Ceritaku
HIDUP ADALAH PENDAKIAN
Jam istirahat telah usai.Anak-anak berhamburan menuju kelasnya masing-masing. Hari itu Nay masuk ke kelas 9A untuk memberikan materi soft skill kepada para muridnya. Ups sebentar deh apa sih soft skill itu? Yap, soft skill merupakan keterampilan yang berkaitan dengan jiwa, ruh, social, dan spiritual seseorang diantaranya seberapa bisa mengembangkan diri dalam berinteraksi dengan banyak orang, kemampuan untuk memahami dirinya sendiri, kemampuan untuk berhubungan dengan sang pencipta dan salah satunya yang akan dibahas hari ini adalah tentang kemampuan atau kecerdasan seseorang dalam menghadapi berbagai masalah dalam hidup.
Sebelum memberikan materi, Nay melakukan stretching terlebih dahulu dengan memandu siswa membuat gerakan-gerakan senam otak sambil bernyanyi.
Dalam memberikan materi klasikalnya yang hanya 40 menit atau setara satu jam pelajaran itu Nay menggunakan metode story telling tentang tiga orang berbeda yang menghadapi masalah dengan sudut pandang yang berbeda pula.
Nah, anak-anak ibu harap kalian tadi sudah mendengarkan dengan seksama apa yang ibu sampaikan. Ibu ingin kalian sekarang kasih tanggapan ya dari tiga orang tersebut masing-masing merupakan anak seperti aapakahketiga nya ini?
“Ayo siapa yang berani maju ke depan untuk mengungkapkan pendapatnya?” tanya Nay dengan lantang, setelah beberapa menit tak satu pun siswa yang mau maju.
“Saya bu," Sita mengangkat tangannya. Ia melangkah dengan sigap ke depan kelas dengan mengucap salam dan memberikan ulasan tentang apa yang Nay ceritakan barusan.
“… Menurut Sita Anak pertama yang ibu ceritakan tadi adalah anak yang mempunyai sifat gampang putus asa bu, jadi dia kalau ada masalah gampang banget nyerah,tipe anak itu menurut saya quitter bu, terus cerita ibu yang kedua itu menggambarkan seorang anak bertype camper, yang sebenarnya sih mau berusaha bu, Cuma ya gitu deh…nyantai gitu ya bu yang penting dah aman ya udah deh dia ga terlalu ngoyo gitu bu ya…,”
Sita mengungkapkan pendapatnya panjang lebar dengan nada sedikit ragu dan bertanya pada Nay. Nay hanya mengangguk dan membiarkannya meneruskan penjelasannya.
“… Kalau cerita bu Nay yang ketiga baru nih bu typenya climber, karena dia menunjukkan sifat nggak gampang putus asa sehingga ia ingin selalu menjadi yang terbaik dan teratas dalam hidupnya…”
“Subhanallaah… keren Sita.. kata Nay sambil mengacungkan dua jempolnya. “Ayoo tepuk tangan semuanya untuk Sita yang luar biasa.!!!.”
Suasana kelaspun menjadi riuh dengan tepuk tangan para siswa siswinya sebagai perayaan untuk Sita yang sudah berani maju ke depan kelas dan mengungkapkan pendapatnya dengan baik. Tepukan riuh itu pun membangkitkan semangat anak-anak yang sudah mulai Loyo di pagi menjelang siang itu.
Selanjutnya Nay pun kembali menjelaskan konsep tentang kecerdasan dalam menghadapi masalah atau bahasa kerennya “Adversity Quotient” dalam bahasa sederhana melalui teknik story telling tiga kisah anak dengan tiga type manusia ketika menghadapi berbagai cobaan dalam hidupnya yaitu ; anak tipe Quitter yang mewakili golongan anak remaja yang mudah menyerah,tipe Camper yang mewakili golongan remaja yang mau melakukan sesuatu tapi ketika sudah berada di zona nyaman tidak berani naik hingga ke puncaknya, dan tipe Climber yang digambarkan oleh seorang anak remaja yang selalu ingin menjadi yang terbaik dan dengan gigihnya ingin selalu mendaki naik hingga puncak tertinggi. Sedikit demi sedikit para siswa pun tahu dan memaami istilah-istilah tersebut.
Di akhir kegiatan bimbingan klasikal Nay memberikan penguatan berupa komitment dan motivasi pada siswa-siswinya itu.
“Anak-anak ibu teriakan lagi ya…siapa mau jadi quitter? “No” “No” “No… siapa yang mau jadi Climbeeeerrrr? Yess.. Yess.. Yess.
Inilah salah satu contoh bagaimana Nay sebagai guru bimbingan dan konseling yang sederhana memberikan materi berupa penguasaan content nya kepada siswa di dalam kelas yang hanya memiliki waktu pembelajaran 1 jam atau 40 menit tersebut.
Nay teringat dengan perkataan dari Nadiem Makarim dalam pidatonya yang viral di media sosial. Beliau mengatakan bahwa di zaman ini ada 4 mandatory core untuk sekolah-sekolah dalam rangka menghadapi era industry 4.0 yang pertama yaitu Bahasa inggris,selain bahasa inggris merupakan Bahasa yang digunakan untuk menggunakan konten dunia melalui online, Bahasa inggris, coding, statistika, dan psikologi. Subhanallah, Pak Nadiem menyebutkan psikologi sebagai salah satu mandatory core yang harusnya dipelajari di sekolah. Beliau mengatakan bawa psikologi sangat memiliki peranan yang penting dalam dunia desain, pengembangan web aplikasi, unsur dari desain,web dan aplikasi, semuanya berkaitan dengan psikologi.
Ketika psikologi menjadi mandatory core dari era 4.0 maka tidak salah kan bila seorang guru BK diberikan jam mengajar berkaitan dengan content-content psikologi? Sebagaimana kita tahu tanpa agama kita akan kehilangan ruh dan tuntunan. Psikologi ada dimana? Psikologi ibaratnya adalah mitra sejajar keberagamaan dan nilai-nilai yang ada dalam diri manusia yang bisa memacu kemanusiaannya manusia hingga memiliki kontrol diri positif dan daya kreativitas hingga level tertentu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Subhanalloh. Terus berkarya bu. Amazing.
Makasih bu supportnya....semangat jga utk.ibu...