“Jalannya Tidak keliatan pak” ucapnya mengingatkan. Namun entah apa yang ada dalam benakku, aku mengabaikannya, entah karena keberanianku yang tengah membuncah, atau karena aku sama sekali tidak peduli, upss ... pasti akibat kelelahanku berkendara seharian. Kupacu merah marunku Merandai Lereng Liyangan Memintas Kabut Sindoro.

Dari depan kaca mobilku Langit sudah sangat menghitam, terbakar mentari seharian, adzan magrib sudah lewat hampir seperminuman teh, namun aku belum juga menemukan masjid yang agak besar yang luas areal parkirnya, bagi mahluk yang belum genap setahun berkendara roda empat, parkir ditempat yang sempit adalah cobaan, bikin merinding dan gemeteran.

Kecepatanku hampir maksimal karena Jalan sudah cor, halus mulus namun mungkin kerana menjelang isya’ sepanjang perjalanan sepi sekali, Kanan kiri hanya terlihat Pohon Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) pohon yang konon tumbuhan asli Indonesia namun justru pertama kali ditemukan oleh seorang ahli botani dari Jerman Dr. F. R. Junghuhn.

Beberapa terpasang lampu jalan sehingga Sesekali terlihat kios warung yang menjajakan buah lokal semisal jambu, pisang, semangka dan melon. Jika melewati kampung maka akan terlihat rumah berjejer di tepi jalan dan berbagi penerangan untuk pengguna jalan.

Sore itu entah karena musimnya atau karena lazimnya, kabut turun begitu tebal sehingga jarak pandang tidak lebih dari dua meter, membuatku ragu untuk menambah kecepatan.