Umi Satiti

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Menghidupkan Lagi Tradisi yang Mati Suri

Menghidupkan Lagi Tradisi yang Mati Suri

Anak-anak selalu menjadi perbincangan menarik untukku. Entah di sekolah, di rumah atau di jalanan sekalipun. Setiap kali membicarakan anak-anak tidak pernah bisa dibohongi, aku selalu tertarik.

Disini, di kampung halaman tempat aku tumbuh besar. Dulu setiap sudut rumah adalah lapangan bermain yang menyenangkan. Tempat berkumpul yang mendamaikan juga tempat cerita yang paling nyaman. Mau bermain apa saja bebas. Teriak, berlari hingga menangis pun pun tidak ada yang melarang.

Seiring aku tumbuh, pelan-pelan aku tidak melihat lagi anak-anak berkumpul seperti dulu. Hanya tinggal beberapa anak yang berkumpul sebentar kemudian kembali ke rumah masing-masing. Atau ada tiga sampai empat anak berkumpul dan bermain, tetapi bukan bermain sebenarnya, mereka nonton layar dalam genggaman. Entah apa yang mereka tonton.

Desa ini mulai sepi dari anak-anak. Tahu-tahu mereka sudah remaja dan lalu-lalang dengan sepeda motornya. Anak gadis dengan rambut terurai dan dandanan yang dibilang “menor” atau anak lelaki dengan rambut warna-warni seakan tak disisir, terkesan urakan. Tidak lupa sebatang rokok sering terselip disela-sela jari. Meski tidak heran masih ada beberapa gadis berjilbab merelakan sorenya untuk menemani anak-anak belajar mengaji. Meski masih ada segelintir pemuda alim yang merelakan hidupnya untuk berceramah dari masjid berpindah ke mushola.

Namun kehidupan yang sangat kontra ini menimbulkan diskripsi yang tidak indah. Seseuatu yang baik selalu tertutup dengan rapi oleh keburukan sehingga yang tampak adalah keburukan. Ingin rasanya mengembalikan citra pemuda menjadi begitu indah. Hingga tidak terdengar lagi diskripsi pemuda tanpa aksi. Hingga akan terkikis potret pemuda pengangguran tanpa karya.

Memulainya langsung dengan membabat habis adalah sama saja masuk ke kandang macan kelaparan. Akan mati sebelum melawan.

Anak-anak selalu menjadi perhatian. Pikirku anak-anak akan lebih mudah mengawalinya dari sisni, anak-anak. Menggembalikan lagi masa kanak-kanak yang menyenangkan. Berkumpul lagi dengan teman sebaya dan menikmati indahnya waktu bermain. Bermain yang bukan sekedar bermain lantas kembali tanpa tanpa arti. Namun bermain yang kembali menghidupkan nilai-nilai sosial, akhlak dan abab. Memulihkan lagi tata karma yang mulai tak dikenal. Mengembalikan lagi sopan-santun yang tinggal kecanggungan.

Disini, kini mulai dihidupkan lagi. Sudut-sudut kebahagiaan untuk bermain. Mengawalinya dengan sebulan dua kali di hari Minggu. Sedikit demi sedikit mengenalkan lagi tradisi bermain. Menumbuhkan lagi sopan-satun dan tata karma. Menghidupkan lagi budaya yang sempat mati suri. Memulainya dengan kumpul bocah. Mengajari anak-anak bermain tanpa syarat. Sambil berlahan-lahan menggandeng pemuda yang mulai asyik sendiri menikmati hidupnya.

Mimpi sederhana ini adalah untuk melunasi janji kemerdekaan. Semoga terwujud seiring berjalannya waktu. Bila bukan aku mungkin mereka yang tumbuh disekitarku atau siapapun mereka yang membaca tulisan ini. Melunasi janji kemerdekaan.

Karanganyar, 3 Mei 2019

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post