti ini diberi terapi dengan aturan tidak boleh mengajar, karena akan menyebarkan virus menular yang membahayakan. Upaya peningkatan kompetensinya melalui diklat (pendidikan dan pelatihan). Jadi, pesan Suyitno masih sambil bergurau, sekarang jangan bangga dulu kalau menjadi guru diminta untuk mengikuti diklat, karena bisa jadi dikategorikan guru yang belum profesional, guru yang masih perlu dibelajarkan lagi, diikuti gelak tawa para guru yang hadir. Guru masuk emergency. Guru seperti ini harus dikembalikan ke orang tuanya yaitu Perguruan Tinggi sesuai jurusannya, harus belajar lagi melalui program PPG (Pendidikan Profesi Guru) selama 1-2 tahun kemudian dikembalikan ke madrasah untuk mengajar dan diawasi, kalau sudah bagus ya dizinkan mengajar, tapi kalau belum layak lagi, maka harus kembali lagi ke kampus selama setengah tahun.

Meskipun disampaikan dengan penuh kelakar, agaknya pembinaan Direktur GTK ini sangat mengena dan patut menjadi bahan perenungan. Karena ada tanggung jawab profesi yang diemban oleh guru, yaitu gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya.

Diakhir pembinaannya, Suyitno menyampaikan bahwa didalam bekerja, termasuk dalam profesi guru, kita seyogyanya menjalankan filosofi gula dan kopi dalam secàngkir minuman yang nikmat. Sudah sering kita temukan unggahan dalam beberapa media sosial tentàng filosofi gula dan kopi ini. Bahwa didalam secangkir kopi ada 3 unsur yang diperhatikan orang sebagai kiasan dalam dunia pembelajaran, yaitu :

1. Kopi sebagai orang tua,

2. Gula sebagai guru,

3. Rasa sebagai siswa,

Adalah rasa sebagai patokan. Jika secangkir minuman terasa pahit, maka gula yang disalahkan karena terlalu sedikit. Jika minuman terlalu manis, gula pula yang disalahkan karena gula terlalu banyak. Jika secangkir minuman terasa laziz, karena peran takaran gula yang mampu mengimbangi dengan pahitnya kopi, maka kopilah yang dipuji. Lalu bagaimana memaknainya?

Ya. Ketika siswa tidak berprestasi, siswa tidak mencapai kompetensi dengan passing grade yang ditetapkan, maka guru yang diperyanyakan dimanakah guru, mengapa guru tidak memberikan peran yang baik, mengapa guru tidak melakukan pembelajaran yang membuat siswa pintar. Dan ketika siswa bermasalah apalagi ketika ada penyimpangan tingkah laku siswa, guru pula yang dipersalahkan, kenapa membiarkan siswa tidak mengenal nilai-nilai normatif, guru terlalu longgar memanjakan siswa sehingga siswa tidak mandiri. Tetapi ketika guru berperan aktif, bekerja kreatif, inovatif, dan solutif, berlaku seimbang dengan memperhatikan keunikan dan keunggulan siswa sehingga siswa bisa berkembang kemampuannya bahkan mahir menguasai tantangannya maka yang disebut paling berperan bukanlah guru, tapi siapa orang tuanya yang telàh mampu memilihkan pendidikan putranya. Guru tidak lagi disebut. Sungguh cara berpikir yang keterlaluan.(Nah..lho..)

Tapi apakah hal sedemikian itu lantas membuat guru menjadi hilang perannya. Jawabnya tentu ‘tidak’ Perannya tetap penting walaupun tidak dipandang dalam keberhasilan siswa karena guru harus bekerja keras, bepikiran cerdas, dan beramal ikhlas. Unsur 3-as inilah yang menjadi syarat menjadi guru profesional. 🙏

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantaps bund filosofinya, yah begitulah kondisi guru, yang selalu harus terbaik untyk hasilkan siswa siswi terbaik, walau nasibnya tidak selalu baik, guru oh guru. Sukses selalu dan barakallah

08 Dec
Balas

Terimakasih banyak sudah berkenan singgah, baca, follow, dan komen di tulisan perdana di Gurusiana ini. Sukses juga buat bu Siti Ropiah.

08 Dec

Terimakasih mbak Anik sudah follow, bikin lebih bersemangat..

08 Dec
Balas



search

New Post